AS dan Jepang Habiskan Rp48 Triliun Bikin Rudal Pencegat Senjata Hipersonik
Sabtu, 04 Mei 2024 - 10:15 WIB
TOKYO - Amerika Serikat (AS) dan Jepang akan mengalokasikan lebih dari USD3 miliar (Rp48 triliun) untuk bersama-sama mengembangkan rudal jenis baru yang mampu mencegat senjata hipersonik.
Kyodo News mengutip sumber Pentagon yang tidak disebutkan namanya.
Proyek Glide Phase Interceptor (GPI) diperkirakan akan selesai pada tahun 2030-an, dan Jepang diharapkan memberikan komitmen sebesar USD1 miliar untuk proyek tersebut.
Program tersebut disepakati oleh Presiden AS Joe Biden dan Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida pada Agustus 2023.
Rudal baru ini akan dirancang untuk menembak jatuh rudal hipersonik yang masuk selama fase penerbangan paling rentan sebelum memasuki kembali atmosfer dari luar angkasa.
Pentagon sebelumnya mengatakan, “Di Jepang, GPI kemungkinan akan dipasang pada ASEV masa depan, Kapal yang Dilengkapi Sistem Aegis, dari Pasukan Bela Diri Maritim Jepang.”
Aegis adalah sistem Amerika yang dirancang untuk bertahan melawan rudal balistik jarak pendek dan menengah.
“Pengembangan kemampuan kontra-hipersonik merupakan kebutuhan mendesak bagi kedua negara untuk mengatasi tantangan di kawasan Indo-Pasifik, termasuk munculnya kemampuan rudal hipersonik ofensif dan canggih lainnya untuk potensi tindakan pemaksaan,” ungkap Pentagon.
Proyek GPI muncul ketika AS tertinggal dari Rusia dan China dalam hal pengembangan senjata hipersonik, termasuk kendaraan dan rudal yang mampu melaju lebih cepat dari Mach 5, atau lima kali kecepatan suara.
Setelah AS mulai mengembangkan serangkaian pencegat rudal anti-balistik baru usai berakhirnya Perjanjian ABM pada tahun 2002, Rusia membatalkan rencana era tahun 1980-an untuk membuat senjata hipersonik yang dirancang untuk mengalahkan sistem pertahanan rudal balistik tradisional.
Senjata hipersonik pertama di dunia, Avangard, diperkenalkan kepada dunia pada tahun 2018, dan sejak itu Rusia telah meluncurkan dua senjata lainnya yakni rudal jelajah hipersonik Kinzhal dan rudal yang diluncurkan dari permukaan dan kapal selam, Zircon.
China juga memelopori pengembangan beberapa jenis senjata hipersonik sejalan dengan fokusnya pada rudal jarak jauh sebagai tandingan asimetris terhadap teknologi unggulan militer AS.
Perjanjian Rudal Anti-Balistik, yang ditandatangani AS dan Uni Soviet pada tahun 1972, runtuh pada Juni 2002 ketika Amerika secara sepihak menarik diri dari perjanjian tersebut.
Kyodo News mengutip sumber Pentagon yang tidak disebutkan namanya.
Proyek Glide Phase Interceptor (GPI) diperkirakan akan selesai pada tahun 2030-an, dan Jepang diharapkan memberikan komitmen sebesar USD1 miliar untuk proyek tersebut.
Program tersebut disepakati oleh Presiden AS Joe Biden dan Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida pada Agustus 2023.
Rudal baru ini akan dirancang untuk menembak jatuh rudal hipersonik yang masuk selama fase penerbangan paling rentan sebelum memasuki kembali atmosfer dari luar angkasa.
Pentagon sebelumnya mengatakan, “Di Jepang, GPI kemungkinan akan dipasang pada ASEV masa depan, Kapal yang Dilengkapi Sistem Aegis, dari Pasukan Bela Diri Maritim Jepang.”
Aegis adalah sistem Amerika yang dirancang untuk bertahan melawan rudal balistik jarak pendek dan menengah.
“Pengembangan kemampuan kontra-hipersonik merupakan kebutuhan mendesak bagi kedua negara untuk mengatasi tantangan di kawasan Indo-Pasifik, termasuk munculnya kemampuan rudal hipersonik ofensif dan canggih lainnya untuk potensi tindakan pemaksaan,” ungkap Pentagon.
Proyek GPI muncul ketika AS tertinggal dari Rusia dan China dalam hal pengembangan senjata hipersonik, termasuk kendaraan dan rudal yang mampu melaju lebih cepat dari Mach 5, atau lima kali kecepatan suara.
Setelah AS mulai mengembangkan serangkaian pencegat rudal anti-balistik baru usai berakhirnya Perjanjian ABM pada tahun 2002, Rusia membatalkan rencana era tahun 1980-an untuk membuat senjata hipersonik yang dirancang untuk mengalahkan sistem pertahanan rudal balistik tradisional.
Senjata hipersonik pertama di dunia, Avangard, diperkenalkan kepada dunia pada tahun 2018, dan sejak itu Rusia telah meluncurkan dua senjata lainnya yakni rudal jelajah hipersonik Kinzhal dan rudal yang diluncurkan dari permukaan dan kapal selam, Zircon.
China juga memelopori pengembangan beberapa jenis senjata hipersonik sejalan dengan fokusnya pada rudal jarak jauh sebagai tandingan asimetris terhadap teknologi unggulan militer AS.
Perjanjian Rudal Anti-Balistik, yang ditandatangani AS dan Uni Soviet pada tahun 1972, runtuh pada Juni 2002 ketika Amerika secara sepihak menarik diri dari perjanjian tersebut.
(sya)
Lihat Juga :
tulis komentar anda