Ketika Kata Allah Dimonopoli di Bumi Malaysia
A
A
A
KUALA LUMPUR - Gedung Mahkamah Agung (MA) Malaysia, menjadi saksi bisu sejarah kontroversi di negara itu. Di gedung itulah, sebuah panel yang terdiri dari tujuh hakim membuat keputusan hukum tertinggi sekaligus kontroversi di Malaysia, yakni larangan penggunaan kata “Allah” bagi warga non-Muslim.
Bagaimana keputusan yang menggoyang toleransi beragama di bumi Malaysia itu muncul? Cerita sengketa penyebutan nama Tuhan itu bermula pada tahun 2007.
Entah karena sebab apa, kala itu Departemen Dalam Negeri Malaysia mengancam akan mencabut izin penerbitan Herald karena menggunakan kata “Allah” dalam laporan berbahasa Melayu. Herald dianggap sebagai media non-Muslim di Malaysia, dan kebetulan petinggi redaksi media itu adalah seorang pastur bernama Lawrence Andrew.
Ancaman itu benar-benar diwujudkan oleh pengadilan yang memutuskan kata “Allah” dilarang digunakan warga non-Muslim. Merasa aneh dengan kebijakan itu, Andrew mewakili medianya dan pihak gereja di Malaysia menggugat putusan pengadilan itu.
Alasannya, kata Andrew, kata “Allah” sudah digunakan selama berabad-abad di Alkitab dalam bahasa Melayu. Sengketa itu berlanjut, dan pada tahun 2009 pengadilan tingkat rendah mengabulkan gugatan media itu. Putusan itu ternyata memicu perusakan terhadap rumah-rumah ibadah di Malaysia.
Pihak yang tidak terima dengan putusan pengadilan tahun 2009 mengajukan banding. Pada Oktober tahun 2013, pengadilan banding membatalkan putusan pengadilan 2009. Pihak media Herald kembali mengajukan banding ke MA, hingga akhirnya kemarin MA memutusakan untuk menguatkan larangan penggunaan kata “Allah” bagi non-Muslim di Malaysia.
"(Putusan Pengadilan Tinggi) ini menerapkan uji yang benar, dan tidak kuasa bagi kita untuk mengganggunya,” kata Ketua MA Malaysia, Arifin Zakaria. ”Oleh karena itu, aplikasi (banding) ini diberhentikan.”
Putusan yang tidak bisa diganggu gugat itu seolah-olah menyiratkan, jika nama Tuhan telah dimonopoli sekelompok agama saja yang kebetulan menjadi mayoritas di Malaysia.
Warga Sedih
Meski menjadi putusan yang mengakiri sengketa berkepanjangan, warga Malaysia sendiri ada yang kecewa. Para pemimpin dari Sabah dan Sarawak, misalnya telah cemas dengan putusan MA itu. (Baca: MA Malaysia: Non-Muslim Dilarang Gunakan Kata "Allah")
Menteri Sarawak, James Masing, menyatakan, tidak ada yang menang dan yang kalah dalam putusan MA. ”Dan yang kalah di sini adalah Malaysia, dan kebebasan beragama,” ucapnya. Dia kini merasa seolah-olah asing di negaranya sendiri yang sudah bertahun-tahun menjamin toleransi dan kebebasan beragama.
Dia pun berharap putusan MA itu ditinjau ulang. ”Ada orang-orang non-Muslim dari Sarawak dan Sabah yang bekerja dan tinggal di semenanjung itu. Apakah mereka akan dilarang menggunakan kata 'Allah' dalam praktik keagamaan mereka?,” tanya dia. "Apakah mereka akan dihukum bila mereka menjalankan keyakinan mereka dalam lingkup Konstitusi Federal?,” tanya dia lagi.
Kepala Partai Reformasi Negara Sabah, Jeffrey Kitingan, mengkritik lebih keras putusan MA itu. Dia menyebut, putusan itu telah membuka jalan bagi Islamisasi negara.
”Ini hari yang menyedihkan. Kebebasan beragama yang diabadikan dalam konstitusi sekarang dirusak,” ucap Kitingan.”Kebebasan beragama dalam 20 poin Perjanjian Malaysia juga terancam.” ”Saya merasa sedih untuk berpikir tentang masa depan negara ini,” imbuh Kitingan.
Putusan MA Malaysia itu juga dikecam Amnesty Internasional. Kelompok yang berbasis di London itu mendesak agar putusan MA tersebut dicabut.
”Larangan Malaysia terhadap warga non-Mulsim menggunakan kata 'Allah' untuk menyebut Tuhan adalah pelecehan terhadap kebebasan berbicara,” kata peneliti dari Amnesty untuk wilayah Malaysia Hazel Galang-Folli.
”Larangan ini berisiko lebih menyulut ketegangan agama di Malaysia, dengan menyangkal hak rakyatnya atas kebebasan beragama.”
Bagaimana keputusan yang menggoyang toleransi beragama di bumi Malaysia itu muncul? Cerita sengketa penyebutan nama Tuhan itu bermula pada tahun 2007.
Entah karena sebab apa, kala itu Departemen Dalam Negeri Malaysia mengancam akan mencabut izin penerbitan Herald karena menggunakan kata “Allah” dalam laporan berbahasa Melayu. Herald dianggap sebagai media non-Muslim di Malaysia, dan kebetulan petinggi redaksi media itu adalah seorang pastur bernama Lawrence Andrew.
Ancaman itu benar-benar diwujudkan oleh pengadilan yang memutuskan kata “Allah” dilarang digunakan warga non-Muslim. Merasa aneh dengan kebijakan itu, Andrew mewakili medianya dan pihak gereja di Malaysia menggugat putusan pengadilan itu.
Alasannya, kata Andrew, kata “Allah” sudah digunakan selama berabad-abad di Alkitab dalam bahasa Melayu. Sengketa itu berlanjut, dan pada tahun 2009 pengadilan tingkat rendah mengabulkan gugatan media itu. Putusan itu ternyata memicu perusakan terhadap rumah-rumah ibadah di Malaysia.
Pihak yang tidak terima dengan putusan pengadilan tahun 2009 mengajukan banding. Pada Oktober tahun 2013, pengadilan banding membatalkan putusan pengadilan 2009. Pihak media Herald kembali mengajukan banding ke MA, hingga akhirnya kemarin MA memutusakan untuk menguatkan larangan penggunaan kata “Allah” bagi non-Muslim di Malaysia.
"(Putusan Pengadilan Tinggi) ini menerapkan uji yang benar, dan tidak kuasa bagi kita untuk mengganggunya,” kata Ketua MA Malaysia, Arifin Zakaria. ”Oleh karena itu, aplikasi (banding) ini diberhentikan.”
Putusan yang tidak bisa diganggu gugat itu seolah-olah menyiratkan, jika nama Tuhan telah dimonopoli sekelompok agama saja yang kebetulan menjadi mayoritas di Malaysia.
Warga Sedih
Meski menjadi putusan yang mengakiri sengketa berkepanjangan, warga Malaysia sendiri ada yang kecewa. Para pemimpin dari Sabah dan Sarawak, misalnya telah cemas dengan putusan MA itu. (Baca: MA Malaysia: Non-Muslim Dilarang Gunakan Kata "Allah")
Menteri Sarawak, James Masing, menyatakan, tidak ada yang menang dan yang kalah dalam putusan MA. ”Dan yang kalah di sini adalah Malaysia, dan kebebasan beragama,” ucapnya. Dia kini merasa seolah-olah asing di negaranya sendiri yang sudah bertahun-tahun menjamin toleransi dan kebebasan beragama.
Dia pun berharap putusan MA itu ditinjau ulang. ”Ada orang-orang non-Muslim dari Sarawak dan Sabah yang bekerja dan tinggal di semenanjung itu. Apakah mereka akan dilarang menggunakan kata 'Allah' dalam praktik keagamaan mereka?,” tanya dia. "Apakah mereka akan dihukum bila mereka menjalankan keyakinan mereka dalam lingkup Konstitusi Federal?,” tanya dia lagi.
Kepala Partai Reformasi Negara Sabah, Jeffrey Kitingan, mengkritik lebih keras putusan MA itu. Dia menyebut, putusan itu telah membuka jalan bagi Islamisasi negara.
”Ini hari yang menyedihkan. Kebebasan beragama yang diabadikan dalam konstitusi sekarang dirusak,” ucap Kitingan.”Kebebasan beragama dalam 20 poin Perjanjian Malaysia juga terancam.” ”Saya merasa sedih untuk berpikir tentang masa depan negara ini,” imbuh Kitingan.
Putusan MA Malaysia itu juga dikecam Amnesty Internasional. Kelompok yang berbasis di London itu mendesak agar putusan MA tersebut dicabut.
”Larangan Malaysia terhadap warga non-Mulsim menggunakan kata 'Allah' untuk menyebut Tuhan adalah pelecehan terhadap kebebasan berbicara,” kata peneliti dari Amnesty untuk wilayah Malaysia Hazel Galang-Folli.
”Larangan ini berisiko lebih menyulut ketegangan agama di Malaysia, dengan menyangkal hak rakyatnya atas kebebasan beragama.”
(mas)