3 Negara Termasuk Kongo Menyangkal Bakal Tampung Warga Gaza Jika Diusir Israel
Minggu, 07 Januari 2024 - 08:55 WIB
KINSHASA - Tiga negara Afrika telah membantah laporan media Zionis bahwa mereka akan merima rakyat Palestina jika diusir dari Gaza oleh Israel.
Ketiga negara tersebut adalah Republik Demokratik Kongo, Rwanda, dan Chad.
Para pejabat dari ketiga negara itu itu mengatakan bahwa mereka belum melakukan diskusi dengan para pejabat Israel seperti yang diberitakan oleh media Israel awal pekan ini.
"Pemerintah Chad dengan tegas menyangkal tuduhan baru-baru ini yang disiarkan oleh saluran Israel; i24, yang mengeklaim bahwa pembicaraan antara Israel dan Chad berlangsung dengan tujuan menerima ribuan warga Palestina dari Gaza,” kata pemerintah Chad melalui seorang juru bicaranya pada hari Sabtu, seperti dikutip The New Arab, Minggu (7/1/2024).
“Komitmen kami terhadap prinsip-prinsip dasar hukum internasional melarang perjanjian apa pun untuk mengusir individu dari Gaza atau berpartisipasi dalam tindakan tersebut, karena hal itu merupakan pelanggaran terhadap hak-hak tersebut,” lanjut pemerintah Chad.
Kementerian luar negeri Rwanda pada hari Jumat mengeluarkan “peringatan disinformasi” atas laporan tersebut. "Pemerintah tidak berdiskusi dengan Israel mengenai pemindahan warga Palestina dari Gaza," katanya.
Juru bicara pemerintah Kongo Patrick Muyaya mengatakan bahwa klaim media Israel itu salah, dan tidak ada rencana untuk menampung warga Palestina yang terpaksa mengungsi.
Sebagian besar dari 2,3 juta penduduk Gaza telah mengungsi akibat perang brutal dan tanpa pandang bulu yang dilakukan Israel, yang sejauh ini telah menewaskan sedikitnya 22.700 orang.
Beberapa menteri Israel menyerukan agar Gaza dibersihkan secara etnis dari warga Palestina, sementara yang lain mengatakan wilayah itu akan tetap berada di bawah kendali sipil Palestina.
Semenanjung Sinai di Mesir disebut-sebut oleh beberapa politisi Israel sebagai tempat yang memungkinkan bagi warga Palestina untuk dipaksa masuk ke sana—namun Kairo telah berulang kali menolak rencana tersebut.
Pengungsian paksa permanen warga Palestina dari Gaza merupakan kejahatan perang, kata kelompok-kelompok hak asasi manusia (HAM) dan pakar hukum.
Ketiga negara tersebut adalah Republik Demokratik Kongo, Rwanda, dan Chad.
Para pejabat dari ketiga negara itu itu mengatakan bahwa mereka belum melakukan diskusi dengan para pejabat Israel seperti yang diberitakan oleh media Israel awal pekan ini.
"Pemerintah Chad dengan tegas menyangkal tuduhan baru-baru ini yang disiarkan oleh saluran Israel; i24, yang mengeklaim bahwa pembicaraan antara Israel dan Chad berlangsung dengan tujuan menerima ribuan warga Palestina dari Gaza,” kata pemerintah Chad melalui seorang juru bicaranya pada hari Sabtu, seperti dikutip The New Arab, Minggu (7/1/2024).
“Komitmen kami terhadap prinsip-prinsip dasar hukum internasional melarang perjanjian apa pun untuk mengusir individu dari Gaza atau berpartisipasi dalam tindakan tersebut, karena hal itu merupakan pelanggaran terhadap hak-hak tersebut,” lanjut pemerintah Chad.
Kementerian luar negeri Rwanda pada hari Jumat mengeluarkan “peringatan disinformasi” atas laporan tersebut. "Pemerintah tidak berdiskusi dengan Israel mengenai pemindahan warga Palestina dari Gaza," katanya.
Juru bicara pemerintah Kongo Patrick Muyaya mengatakan bahwa klaim media Israel itu salah, dan tidak ada rencana untuk menampung warga Palestina yang terpaksa mengungsi.
Sebagian besar dari 2,3 juta penduduk Gaza telah mengungsi akibat perang brutal dan tanpa pandang bulu yang dilakukan Israel, yang sejauh ini telah menewaskan sedikitnya 22.700 orang.
Beberapa menteri Israel menyerukan agar Gaza dibersihkan secara etnis dari warga Palestina, sementara yang lain mengatakan wilayah itu akan tetap berada di bawah kendali sipil Palestina.
Semenanjung Sinai di Mesir disebut-sebut oleh beberapa politisi Israel sebagai tempat yang memungkinkan bagi warga Palestina untuk dipaksa masuk ke sana—namun Kairo telah berulang kali menolak rencana tersebut.
Pengungsian paksa permanen warga Palestina dari Gaza merupakan kejahatan perang, kata kelompok-kelompok hak asasi manusia (HAM) dan pakar hukum.
(mas)
tulis komentar anda