Arab Saudi Ancam Eropa Jika G-7 Rampas Aset Rusia Rp4.863 Triliun

Kamis, 11 Juli 2024 - 07:26 WIB
Arab Saudi dilaporkan mengancam Eropa jika G-7 merampas aset-aset Rusia yang dibekukan. Foto/REUTERS
RIYADH - Kerajaan Arab Saudi dilaporkan telah mengancam Eropa jika negara-negara G-7 merampas aset Rusia yang dibekukan, yang nilainya lebih dari US300 miliar (lebih dari Rp4.863 triliun).

Laporan itu diterbitkan Bloomberg pada hari Rabu. Ancaman dari Riyadh, menurut laporan itu, adalah akan menjual sejumlah surat utang (obligasi) Eropa.

Menurut laporan tersebut, ancaman terselubung itu disampaikan Kementerian Keuangan Arab Saudi awal tahun ini ke beberapa negara G-7, ketika kelompok tersebut mempertimbangkan perampasan atau penyitaan aset-aset Rusia yang dibekukan untuk mendukung Ukraina.





Arab Saudi secara khusus mengisyaratkan utang euro yang diterbitkan oleh Prancis, menurut laporan Bloomberg.

Riyadh telah mengkhawatirkan upaya Barat untuk menyita aset Kremlin selama berbulan-bulan.

Pada bulan April, Politico melaporkan bahwa Arab Saudi, bersama dengan China dan Indonesia, secara pribadi melobi Uni Eropa agar tidak melakukan penyitaan.

Namun ancaman Arab Saudi untuk menjual surat utang negara-negara anggota Uni Eropa akan menunjukkan unjuk kekuatan dan kesediaan kerajaan tersebut untuk memanfaatkan kekuatan ekonominya guna memengaruhi para pembuat kebijakan di negara-negara barat.

Pada bulan Juni, G-7, yang terdiri dari Amerika; Kanada; Inggris; Prancis; Jerman; Italia; dan Jepang, setuju untuk memberikan pinjaman sebesar USD50 miliar kepada Ukraina yang akan didukung oleh keuntungan yang dihasilkan dari aset Rusia.

Langkah ini tidak sampai pada penyitaan penuh atas sekitar USD322 miliar aset bank sentral Rusia yang dibekukan di negara-negara Barat.

Bloomberg melaporkan bahwa ancaman Arab Saudi kemungkinan akan memicu pertentangan di antara beberapa negara anggota Uni Eropa terhadap pendekatan yang lebih tegas, meskipun AS dan Inggris melobi untuk melakukan penyitaan langsung.

Ancaman Arab Saudi menggarisbawahi kekhawatiran negara-negara Teluk yang kaya bahwa suatu hari nanti negara-negara Barat dapat menerapkan pengaruh ekonomi serupa yang mereka gunakanpada Rusia terhadap aset-aset negara-negara Teluk di luar negeri, jika kritik terhadap masalah hak asasi manusia (HAM) di Teluk atau keputusan kebijakan luar negeri mereka muncul kembali.

Presiden Rusia Vladimir Putin telah mendekati Arab Saudi, karena dia bergantung pada kerajaan kaya minyak itu untuk melawan isolasi Moskow di panggung dunia dan menopang pasar energi.

Putin melakukan kunjungan langka ke Arab Saudi dan Uni Emirat Arab pada bulan Desember lalu.

Middle East Eye, pada Kamis (11/7/2024), melaporkan bahwa Putin meminta izin Putra Mahkota Mohammed bin Salman sebelum mempersenjatai pemberontak Houthi di Yaman dengan rudal jelajah anti-kapal.

Pemimpin Saudi, yang melancarkan perang brutal melawan kelompok Houthi yang didukung Iran, mendesak Putin untuk tidak mempersenjatai kelompok tersebut, dan Rusia menurutinya.

Arab Saudi bersaing dengan Rusia untuk mendapatkan posisi sebagai eksportir minyak mentah terbesar di dunia.

Seperti negara-negara Teluk lainnya, mata uang Arab Saudi dipatok terhadap dolar dan menjual minyaknya dalam dolar, sehingga meningkatkan posisi dolar sebagai mata uang cadangan dunia.

Pada Januari 2023, Arab Saudi mengatakan pihaknya sedang mempertimbangkan perdagangan dalam mata uang selain dolar AS setelah adanya laporan bahwa pihaknya sedang berdiskusi dengan China mengenai penjualan sejumlah minyak mentah dalam yuan.

Tidak jelas berapa banyak surat utang Eropa yang dimiliki Arab Saudi, namun cadangan mata uang asing bersih bank sentralnya mencapai USD445 miliar. Arab Saudi memiliki obligasi AS senilai USD135,9 miliar, menempatkannya di peringkat ke-17 di antara investor obligasi AS.

Janji Presiden AS Joe Biden untuk menjadikan Arab Saudi sebagai “paria” atas pembunuhan kolumnis Middle East Eye dan Washington Post, Jamal Khashoggi, mewujudkan ketakutan bahwa suatu hari nanti Washington akan berbalik melawan sekutunya yang telah berusia puluhan tahun itu.

Biden kemudian beralih dan bersandar pada Arab Saudi untuk mencapai kesepakatan normalisasi dengan Israel dan memainkan peran dalam pemerintahan Jalur Gaza pascaperang.
(mas)
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More