Kim Jong-un: Korea Utara Akan Percepat Langkah Jadi Negara Adidaya Nuklir
Selasa, 08 Oktober 2024 - 14:48 WIB
PYONGYANG - Kim Jong-un, pemimpin Korea Utara (Korut), mengatakan negaranya akan mempercepat langkah-langkah untuk menjadi negara adidaya nuklir.
Dia juga tidak akan mengesampingkan kemungkinan menggunakan senjata itu jika Korea Utara diserang musuh. Komentar Kim disiarkan kantor berita pemerintah Korut, KCNA, Selasa (8/10/2024).
Kim juga menyebut nama Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol untuk kedua kalinya dalam seminggu saat mengecam Seoul karena berkolusi dengan Washington untuk mengacaukan kawasan Semenanjung Korea.
Menurutnya, tindakan Yoon sebenarnya untuk menutupi fakta bahwa Seoul bahkan tidak memiliki senjata strategis yang memadai.
"Yoon Suk Yeol melontarkan komentar yang tidak pantas dan vulgar tentang berakhirnya Republik [Rakyat Demokratik Korea/DPRK] dalam pidatonya, dan itu menunjukkan bahwa dia benar-benar terbuai oleh keyakinan butanya pada kekuatan tuannya," tulis KCNA mengutip ucapan Kim Jong-un, merujuk pada aliansi Korea Selatan dengan Amerika Serikat (AS).
DPRK adalah nama resmi Korea Utara.
"Sejujurnya, kami sama sekali tidak berniat menyerang Korea Selatan," kata Kim Jong-un dalam pidato di Universitas Pertahanan Nasional Kim Jong-un, tempat pelatihan bagi spesialis militer elite.
"Setiap kali saya menyatakan posisi kami tentang penggunaan kekuatan militer, saya dengan jelas dan konsisten menggunakan kualifikasi 'jika'."
"Jika musuh mencoba menggunakan kekuatan terhadap negara kami, militer Republik akan menggunakan semua kekuatan ofensif tanpa ragu-ragu. Ini tidak menghalangi penggunaan senjata nuklir," lanjut Kim Jong-un.
"Langkah kami untuk menjadi negara adikuasa militer dan negara nuklir akan semakin cepat," imbuh dia.
Korea Utara telah puluhan tahun menjalankan program senjata nuklir dan diyakini memiliki cukup bahan fisil untuk membuat lusinan senjata pemusnah massal tersebut. Negara itu telah melakukan enam uji coba peledakan nuklir bawah tanah.
Minggu lalu, Korea Selatan memperingati hari angkatan bersenjata tahunan dengan parade militer besar yang memamerkan rudal balistik yang mampu membawa hulu ledak besar dan menampilkan pesawat pengebom strategis AS.
Dalam pidatonya hari itu, Yoon memperingatkan Korea Utara agar tidak menggunakan senjata nuklir. "Hari itu akan menjadi akhir rezim Korea Utara," katanya, mengacu pada situasi jika rezim Kim Jong-un menggunakan senjata nuklir untuk menyerang Korea Selatan.
KCNA melaporkan bahwa Kim Jong-un menyampaikan pernyataannya pada hari Senin, hari yang sama ketika Korea Utara mengatakan Majelis Rakyat Tertinggi-nya akan bertemu untuk membahas amandemen konstitusi negara tersebut.
Kantor berita pemerintah Korut itu tidak menyebutkan musyawarah majelis itu sejak hari Senin.
Sidang majelis itu diawasi dengan ketat oleh Korea Selatan karena kemungkinan besar akan menyetujui amandemen konstitusional untuk mencerminkan pernyataan Kim Jong-un bahwa penyatuan Korea tidak mungkin lagi dan Korea Selatan adalah negara yang terpisah dan "musuh utama".
Langkah tersebut akan meresmikan pemutusan hubungan Kim Jong-un dengan tujuan yang telah dianut kedua negara selama puluhan tahun untuk penyatuan nasional dan upaya untuk meningkatkan hubungan, termasuk pertemuan puncak tahun 2018 di mana para pemimpin mereka menyatakan tidak akan ada lagi perang dan era perdamaian baru telah dimulai.
Dalam laporan terpisah, KCNA menyebutkan Kim Jong-un mengirim pesan ulang tahun kepada Presiden Rusia Vladimir Putin, memanggilnya "Kamerad terdekatnya" dan mengatakan "hubungan strategis dan kooperatif" antara kedua negara akan ditingkatkan ke tingkat yang baru.
Dia juga tidak akan mengesampingkan kemungkinan menggunakan senjata itu jika Korea Utara diserang musuh. Komentar Kim disiarkan kantor berita pemerintah Korut, KCNA, Selasa (8/10/2024).
Kim juga menyebut nama Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol untuk kedua kalinya dalam seminggu saat mengecam Seoul karena berkolusi dengan Washington untuk mengacaukan kawasan Semenanjung Korea.
Menurutnya, tindakan Yoon sebenarnya untuk menutupi fakta bahwa Seoul bahkan tidak memiliki senjata strategis yang memadai.
"Yoon Suk Yeol melontarkan komentar yang tidak pantas dan vulgar tentang berakhirnya Republik [Rakyat Demokratik Korea/DPRK] dalam pidatonya, dan itu menunjukkan bahwa dia benar-benar terbuai oleh keyakinan butanya pada kekuatan tuannya," tulis KCNA mengutip ucapan Kim Jong-un, merujuk pada aliansi Korea Selatan dengan Amerika Serikat (AS).
DPRK adalah nama resmi Korea Utara.
"Sejujurnya, kami sama sekali tidak berniat menyerang Korea Selatan," kata Kim Jong-un dalam pidato di Universitas Pertahanan Nasional Kim Jong-un, tempat pelatihan bagi spesialis militer elite.
"Setiap kali saya menyatakan posisi kami tentang penggunaan kekuatan militer, saya dengan jelas dan konsisten menggunakan kualifikasi 'jika'."
"Jika musuh mencoba menggunakan kekuatan terhadap negara kami, militer Republik akan menggunakan semua kekuatan ofensif tanpa ragu-ragu. Ini tidak menghalangi penggunaan senjata nuklir," lanjut Kim Jong-un.
"Langkah kami untuk menjadi negara adikuasa militer dan negara nuklir akan semakin cepat," imbuh dia.
Korea Utara telah puluhan tahun menjalankan program senjata nuklir dan diyakini memiliki cukup bahan fisil untuk membuat lusinan senjata pemusnah massal tersebut. Negara itu telah melakukan enam uji coba peledakan nuklir bawah tanah.
Minggu lalu, Korea Selatan memperingati hari angkatan bersenjata tahunan dengan parade militer besar yang memamerkan rudal balistik yang mampu membawa hulu ledak besar dan menampilkan pesawat pengebom strategis AS.
Dalam pidatonya hari itu, Yoon memperingatkan Korea Utara agar tidak menggunakan senjata nuklir. "Hari itu akan menjadi akhir rezim Korea Utara," katanya, mengacu pada situasi jika rezim Kim Jong-un menggunakan senjata nuklir untuk menyerang Korea Selatan.
KCNA melaporkan bahwa Kim Jong-un menyampaikan pernyataannya pada hari Senin, hari yang sama ketika Korea Utara mengatakan Majelis Rakyat Tertinggi-nya akan bertemu untuk membahas amandemen konstitusi negara tersebut.
Kantor berita pemerintah Korut itu tidak menyebutkan musyawarah majelis itu sejak hari Senin.
Sidang majelis itu diawasi dengan ketat oleh Korea Selatan karena kemungkinan besar akan menyetujui amandemen konstitusional untuk mencerminkan pernyataan Kim Jong-un bahwa penyatuan Korea tidak mungkin lagi dan Korea Selatan adalah negara yang terpisah dan "musuh utama".
Langkah tersebut akan meresmikan pemutusan hubungan Kim Jong-un dengan tujuan yang telah dianut kedua negara selama puluhan tahun untuk penyatuan nasional dan upaya untuk meningkatkan hubungan, termasuk pertemuan puncak tahun 2018 di mana para pemimpin mereka menyatakan tidak akan ada lagi perang dan era perdamaian baru telah dimulai.
Dalam laporan terpisah, KCNA menyebutkan Kim Jong-un mengirim pesan ulang tahun kepada Presiden Rusia Vladimir Putin, memanggilnya "Kamerad terdekatnya" dan mengatakan "hubungan strategis dan kooperatif" antara kedua negara akan ditingkatkan ke tingkat yang baru.
(mas)
tulis komentar anda