Perang di Gaza adalah Tirani....
A
A
A
GAZA - Mohamed Al-Batsh, sudah mempunyai firasat buruk sehari sebelum serangan udara Israel di Jalur Gaza dimulai. Remaja di Jalur Gaza itu menatap wajah ayahnya.
”Dia tampak aneh," kata Al-Batsh menggambarkan wajah ayahnya. ”Saya pergi ke kamar, menutup pintu, dan saya tahu dia akan mati. Saya meletakkan kepala di bantal dan menangis untuk ayah saya dan orang-orang yang akan mati,” lanjut dia, seperti dikutip CNN, Selasa (15/7/2014).
Ayah Batsh adalah seorang pemimpin sayap militer Hamas. Ayahnya tewas Sabtu malam lalu oleh serangan udara Israel, bersama dengan 17 orang lainnya. Itu adalah salah satu serangan paling berdarah, di mana salah satu korbannya ada yang baru berusia 10 tahun.
Serangan di Shaja'ia, dekat Kota Gaza tersebut menggambarkan bagaimana penduduk Gaza terjebak dalam perang, tanpa jalan keluar.
Otoritas Kesehatan Palestina menyatakan, invasi Israel di Jalur Gaza selama lebih dari sepekan ini sudah menewaskan 186 warga Gaza. Sebanyak 1.390 lainnya terluka.
Serangan udara Israel memang diklaim untuk menumpas para militan. Tapi, data PBB menyebut, 70 persen korban invasi Israel di Jalur Gaza adalah warga sipil, dengan 30 di antaranya anak-anak.
Adegan kehancuran yang diceritakan Al-Batsh juga terulang di Jabalya, Gaza utara. Di sana, isi rumah bereserakan di jalanan setelah serangan udara Israel diluncurkan. Rumah-rumah warga memang menjadi target militer Israel, karena dianggap sebagai tempat persembunyian para militan, penyimpanan amunisi, dan rencana teror.
Militer Israel mengatakan, pasukannya telah menyerang 1.470 target “teror" di Gaza. Mereka menuduh militan Hamas kerap menyembunyikan rudal dan senjata lainnya di rumah sakit dan rumah-rumah pribadi.
Para warga sipil di Gaza yang tidak terlibat perseteruan antara Hamas dan Israel pun merasa perang di Gaza adalah tirani bagi mereka. Mohamed Abu Hasan, misalnya. Dia sampai saat ini tidak mengerti, mengapa dia dan keluarganya seperti dihukum, meski tidak terlibat konflik Hamas dan Israel
”Anak saya tidak ada di sini,” ujar Abu Hassan kepada tetangganya. ”Apakah dia melawan Israel?," tanya Abu Hasan kepada istrinya yang memastikan anaknya yang jadi korban perang tidak terlibat konflik. ”Ini adalah tirani,” katanya lagi.
”Dia tampak aneh," kata Al-Batsh menggambarkan wajah ayahnya. ”Saya pergi ke kamar, menutup pintu, dan saya tahu dia akan mati. Saya meletakkan kepala di bantal dan menangis untuk ayah saya dan orang-orang yang akan mati,” lanjut dia, seperti dikutip CNN, Selasa (15/7/2014).
Ayah Batsh adalah seorang pemimpin sayap militer Hamas. Ayahnya tewas Sabtu malam lalu oleh serangan udara Israel, bersama dengan 17 orang lainnya. Itu adalah salah satu serangan paling berdarah, di mana salah satu korbannya ada yang baru berusia 10 tahun.
Serangan di Shaja'ia, dekat Kota Gaza tersebut menggambarkan bagaimana penduduk Gaza terjebak dalam perang, tanpa jalan keluar.
Otoritas Kesehatan Palestina menyatakan, invasi Israel di Jalur Gaza selama lebih dari sepekan ini sudah menewaskan 186 warga Gaza. Sebanyak 1.390 lainnya terluka.
Serangan udara Israel memang diklaim untuk menumpas para militan. Tapi, data PBB menyebut, 70 persen korban invasi Israel di Jalur Gaza adalah warga sipil, dengan 30 di antaranya anak-anak.
Adegan kehancuran yang diceritakan Al-Batsh juga terulang di Jabalya, Gaza utara. Di sana, isi rumah bereserakan di jalanan setelah serangan udara Israel diluncurkan. Rumah-rumah warga memang menjadi target militer Israel, karena dianggap sebagai tempat persembunyian para militan, penyimpanan amunisi, dan rencana teror.
Militer Israel mengatakan, pasukannya telah menyerang 1.470 target “teror" di Gaza. Mereka menuduh militan Hamas kerap menyembunyikan rudal dan senjata lainnya di rumah sakit dan rumah-rumah pribadi.
Para warga sipil di Gaza yang tidak terlibat perseteruan antara Hamas dan Israel pun merasa perang di Gaza adalah tirani bagi mereka. Mohamed Abu Hasan, misalnya. Dia sampai saat ini tidak mengerti, mengapa dia dan keluarganya seperti dihukum, meski tidak terlibat konflik Hamas dan Israel
”Anak saya tidak ada di sini,” ujar Abu Hassan kepada tetangganya. ”Apakah dia melawan Israel?," tanya Abu Hasan kepada istrinya yang memastikan anaknya yang jadi korban perang tidak terlibat konflik. ”Ini adalah tirani,” katanya lagi.
(mas)