Rusia: Keputusan Inggris Menambah Bom Nuklir Jadi 260 Ilegal
Senin, 22 Maret 2021 - 08:36 WIB
MOSKOW - Pemerintah Rusia menilai keputusan Inggris untuk menambah hulu ledak nuklirnya dari 180 menjadi 260 merupakan langkah ilegal atau melanggar perjanjian internasional.
Penilaian itu disampaikan Duta Besar Rusia untuk Inggris, Andrei Kelin. Diplomat itu juga mengatakan hubungan politik antara Moskow dan London "hampir mati".
Dalam tinjauan kebijakan luar negeri dan pertahanan yang diterbitkan pada hari Selasa pekan lalu dan didukung oleh Perdana Menteri Boris Johnson, Inggris memutuskan untuk meningkatkan jumlah bom nuklirnya dalam menghadapi ancaman keamanan global yang berkembang.
Menurut dokumen tinjauan itu, Inggris akan menaikkan batas atas stok hulu ledak nuklirnya menjadi 260 dari sebelumnya 180. Laporan yang sama juga mengklasifikasikan Rusia sebagai ancaman paling akut bagi keamanan Inggris di kawasan Euro-Atlantik.
Tak lama setelah tinjauan itu dirilis, Kremlin menyesalkan keputusan kebijakan nuklir Inggris, yang menurutnya akan membahayakan stabilitas internasional. Sedangkan Kementerian Luar negeri Rusia menggambarkan langkah London itu sebagai pukulan telak bagi pengendalian senjata internasional.
Andrei Kelin, dalam sebuah wawancara yang akan disiarkan di stasiun radio LBC yang berbasis di London pada hari Minggu, mengatakan keputusan Inggris menambah jumlah bom nuklirnya itu ilegal.
“Anda meningkatkan jumlah hulu ledak sebesar 40%. Ini adalah pelanggaran terhadap perjanjian non-proliferasi dan banyak, banyak perjanjian lain yang mengatakan hanya penurunan atau pengurangan jumlah nuklir," kata Kelin kepada LBC, yang dilansir Reuters, Senin (22/3/2021).
Perjanjian Non-Proliferasi Senjata Nuklir, yang telah diratifikasi Inggris, mulai berlaku pada tahun 1970. Pemerintah tersebut telah mengatakan rencananya tidak melanggar pakta itu.
Kelin, yang dikutip kantor berita Rusia, mengatakan bahwa hubungan politik antara London dan Moskow—yang telah menjadi tegang dari berbagai peristiwa mulai dari pemenjaraan politisi oposisi Alexei Navalny hingga serangan racun Novichok terhadap agen ganda Rusia dan putrinya pada tahun 2018—"hampir mati".
Menurut Kelin, hanya ikatan budaya dan ekonomi yang tersisa dari hubungan kedua negara. Dia mengaku terakhir kali dia berbicara dengan Menteri Luar Negeri Inggris Dominic Raab pada Desember 2019.
Penilaian itu disampaikan Duta Besar Rusia untuk Inggris, Andrei Kelin. Diplomat itu juga mengatakan hubungan politik antara Moskow dan London "hampir mati".
Dalam tinjauan kebijakan luar negeri dan pertahanan yang diterbitkan pada hari Selasa pekan lalu dan didukung oleh Perdana Menteri Boris Johnson, Inggris memutuskan untuk meningkatkan jumlah bom nuklirnya dalam menghadapi ancaman keamanan global yang berkembang.
Menurut dokumen tinjauan itu, Inggris akan menaikkan batas atas stok hulu ledak nuklirnya menjadi 260 dari sebelumnya 180. Laporan yang sama juga mengklasifikasikan Rusia sebagai ancaman paling akut bagi keamanan Inggris di kawasan Euro-Atlantik.
Tak lama setelah tinjauan itu dirilis, Kremlin menyesalkan keputusan kebijakan nuklir Inggris, yang menurutnya akan membahayakan stabilitas internasional. Sedangkan Kementerian Luar negeri Rusia menggambarkan langkah London itu sebagai pukulan telak bagi pengendalian senjata internasional.
Andrei Kelin, dalam sebuah wawancara yang akan disiarkan di stasiun radio LBC yang berbasis di London pada hari Minggu, mengatakan keputusan Inggris menambah jumlah bom nuklirnya itu ilegal.
“Anda meningkatkan jumlah hulu ledak sebesar 40%. Ini adalah pelanggaran terhadap perjanjian non-proliferasi dan banyak, banyak perjanjian lain yang mengatakan hanya penurunan atau pengurangan jumlah nuklir," kata Kelin kepada LBC, yang dilansir Reuters, Senin (22/3/2021).
Perjanjian Non-Proliferasi Senjata Nuklir, yang telah diratifikasi Inggris, mulai berlaku pada tahun 1970. Pemerintah tersebut telah mengatakan rencananya tidak melanggar pakta itu.
Kelin, yang dikutip kantor berita Rusia, mengatakan bahwa hubungan politik antara London dan Moskow—yang telah menjadi tegang dari berbagai peristiwa mulai dari pemenjaraan politisi oposisi Alexei Navalny hingga serangan racun Novichok terhadap agen ganda Rusia dan putrinya pada tahun 2018—"hampir mati".
Menurut Kelin, hanya ikatan budaya dan ekonomi yang tersisa dari hubungan kedua negara. Dia mengaku terakhir kali dia berbicara dengan Menteri Luar Negeri Inggris Dominic Raab pada Desember 2019.
(min)
Lihat Juga :
tulis komentar anda