Rusia Pilih Trump, China Dukung Biden
Jum'at, 02 Oktober 2020 - 14:15 WIB
WASHINGTON - Pemilu Amerika Serikat (AS) juga mempengaruhi kepentingan geopolitik ke depannya. Siapa yang menjadi presiden AS dan memenangkan pemilu presiden pada November mendatang akan mempengaruhi ekskalasi pertarungan global.
Rusia lebih mendukung Donald Trump untuk memenangi pemilu presiden Amerika Serikat (AS) mendatang. Sedangkan China lebih memilih Joe Biden memenangkan pemilu AS karena bisa mengembalikan kerja sama perdagangan. (Baca: Berikut Beberapa Doa Memohon Diberi Kelancaran Rezeki)
Laporan badan intelijen AS, CIA, menunjukkan kalau Presiden Rusia Vladimir Putin dan para penasehat politiknya lebih menyukai Trump dibandingkan Biden. The Washington Post melaporkan Moskow juga melancarkan operasi untuk mempengaruhi pemilu AS dengan melemahkan Biden.
Badan Intelijen AS memang telah menuding kalau Rusia sangat aktif menginterfensi pemilu AS 2020. Mereka berusaha melemahkan pencalonan Biden menuju Gedung Putih. “Kita enilai Rusia menggunakan berbagai langkah untuk melemahkan Biden dan melihatnya sebagai kekuatan anti-Rusia,” kata William Evanina, direktur Kontraintelijen Nasional dan Pusat Keamanan AS, dilansir CNN. Intervensi Rusia pada pemilu kali ini juga sebagai kelanjutan dari campur tangan mereka pada pemilu presiden 2016 silam.
Bulan lalu, panel Senat yang dikuasai kubu Republik memperkuat pandangan bahwa Rusia menginginkan Trump menang, dengan menyimpulkan kampanyenya menjadi sasaran empuk bagi pengaruh asing tetapi tidak sampai menuduh adanya konspirasi kejahatan. Dalam pandangan Direktur FBI, Christopher Wray, Rusia tidak pernah berhenti campur tangan. Dia menyebut upaya dalam pemilihan kongres tahun 2018 sebagai "gladi bersih untuk pertunjukan besar pada tahun 2020".
Rusia secara konsisten membantah melakukan campur tangan dalam pemilu di negara-negara lain. Awal tahun ini, seorang juru bicara Kremlin menyebut tuduhan campur tangan "pengumuman paranoia" yang "tidak benar sama sekali". (Baca juga: Bantuan Kuota Data Diminta Pakai Sistem Akumulasi)
Joe Biden mengatakan akan ada "harga yang dibayar" jika Rusia terus melakukan campur tangan. Dia menyebut Rusia sebagai "lawan" dari Amerika Serikat. Menariknya, dalam debat yang berlangsung beberapa waktu lalu, Biden menuding Trump sebagai “boneka” pemimpin Rusia.
“Faktanya saya akan berhadapan langsung dengan Putin dan menjelaskan kepada dia bahwa kita tidak akan tunduk kepadanya,” kata Biden dilansir Reuters. “Dia (Trump) adalah bonek Putin. Dia menolak untuk mengatakan apapun kepada putin tentang karunia kepala tentara AS,” paparnya.
Presiden Trump seringkali meremehkan tuduhan campur tangan Rusia, yang membuatnya berseberangan dengan para ahli intelijennya sendiri. Setelah KTT tahun 2018 dengan Vladimir Putin, dia ditanya apakah dirinya lebih mempercayai komunitas intelijen AS atau presiden Rusia tentang tuduhan campur tangan Rusia. Trump mengatakan: "Presiden Putin mengatakan pelakunya bukan Rusia. Saya tak melihat alasan mengapa harus Rusia." Dia kemudian membuat klarifikasi bahwa ia salah berbicara.
Bagaimana dengan China? China lebih memilih Joe Biden karena Partai Demokrat memiliki kebijakan yang lunak kepada China. Beijing juga sudah bosan berkonflik dengan Trump yang kerap melancarkan retorika anti-China.
Seperti dijelaskan William evanina, pejabat intelijena menyatakan kalau China memang menginginkan Trump kalah pada pemilu. Bahkan, mantan duta besar PBB dan mantan gubernur South Carolina Nikki Haley mengatakan Biden akan menjadi keuntungan besar bagi China. (Baca juga: Penggunaan Masker Kurangi Risiko Tertular Covid-19)
Media milik pemerintah China juga kerap menyebut Biden lebih “lunak” dalam bernegosiasi dengan Beijing. Biden bisa membangun ruang untuk kerja sama dalam berbagai isu seperti perubahan iklim dan kerja sama perlucutan senjata nuklir. Biden bisa bisa bernegosiasi untuk mengakhiri perang dagang yang digaungkan Trump.
“Di bawah pemerintahan Biden, akan terbangun kesempatan untuk berdialog,” kata Henry Wang, penasehat kabinet China dan pendiri Center for Globalization.
Namun demikian, Biden bisa menghidupkan kembali organisasi multilateral seperti WHO dan NATO. Biden juga hanya menyebut China sebanyak satu kali saat pidato di Konvensi Nasional Demokrat dan menegaskan AS tidak boleh lemah terhadap China.
Hanya saja, China memiliki kesempatan luas ketika Trump kembali berkuasa karena itu memudahkan Beijing bermanuver untuk memperkuat geopolitiknya. Ketika Trump kembali berkuasa, maka perpecahan publik AS tetap akan kembali menguat sehingga kemampuan untuk melawan China dalam jangka panjang akan semakin lemah.
“Pemerintahan Biden bisa membangun strategi jangka panjang yang berkelanjutan yang bertujuan menghalau kekuatan utama China dalam dua atau tiga dekade kedepan,” kata Minxin Pei, pakar China dari Claremont McKenna College. (Lihat videonya: Harga Tes Swab akan Segera Dievaluasi)
Presiden Trump dengan rasa setuju mencuit ulang tulisan di situs Breitbart yang condong ke Trump. Judul artikel itu adalah "China tampaknya 'condong ke Joe Biden' dalam pemilihan presiden". "Tentu mereka menginginkan Biden. Saya sudah mengambil miliaran dollar dari China dan memberikannya kepada petani kita dan Departemen Keuangan. China akan menguasai AS jika Biden & Hunter masuk!" ungkap Trump, merujuk pada putra Joe Biden, Hunter.
Hubungan antara China dan AS memang berada di titik rendah, yang diwarnai berbagai sengketa mulai dari virus corona hingga penerapan undang-undang keamanan kontroversial di Hong Kong oleh China. (Andika H Mustaqim)
Rusia lebih mendukung Donald Trump untuk memenangi pemilu presiden Amerika Serikat (AS) mendatang. Sedangkan China lebih memilih Joe Biden memenangkan pemilu AS karena bisa mengembalikan kerja sama perdagangan. (Baca: Berikut Beberapa Doa Memohon Diberi Kelancaran Rezeki)
Laporan badan intelijen AS, CIA, menunjukkan kalau Presiden Rusia Vladimir Putin dan para penasehat politiknya lebih menyukai Trump dibandingkan Biden. The Washington Post melaporkan Moskow juga melancarkan operasi untuk mempengaruhi pemilu AS dengan melemahkan Biden.
Badan Intelijen AS memang telah menuding kalau Rusia sangat aktif menginterfensi pemilu AS 2020. Mereka berusaha melemahkan pencalonan Biden menuju Gedung Putih. “Kita enilai Rusia menggunakan berbagai langkah untuk melemahkan Biden dan melihatnya sebagai kekuatan anti-Rusia,” kata William Evanina, direktur Kontraintelijen Nasional dan Pusat Keamanan AS, dilansir CNN. Intervensi Rusia pada pemilu kali ini juga sebagai kelanjutan dari campur tangan mereka pada pemilu presiden 2016 silam.
Bulan lalu, panel Senat yang dikuasai kubu Republik memperkuat pandangan bahwa Rusia menginginkan Trump menang, dengan menyimpulkan kampanyenya menjadi sasaran empuk bagi pengaruh asing tetapi tidak sampai menuduh adanya konspirasi kejahatan. Dalam pandangan Direktur FBI, Christopher Wray, Rusia tidak pernah berhenti campur tangan. Dia menyebut upaya dalam pemilihan kongres tahun 2018 sebagai "gladi bersih untuk pertunjukan besar pada tahun 2020".
Rusia secara konsisten membantah melakukan campur tangan dalam pemilu di negara-negara lain. Awal tahun ini, seorang juru bicara Kremlin menyebut tuduhan campur tangan "pengumuman paranoia" yang "tidak benar sama sekali". (Baca juga: Bantuan Kuota Data Diminta Pakai Sistem Akumulasi)
Joe Biden mengatakan akan ada "harga yang dibayar" jika Rusia terus melakukan campur tangan. Dia menyebut Rusia sebagai "lawan" dari Amerika Serikat. Menariknya, dalam debat yang berlangsung beberapa waktu lalu, Biden menuding Trump sebagai “boneka” pemimpin Rusia.
“Faktanya saya akan berhadapan langsung dengan Putin dan menjelaskan kepada dia bahwa kita tidak akan tunduk kepadanya,” kata Biden dilansir Reuters. “Dia (Trump) adalah bonek Putin. Dia menolak untuk mengatakan apapun kepada putin tentang karunia kepala tentara AS,” paparnya.
Presiden Trump seringkali meremehkan tuduhan campur tangan Rusia, yang membuatnya berseberangan dengan para ahli intelijennya sendiri. Setelah KTT tahun 2018 dengan Vladimir Putin, dia ditanya apakah dirinya lebih mempercayai komunitas intelijen AS atau presiden Rusia tentang tuduhan campur tangan Rusia. Trump mengatakan: "Presiden Putin mengatakan pelakunya bukan Rusia. Saya tak melihat alasan mengapa harus Rusia." Dia kemudian membuat klarifikasi bahwa ia salah berbicara.
Bagaimana dengan China? China lebih memilih Joe Biden karena Partai Demokrat memiliki kebijakan yang lunak kepada China. Beijing juga sudah bosan berkonflik dengan Trump yang kerap melancarkan retorika anti-China.
Seperti dijelaskan William evanina, pejabat intelijena menyatakan kalau China memang menginginkan Trump kalah pada pemilu. Bahkan, mantan duta besar PBB dan mantan gubernur South Carolina Nikki Haley mengatakan Biden akan menjadi keuntungan besar bagi China. (Baca juga: Penggunaan Masker Kurangi Risiko Tertular Covid-19)
Media milik pemerintah China juga kerap menyebut Biden lebih “lunak” dalam bernegosiasi dengan Beijing. Biden bisa membangun ruang untuk kerja sama dalam berbagai isu seperti perubahan iklim dan kerja sama perlucutan senjata nuklir. Biden bisa bisa bernegosiasi untuk mengakhiri perang dagang yang digaungkan Trump.
“Di bawah pemerintahan Biden, akan terbangun kesempatan untuk berdialog,” kata Henry Wang, penasehat kabinet China dan pendiri Center for Globalization.
Namun demikian, Biden bisa menghidupkan kembali organisasi multilateral seperti WHO dan NATO. Biden juga hanya menyebut China sebanyak satu kali saat pidato di Konvensi Nasional Demokrat dan menegaskan AS tidak boleh lemah terhadap China.
Hanya saja, China memiliki kesempatan luas ketika Trump kembali berkuasa karena itu memudahkan Beijing bermanuver untuk memperkuat geopolitiknya. Ketika Trump kembali berkuasa, maka perpecahan publik AS tetap akan kembali menguat sehingga kemampuan untuk melawan China dalam jangka panjang akan semakin lemah.
“Pemerintahan Biden bisa membangun strategi jangka panjang yang berkelanjutan yang bertujuan menghalau kekuatan utama China dalam dua atau tiga dekade kedepan,” kata Minxin Pei, pakar China dari Claremont McKenna College. (Lihat videonya: Harga Tes Swab akan Segera Dievaluasi)
Presiden Trump dengan rasa setuju mencuit ulang tulisan di situs Breitbart yang condong ke Trump. Judul artikel itu adalah "China tampaknya 'condong ke Joe Biden' dalam pemilihan presiden". "Tentu mereka menginginkan Biden. Saya sudah mengambil miliaran dollar dari China dan memberikannya kepada petani kita dan Departemen Keuangan. China akan menguasai AS jika Biden & Hunter masuk!" ungkap Trump, merujuk pada putra Joe Biden, Hunter.
Hubungan antara China dan AS memang berada di titik rendah, yang diwarnai berbagai sengketa mulai dari virus corona hingga penerapan undang-undang keamanan kontroversial di Hong Kong oleh China. (Andika H Mustaqim)
(ysw)
Lihat Juga :
tulis komentar anda