Israel Bisa Gunakan Konflik Iran sebagai Pengalih Perhatian untuk Duduki Gaza

Kamis, 25 April 2024 - 15:15 WIB
Warga Palestina berjalan di antara gedung-gedung yang hancur di Jalur Gaza. Foto/AP
JALUR GAZA - Pada tanggal 1 April 2024, Israel menyerang konsulat Iran di Damaskus, Suriah, menandai tindakan perang melawan Iran dan Suriah.

Iran kemudian membalas serangan itu dua pekan kemudian, yang dicegat oleh sekutu Barat Israel termasuk Amerika Serikat.

Artikel yang diterbitkan pada hari Selasa, 'Apakah Israel Menggunakan Serangan Iran untuk Mendapatkan Lampu Hijau AS untuk Invasi Rafah', mempertanyakan apakah Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menggunakan serangan Iran sebagai pengaruh strategi perangnya di Gaza.



Konflik antara Israel dan Iran mendorong AS menyalurkan miliaran dolar ke dana perang Israel, dan negara Zionis tersebut kini membuat persiapan untuk menyerang Rafah.

Jurnalis, aktivis Palestina dan penulis Robert Fantina bergabung dengan The Critical Hour di Sputnik pada hari Rabu untuk membahas peristiwa yang sedang berlangsung ini.

“Kita harus ingat bahwa kesejahteraan warga Palestina di Gaza tidak pernah menjadi perhatian Israel atau AS. Ada kecaman internasional terhadap genosida, penderitaan yang mengerikan, pembantaian orang-orang tak berdosa, pria, wanita dan anak-anak,” ujar Fantina.

Dia menekankan, “Hal ini telah menjadi perhatian populasi dunia. Namun, Israel dan pemerintah AS tidak peduli.”

“Serangan balasan Iran terhadap Israel, yang tentu saja sesuai dengan hukum internasional setelah pelanggaran Israel terhadap hukum internasional dengan mengebom konsulat Iran di Damaskus. Ini adalah sesuatu yang AS coba untuk menjelek-jelekkan Iran karena tindakannya padahal itu hanyalah satu pembalasan atas kejahatan yang telah dilakukan terhadap mereka,” ungkap jurnalis tersebut.



Dia menjelaskan, “Kesejahteraan masyarakat Gaza tidak pernah menjadi perhatian AS. Iran hanyalah ikan haring merah untuk mengalihkan perhatiannya.”

Menyusul serangan balasan Iran terhadap Israel pada tanggal 13 April, AS kemudian menyetujui pemberian dana sebesar USD14 miliar kepada Israel.

Tak hanya itu, 90 anggota parlemen di Kongres mendesak Ketua DPR Mike Johnson segera mengajukan rancangan undang-undang pendanaan asing.

Anggota DPR dari Partai Demokrat juga menyerukan anggota parlemen meloloskan rancangan undang-undang pendanaan luar negeri senilai USD95 miliar yang mencakup bantuan untuk Ukraina dan Israel, dengan USD17 miliar untuk pertahanan bagi Israel.

Sementara itu, para analis memperkirakan hanya USD2 miliar yang akan disalurkan untuk bantuan kemanusiaan di Gaza.

Kepresidenan Palestina mengatakan pendanaan ini akan menjadi “eskalasi yang berbahaya”, dan menambahkan dana tersebut akan “berarti menyebabkan ribuan korban warga Palestina di Jalur Gaza”.

Namun ketika ancaman perang regional memudar setelah serangan terbaru Israel, Zionis melancarkan serangan di kota Rafah, menewaskan 18 anak-anak dan empat orang lainnya, menurut pejabat kesehatan pada hari Minggu.

Sekitar 1,5 juta orang saat ini berlindung di Rafah karena ini adalah kota terakhir yang selamat dari kekejaman yang disebabkan pasukan darat Israel.

“Mereka adalah orang-orang yang oleh pemerintah AS dan sistem AS dianggap dapat dibuang karena mereka tidak berkulit putih,” tambah Fantina.

Dia menjelaskan, “AS mengirimkan lebih banyak senjata dan uang ke Ukraina. Ketika Gaza menjadi korban dengan cara yang sama, hanya saja jauh lebih buruk, dan AS, bukannya memberi rakyat Palestina sarana untuk membela diri, malah memberikan pelakunya lebih banyak sarana untuk melakukan pembantaian dan genosida. Jadi, hal ini sebagian disebabkan oleh rasisme, sebagian lagi karena keuntungan, dan sebagian lagi karena kekuasaan.”

Artikel yang diterbitkan pada Rabu menggambarkan “teror yang belum pernah terjadi sebelumnya” yang terus menghantui warga Palestina di kamp pengungsi Nur Shams di Tulkarem, hanya dua hari setelah tentara Israel menyelesaikan invasi selama 52 jam ke kamp tersebut.

Menurut artikel tersebut, pasukan Israel membunuh 14 warga Palestina. Seorang warga mengatakan ini bukan kali pertama penjajah Israel menggerebek Nur Shams.

“Namun kali ini berbeda karena kali ini mereka menggunakan kekerasan yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam penggerebekan tersebut,” ujar seorang warga.

“Pasukan Israel (IDF) adalah kekuatan yang sangat brutal, kekuatan teroris, yang disetujui pemerintah dan disetujui AS. Dan fakta bahwa ini adalah teror yang belum pernah terjadi sebelumnya sungguh mengerikan bagi saya. Dan membacanya, mereka membunuh beberapa warga Palestina,” ungkap Fantina.

“Penggerebekan itu berlangsung beberapa hari. Mereka melibas rumah-rumah dan apa pun, toko, bisnis. Hanya menakuti orang, membunuh orang dan mempersulit mereka untuk melanjutkan hidup,” pungkas dia.
(sya)
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More