Oposisi Sebut Netanyahu Mengkhianati Tentara Israel dalam Perang Gaza
Selasa, 18 Juni 2024 - 19:30 WIB
TEL AVIV - Pemimpin oposisi Israel Yair Lapid menuduh Perdana Menteri (PM) Benjamin Netanyahu pada Senin (17/6/2024) membahayakan keamanan nasional dan mengkhianati tentara negara itu di tengah perang di Jalur Gaza.
Komentar Lapid muncul sesaat sebelum pertemuan komite parlemen tentang urusan luar negeri dan pertahanan pada Selasa, yang akan membahas rancangan undang-undang yang bertujuan menurunkan usia pengecualian dari wajib militer bagi siswa yeshiva Haredi.
Undang-undang tersebut akan diputuskan melalui pemungutan suara pada pembacaan kedua dan ketiga sebelum menjadi resmi.
Pertemuan ini bertepatan dengan protes yang diselenggarakan ‘Brothers in Arms’, sekelompok mantan tentara Israel yang mengadvokasi wajib militer bagi semua warga Israel.
Para pengunjuk rasa menuntut pengunduran diri pemerintah dan menyerukan pemilihan umum lebih awal.
Senin lalu, Knesset meloloskan pembacaan pertama rancangan undang-undang tersebut dengan suara 63-57.
“Besok, Komite Urusan Luar Negeri dan Keamanan akan memulai diskusi tentang undang-undang penghindaran dan penolakan,” tulis Lapid di X.
“Ini adalah pengkhianatan terhadap para prajurit, pengkhianatan terhadap para cadangan, pengkhianatan terhadap kelas menengah Israel, dan pengkhianatan terhadap IDF (tentara Israel),” imbuh dia.
“Pemerintah Israel merusak keamanan negara. Netanyahu menjual prajurit kita,” pungkas Lapid.
Saat ini, kaum Haredi dapat menghindari wajib militer pada usia 18 tahun, usia wajib militer, dengan memperoleh penangguhan tahunan untuk studi agama hingga mereka mencapai usia pengecualian 26 tahun.
Undang-undang yang diusulkan akan menurunkan usia pengecualian ini menjadi 21 tahun.
Sejak 2017, pemerintahan berturut-turut gagal mencapai konsensus tentang wajib militer Haredi setelah Mahkamah Agung membatalkan undang-undang tahun 2015 yang membebaskan mereka dari wajib militer, dengan menyebutnya sebagai pelanggaran terhadap “prinsip kesetaraan.”
Sementara partai-partai keagamaan menentang wajib militer bagi individu Haredi, partai-partai sekuler dan nasionalis mendukungnya, menuntut agar para pelajar agama ikut menanggung "beban perang," yang menghadirkan tantangan signifikan bagi koalisi Netanyahu.
Yahudi Haredi, yang merupakan sekitar 13% dari populasi Israel yang berjumlah sekitar 9,7 juta, tidak bertugas di militer karena komitmen mereka untuk mempelajari Taurat, kitab suci agama Yahudi.
Komentar Lapid muncul sesaat sebelum pertemuan komite parlemen tentang urusan luar negeri dan pertahanan pada Selasa, yang akan membahas rancangan undang-undang yang bertujuan menurunkan usia pengecualian dari wajib militer bagi siswa yeshiva Haredi.
Undang-undang tersebut akan diputuskan melalui pemungutan suara pada pembacaan kedua dan ketiga sebelum menjadi resmi.
Pertemuan ini bertepatan dengan protes yang diselenggarakan ‘Brothers in Arms’, sekelompok mantan tentara Israel yang mengadvokasi wajib militer bagi semua warga Israel.
Para pengunjuk rasa menuntut pengunduran diri pemerintah dan menyerukan pemilihan umum lebih awal.
Senin lalu, Knesset meloloskan pembacaan pertama rancangan undang-undang tersebut dengan suara 63-57.
“Besok, Komite Urusan Luar Negeri dan Keamanan akan memulai diskusi tentang undang-undang penghindaran dan penolakan,” tulis Lapid di X.
“Ini adalah pengkhianatan terhadap para prajurit, pengkhianatan terhadap para cadangan, pengkhianatan terhadap kelas menengah Israel, dan pengkhianatan terhadap IDF (tentara Israel),” imbuh dia.
“Pemerintah Israel merusak keamanan negara. Netanyahu menjual prajurit kita,” pungkas Lapid.
Wajib Militer Haredi
Saat ini, kaum Haredi dapat menghindari wajib militer pada usia 18 tahun, usia wajib militer, dengan memperoleh penangguhan tahunan untuk studi agama hingga mereka mencapai usia pengecualian 26 tahun.
Undang-undang yang diusulkan akan menurunkan usia pengecualian ini menjadi 21 tahun.
Sejak 2017, pemerintahan berturut-turut gagal mencapai konsensus tentang wajib militer Haredi setelah Mahkamah Agung membatalkan undang-undang tahun 2015 yang membebaskan mereka dari wajib militer, dengan menyebutnya sebagai pelanggaran terhadap “prinsip kesetaraan.”
Sementara partai-partai keagamaan menentang wajib militer bagi individu Haredi, partai-partai sekuler dan nasionalis mendukungnya, menuntut agar para pelajar agama ikut menanggung "beban perang," yang menghadirkan tantangan signifikan bagi koalisi Netanyahu.
Yahudi Haredi, yang merupakan sekitar 13% dari populasi Israel yang berjumlah sekitar 9,7 juta, tidak bertugas di militer karena komitmen mereka untuk mempelajari Taurat, kitab suci agama Yahudi.
(sya)
tulis komentar anda