Perbudakan Tampar Korsel, Korban Mengaku seperti di Neraka
A
A
A
SEOUL - Praktik perbudakan diam-diam terjadi di Korea Selatan (Korsel) yang sekaligus jadi tamparan bagi negara itu. Seorang pria yang dipaksa jadi buruh tani tanpa dibayar mengaku seperti tinggal di neraka.
Kasus ini jadi “tamparan” bagi Korsel. Sebab, selama ini Pemerintah Korsel kerap mengecam praktik perbudakan dan pelanggaran HAM di negara tetangganya, Korea Utara (Korut).
Pria bernama Kim Seong-baek dipaksa bekerja 18 jam sehari di pertambangan kristal garam di wilayah yang jauh dari Ibu Kota Seoul. Dia mengajak korban perbudakan yang lain lari menuju pantai karena tidak tahan dengan penderitaan yang dia alami.
”Itu seperti tinggal di neraka,” kata Kim Seong-baek. ”Saya pikir hidup saya sudah berakhir,” katanya lagi.
Kim sejatinya pernah memohon bantuan kepada sejumlah warga yang dia temui. Warga, bahkan sempat menawarkan bantuan untuk melapor ke polisi. Namun, dalam persidangan dia kalah dalam “pertarungan hukum” dengan majikan yang memperbudaknya.
”Saya tidak bisa melawan," kata Kim, dalam wawancara terbaru dengan The Associated Press yang dilansir Sabtu (3/1/2015). Pengakuan itu diperkuat catatan pengadilan.”Para penduduk di pulau itu terlalu terorganisir dan terhubung,” lanjut dia mengacu kuatnya pengaruh majikannya tersebut.
Praktik perbudakan berkembang di wilayah pantai di Korsel wilayah barat daya. Perbudakan bahkan telah berlangsung selama satu dekade terakhir, di mana para difabel menjadi korbannya.
Kasus ini membuat malu pemerintah Korsel dan memicu kemarahan publik. Kasus Kim telah mendorong pemerintah Korsel untuk menginstruksikan penyelidikan selama beberapa bulan.
Tapi, menurut investigasi AP selama berbulan-bulan kondisi itu belum berubah. Data itu diperkuat dokumen kepolisian yang membebaskan para budak.
Kasus ini jadi “tamparan” bagi Korsel. Sebab, selama ini Pemerintah Korsel kerap mengecam praktik perbudakan dan pelanggaran HAM di negara tetangganya, Korea Utara (Korut).
Pria bernama Kim Seong-baek dipaksa bekerja 18 jam sehari di pertambangan kristal garam di wilayah yang jauh dari Ibu Kota Seoul. Dia mengajak korban perbudakan yang lain lari menuju pantai karena tidak tahan dengan penderitaan yang dia alami.
”Itu seperti tinggal di neraka,” kata Kim Seong-baek. ”Saya pikir hidup saya sudah berakhir,” katanya lagi.
Kim sejatinya pernah memohon bantuan kepada sejumlah warga yang dia temui. Warga, bahkan sempat menawarkan bantuan untuk melapor ke polisi. Namun, dalam persidangan dia kalah dalam “pertarungan hukum” dengan majikan yang memperbudaknya.
”Saya tidak bisa melawan," kata Kim, dalam wawancara terbaru dengan The Associated Press yang dilansir Sabtu (3/1/2015). Pengakuan itu diperkuat catatan pengadilan.”Para penduduk di pulau itu terlalu terorganisir dan terhubung,” lanjut dia mengacu kuatnya pengaruh majikannya tersebut.
Praktik perbudakan berkembang di wilayah pantai di Korsel wilayah barat daya. Perbudakan bahkan telah berlangsung selama satu dekade terakhir, di mana para difabel menjadi korbannya.
Kasus ini membuat malu pemerintah Korsel dan memicu kemarahan publik. Kasus Kim telah mendorong pemerintah Korsel untuk menginstruksikan penyelidikan selama beberapa bulan.
Tapi, menurut investigasi AP selama berbulan-bulan kondisi itu belum berubah. Data itu diperkuat dokumen kepolisian yang membebaskan para budak.
(mas)