Nasib Warga Palestina di Hebron: Hidup Bak di Penjara, Jadi Bulan-bulanan Kekerasan Israel
Senin, 06 November 2023 - 15:39 WIB
HEBRON - Hebron adalah kota di Tepi Barat, Palestina, yang diduduki Israel. Kota ini terbagi menjadi dua kawasan, yaitu H2 dan H1.
Sekitar 20% kawasan H2 merupakan bagian dari Palestina, namun terdapat sekitar 700 warga Israel tinggal di permukiman ilegal dan militer Israel memegang kendali penuh terhadap sebagian wilayah tersebut.
Para warga Palestina di Hebron yang terkepung menggambarkan kondisi mereka seperti hidup di penjara. Mereka kerap diserang pemukim maupun tentara Israel, kehilangan pasokan, dan layanan penting, serta akses pekerjaan mereka terputus.
“Ini belum pernah terjadi sebelumnya ketika lockdown diterapkan, bahkan selama Intifada Kedua,” kata Bassam Abu Aisha, Wakil Presiden Serikat Pengemudi Lokal dan mantan Presiden Komite Populer untuk Tel Rumeida, seperti dikutip dari Al Jazeera, Senin (6/11/2023).
“Kami seperti berada di penjara,” imbuh beberapa warga Palestina di Hebron.
Setelah serangan besar Hamas pada 7 Oktober ke Israel selatan, para tentara Zionis Israel di kota Hebron memerintahkan pemilik segera menutup toko dan tinggal di rumah. Perintah itu diwarnai dengan todongan senjata.
Melalui grup obrolan online, para warga Palestina cemas dengan pemberitahuan bahwa mereka yang tinggal di kawasan H2 akan ditembak pasukan Israel jika ditemukan berada di luar rumah.
Pemberitahuan itu memaksa warga Palestina di H2 sama sekali tidak meninggalkan rumah dan hidup dari perbekalan yang mereka punya.
Mereka hanya boleh keluar rumah dan melintasi pos pemeriksaan pada jam yang telah ditentukan, yaitu pagi dan malam pada hari Minggu, Selasa, dan Kamis.
Seorang aktivis lokal, Issa Amro, menceritakan bahwa dirinya pernah ditahan oleh tentara dan pemukim Israel yang mengenakan seragam militer.
Melalui sambungan telepon dengan Al Jazeera, Amro menjelaskan bahwa dirinya diborgol dan ditutup matanya selama hampir 10 jam, serta mengalami penyiksaan. Setelahnya barulah dia dilepaskan.
“Ini pengalaman hidup pertama saya disiksa,” kata Amro.
Amro yang saat ini masih tinggal bersama dengan temannya dan belum bisa kembali ke rumah karena masa pemulihan dari cedera mengatakan bahwa pemukim berseragam militer Israel kerap kali menyerang rumahnya.
Sebagai batalyon cadangan, tentara Israel di H2 telah mengambil bagian untuk bertanggung jawab di kota Hebron, setelah pasukan militer Israel dikerahkan ke Gaza dan perbatasan Lebanon.
“Pada siang hari mereka adalah tentara dan pada malam hari mereka menjadi pemukim,” kata Emad Hamdan, Direktur Eksekutif Komite Rehabilitasi Hebron (HRC).
Sejumlah warga Palestina mengatakan para tentara mengarahkan senjatanya ke siapapun yang naik ke atap rumah atau bahkan mengintip melalui jendela, sambil berteriak agar mereka tetap di dalam.
Meskipun telah diberi waktu yang telah ditentukan untuk keluar rumah, warga Palestina masih tetap menghadapi risiko yang besar dari para pemukim bersenjata.
“Para pemukim mencoba menyentuh perempuan dan anak perempuan kami,” kata Abu Aisha, warga Palestina.
“Mereka menyerang kami, mereka mengucapkan segala macam kata-kata yang mengerikan untuk memancing reaksi, sehingga mereka punya alasan untuk membunuh kami,” ujarnya.
Militer Israel di kawasan H2 juga telah memaksa sebagian besar anak-anak Palestina tidak dapat bersekolah, walaupun militer baru-baru ini mengeklaim telah mengizinkan para siswa Palestina berjalan di luar dan melintasi pos pemeriksaan.
Para orang tua takut anak-anak mereka diserang pemukim Israel bersenjata.
Beberapa keluarga telah mencoba melakukan pembelajaran online, tetapi koneksi internet yang buruk menjadi penghambat untuk melakukan aktivitas pembelajaran.
Selain pendidikan, akses terhadap layanan medis dan pekerjaan juga dibatasi oleh para tentara Israel di Hebron.
Pembatasan pergerakan yang ketat membuat warga tidak dapat mengakses layanan dasar atau perawatan medis, bahkan ketika mereka sangat membutuhkannya.
Dibatasinya akses kehidupan terhadap kehidupan warga Palestina di Hebron, membuat warga kehilangan pekerjaan dan cadangan uang tunai mereka semakin hari semakin menipis.
“Sebagian besar keluarga di daerah ini adalah pekerja tetap dan pekerja kerah biru,” kata Hamdan dari HRC.
“Kalau tidak bekerja, mereka tidak punya penghasilan. Jadi bagaimana mereka bisa menutupi pengeluaran jika mereka tidak bisa bekerja?” lanjut Hamdan.
Menurut laporan Anadolu, pendudukan militer Israel di Hebron telah memaksa lebih dari 250 warga Palestina dari desa Zanuta, di selatan Hebron, terpaksa meninggalkan rumah dan tanah mereka karena kekerasan dan serangan yang dilakukan oleh pemukim Israel.
Semua pemukiman Yahudi Israel di wilayah pendudukan dianggap ilegal menurut hukum internasional.
MG/Maulana Muhammad Rizqi
Sekitar 20% kawasan H2 merupakan bagian dari Palestina, namun terdapat sekitar 700 warga Israel tinggal di permukiman ilegal dan militer Israel memegang kendali penuh terhadap sebagian wilayah tersebut.
Para warga Palestina di Hebron yang terkepung menggambarkan kondisi mereka seperti hidup di penjara. Mereka kerap diserang pemukim maupun tentara Israel, kehilangan pasokan, dan layanan penting, serta akses pekerjaan mereka terputus.
“Ini belum pernah terjadi sebelumnya ketika lockdown diterapkan, bahkan selama Intifada Kedua,” kata Bassam Abu Aisha, Wakil Presiden Serikat Pengemudi Lokal dan mantan Presiden Komite Populer untuk Tel Rumeida, seperti dikutip dari Al Jazeera, Senin (6/11/2023).
“Kami seperti berada di penjara,” imbuh beberapa warga Palestina di Hebron.
Setelah serangan besar Hamas pada 7 Oktober ke Israel selatan, para tentara Zionis Israel di kota Hebron memerintahkan pemilik segera menutup toko dan tinggal di rumah. Perintah itu diwarnai dengan todongan senjata.
Melalui grup obrolan online, para warga Palestina cemas dengan pemberitahuan bahwa mereka yang tinggal di kawasan H2 akan ditembak pasukan Israel jika ditemukan berada di luar rumah.
Pemberitahuan itu memaksa warga Palestina di H2 sama sekali tidak meninggalkan rumah dan hidup dari perbekalan yang mereka punya.
Mereka hanya boleh keluar rumah dan melintasi pos pemeriksaan pada jam yang telah ditentukan, yaitu pagi dan malam pada hari Minggu, Selasa, dan Kamis.
Seorang aktivis lokal, Issa Amro, menceritakan bahwa dirinya pernah ditahan oleh tentara dan pemukim Israel yang mengenakan seragam militer.
Melalui sambungan telepon dengan Al Jazeera, Amro menjelaskan bahwa dirinya diborgol dan ditutup matanya selama hampir 10 jam, serta mengalami penyiksaan. Setelahnya barulah dia dilepaskan.
“Ini pengalaman hidup pertama saya disiksa,” kata Amro.
Amro yang saat ini masih tinggal bersama dengan temannya dan belum bisa kembali ke rumah karena masa pemulihan dari cedera mengatakan bahwa pemukim berseragam militer Israel kerap kali menyerang rumahnya.
Sebagai batalyon cadangan, tentara Israel di H2 telah mengambil bagian untuk bertanggung jawab di kota Hebron, setelah pasukan militer Israel dikerahkan ke Gaza dan perbatasan Lebanon.
“Pada siang hari mereka adalah tentara dan pada malam hari mereka menjadi pemukim,” kata Emad Hamdan, Direktur Eksekutif Komite Rehabilitasi Hebron (HRC).
Sejumlah warga Palestina mengatakan para tentara mengarahkan senjatanya ke siapapun yang naik ke atap rumah atau bahkan mengintip melalui jendela, sambil berteriak agar mereka tetap di dalam.
Meskipun telah diberi waktu yang telah ditentukan untuk keluar rumah, warga Palestina masih tetap menghadapi risiko yang besar dari para pemukim bersenjata.
“Para pemukim mencoba menyentuh perempuan dan anak perempuan kami,” kata Abu Aisha, warga Palestina.
“Mereka menyerang kami, mereka mengucapkan segala macam kata-kata yang mengerikan untuk memancing reaksi, sehingga mereka punya alasan untuk membunuh kami,” ujarnya.
Militer Israel di kawasan H2 juga telah memaksa sebagian besar anak-anak Palestina tidak dapat bersekolah, walaupun militer baru-baru ini mengeklaim telah mengizinkan para siswa Palestina berjalan di luar dan melintasi pos pemeriksaan.
Para orang tua takut anak-anak mereka diserang pemukim Israel bersenjata.
Beberapa keluarga telah mencoba melakukan pembelajaran online, tetapi koneksi internet yang buruk menjadi penghambat untuk melakukan aktivitas pembelajaran.
Selain pendidikan, akses terhadap layanan medis dan pekerjaan juga dibatasi oleh para tentara Israel di Hebron.
Pembatasan pergerakan yang ketat membuat warga tidak dapat mengakses layanan dasar atau perawatan medis, bahkan ketika mereka sangat membutuhkannya.
Dibatasinya akses kehidupan terhadap kehidupan warga Palestina di Hebron, membuat warga kehilangan pekerjaan dan cadangan uang tunai mereka semakin hari semakin menipis.
“Sebagian besar keluarga di daerah ini adalah pekerja tetap dan pekerja kerah biru,” kata Hamdan dari HRC.
“Kalau tidak bekerja, mereka tidak punya penghasilan. Jadi bagaimana mereka bisa menutupi pengeluaran jika mereka tidak bisa bekerja?” lanjut Hamdan.
Menurut laporan Anadolu, pendudukan militer Israel di Hebron telah memaksa lebih dari 250 warga Palestina dari desa Zanuta, di selatan Hebron, terpaksa meninggalkan rumah dan tanah mereka karena kekerasan dan serangan yang dilakukan oleh pemukim Israel.
Semua pemukiman Yahudi Israel di wilayah pendudukan dianggap ilegal menurut hukum internasional.
MG/Maulana Muhammad Rizqi
(mas)
tulis komentar anda