Pakar: Ekonomi Jatuh, Era Arab Saudi Berduit Berakhir
Senin, 18 Mei 2020 - 17:12 WIB
WASHINGTON - Para pakar Barat meyakini era Arab Saudi sebagai negara Teluk yang memiliki banyak uang telah berakhir seiring dengan jatuhnya ekonomi negara itu yang dipicu anjloknya harga minyak dan diperparah oleh pandemi Covid-19. Menurut mereka, krisis ini juga akan memaksa Riyadh menunda pembelian senjata.
Penundaan pembelian senjata baru dapat memiliki dampak politik jangka panjang bagi negara di bawah pemerintahan Mohammed bin Salman—Putra Mahkota dan penguasa de facto yang telah melancarkan perang berdarah di Yaman.
“Saya tidak ragu, ini adalah akhir dari suatu era. Era Teluk Persia memiliki semua uang ini berakhir," kata Bruce Riedel, seorang pakar senior di Brookings Institution di Washington dan veteran dari Central Intelligence Agency (CIA), yang telah bekerja sebagai penasihat masalah-masalah Timur Tengah di beberapa administrasi AS.
Arab Saudi menghabiskan sekitar USD62 miliar untuk impor senjata pada tahun lalu, menjadikannya pemboros kelima terbesar di dunia untuk pembelian senjata. Meskipun angka itu kurang dari data belanja pada tahun 2018, namun masih mewakili sekitar 8 persen dari PDB Arab Saudi, yang berarti bahwa negara tersebut menghabiskan sebagian besar kekayaannya untuk senjata daripada Amerika Serikat (3,4%), China (1,9%), Rusia (3,9%), atau India (2,4%).
"Jika Arab Saudi bukan salah satu pembeli senjata terbesar, Anda mungkin tidak dapat mengandalkan dukungan kritis dari kekuatan Barat yang kuat. Salah satu hasil dari pembelian senjata adalah Anda membeli hubungan," kata Andrew Feinstein, seorang ahli korupsi dan perdagangan senjata global.
Di AS, Donald Trump di masa lalu menunjuk pada pembelian senjata yang diajukan Arab Saudi—dan melambungkan perkiraan tentang dampaknya terhadap pekerjaan AS—untuk membenarkan tanggapan lunak pemerintahannya terhadap pembunuhan Jamal Khashoggi, jurnalis Washington Post. (Baca: Ekonomi Arab Saudi Jatuh, Pakar Prediksi Biaya Haji Naik Lebih Mahal )
Inggris menjual lebih banyak senjata ke Arab Saudi daripada ke negara lain—lebih dari £4,7 miliar sejak kerajaan tersebut memulai kampanye pemboman terhadap Yaman pada Maret 2015—dan Perdana Menteri Boris Johnson telah menghadapi kritik karena membiarkan penjualan senjata terus berlanjut meskipun ada kekhawatiran bahwa Inggris mengambil risiko melanggar hukum humaniter internasional dengan membantu aksi Saudi.
Tetapi Riedel dan pakar lainnya percaya bahwa pemerintah Arab Saudi akan memiliki banyak pilihan selain menunda pengeluaran militer, dalam beberapa kasus secara permanen.
Andrew Smith, pakar di Kampanye Anti-Perdagangan Senjata, mengatakan; “Saya berharap mereka dalam jangka pendek menunda melakukan beberapa pembelian yang lebih besar, seperti seperangkat jet tempur baru, misalnya, yang telah dinegosiasikan oleh Inggris untuk beberapa waktu."
Penundaan pembelian senjata baru dapat memiliki dampak politik jangka panjang bagi negara di bawah pemerintahan Mohammed bin Salman—Putra Mahkota dan penguasa de facto yang telah melancarkan perang berdarah di Yaman.
“Saya tidak ragu, ini adalah akhir dari suatu era. Era Teluk Persia memiliki semua uang ini berakhir," kata Bruce Riedel, seorang pakar senior di Brookings Institution di Washington dan veteran dari Central Intelligence Agency (CIA), yang telah bekerja sebagai penasihat masalah-masalah Timur Tengah di beberapa administrasi AS.
Arab Saudi menghabiskan sekitar USD62 miliar untuk impor senjata pada tahun lalu, menjadikannya pemboros kelima terbesar di dunia untuk pembelian senjata. Meskipun angka itu kurang dari data belanja pada tahun 2018, namun masih mewakili sekitar 8 persen dari PDB Arab Saudi, yang berarti bahwa negara tersebut menghabiskan sebagian besar kekayaannya untuk senjata daripada Amerika Serikat (3,4%), China (1,9%), Rusia (3,9%), atau India (2,4%).
"Jika Arab Saudi bukan salah satu pembeli senjata terbesar, Anda mungkin tidak dapat mengandalkan dukungan kritis dari kekuatan Barat yang kuat. Salah satu hasil dari pembelian senjata adalah Anda membeli hubungan," kata Andrew Feinstein, seorang ahli korupsi dan perdagangan senjata global.
Di AS, Donald Trump di masa lalu menunjuk pada pembelian senjata yang diajukan Arab Saudi—dan melambungkan perkiraan tentang dampaknya terhadap pekerjaan AS—untuk membenarkan tanggapan lunak pemerintahannya terhadap pembunuhan Jamal Khashoggi, jurnalis Washington Post. (Baca: Ekonomi Arab Saudi Jatuh, Pakar Prediksi Biaya Haji Naik Lebih Mahal )
Inggris menjual lebih banyak senjata ke Arab Saudi daripada ke negara lain—lebih dari £4,7 miliar sejak kerajaan tersebut memulai kampanye pemboman terhadap Yaman pada Maret 2015—dan Perdana Menteri Boris Johnson telah menghadapi kritik karena membiarkan penjualan senjata terus berlanjut meskipun ada kekhawatiran bahwa Inggris mengambil risiko melanggar hukum humaniter internasional dengan membantu aksi Saudi.
Tetapi Riedel dan pakar lainnya percaya bahwa pemerintah Arab Saudi akan memiliki banyak pilihan selain menunda pengeluaran militer, dalam beberapa kasus secara permanen.
Andrew Smith, pakar di Kampanye Anti-Perdagangan Senjata, mengatakan; “Saya berharap mereka dalam jangka pendek menunda melakukan beberapa pembelian yang lebih besar, seperti seperangkat jet tempur baru, misalnya, yang telah dinegosiasikan oleh Inggris untuk beberapa waktu."
Lihat Juga :
tulis komentar anda