Rusia Jadi Bulan-bulanan Kelompok G-7
A
A
A
BRUSSELS - Negara-negara industri maju yang tergabung dalam kelompok G-7 kompak mengancam untuk menjatuhkan sanksi yang lebih keras kepada Rusia. Rusia menjadi bulan-bulanan AS dan negara-negara G-7 lainnya lantaran masih dianggap ikut campur dalam krisis Ukraina.
Sanksi lebih keras itu benar-benar akan dijatuhkan jika Rusia tidak membantu untuk memulihkan stabilitas di Ukraina timur, di mana para milisi pro-Rusia terus beroperasi.
Saat ini, pasukan Ukraina telah berhasil menguasai sejumlah wilayah di Ukraina timur yang sebelumnya diduduki kelompok separatis pro-Rusia. Keberhasilan itu berkat operasi militer besar-besaran yang dilakukan militer Kiev setelah Ukraina menggelar pemilu beberapa waktu lalu.
”Kami siap untuk mengintensifkan sanksi yang ditargetkan (kepada Rusia), dan untuk mempertimbangkan langkah-langkah pembatasan (sanksi) tambahan yang signifikan guna menekan Rusia lebih yang memang seharusnya demikian,” bunyi pernyataan kelompok G-7, saat bertemu di Brussels, seperti dikutip Reuters, Kamis (5/6/2014).
Kelompok G-7 sejatinya semula bernama G-8, dan Rusia menjadi salah satu anggotanya. Namun, sejak krisis Ukraina pecah, Rusia didepak dari G-8. Kemudian kelompok itu mengubah namanya menjadi G-7.
Kanselir Jerman, Angela Merkel, mengatakan negara-negara Barat akan menyelidiki lagi untuk memverifikasi tuduhan apakah Rusia benar-benar melakukan tindakan destabilisasi di Ukraina timur, setelah mencaplok Crimea dari Ukraina Maret lalu.
“Jika kita tidak memiliki kemajuan dalam pertanyaan yang harus kita pecahkan, yang kemungkinan berujung pada penjatuhan saksi tahap tiga,” kata Merkel, mengacu pada rincian sanksi pembatasan perdagangan, keuangan dan energi.
Sejauh ini, Amerika Serikat dan Uni Eropa telah memberlakukan sanksi larangan perjalanan dan pembekuan aset milik puluhan pejabat Rusia, sejak negara pimpinan Vladimir Putin itu mencaplok Crimea dari Ukraina. Mereka menganggap Putin belum melakukan tindakan yang cukup untuk meredakan situasi di Ukraina timur.
Sementara itu, Rusia membantah berada di belakang pemberontakan di Ukraina timur, di mana kelompok separatis pro-Rusia menyerbu dan menduduki sejumlah bangunan pemerinah. Kelompok itu juga menyerang pasukan Ukraina dan sempat memproklamirkan kemerdekaan wilayah di Ukraina timru, yakni Donetsk dan Luhansk.
Sanksi lebih keras itu benar-benar akan dijatuhkan jika Rusia tidak membantu untuk memulihkan stabilitas di Ukraina timur, di mana para milisi pro-Rusia terus beroperasi.
Saat ini, pasukan Ukraina telah berhasil menguasai sejumlah wilayah di Ukraina timur yang sebelumnya diduduki kelompok separatis pro-Rusia. Keberhasilan itu berkat operasi militer besar-besaran yang dilakukan militer Kiev setelah Ukraina menggelar pemilu beberapa waktu lalu.
”Kami siap untuk mengintensifkan sanksi yang ditargetkan (kepada Rusia), dan untuk mempertimbangkan langkah-langkah pembatasan (sanksi) tambahan yang signifikan guna menekan Rusia lebih yang memang seharusnya demikian,” bunyi pernyataan kelompok G-7, saat bertemu di Brussels, seperti dikutip Reuters, Kamis (5/6/2014).
Kelompok G-7 sejatinya semula bernama G-8, dan Rusia menjadi salah satu anggotanya. Namun, sejak krisis Ukraina pecah, Rusia didepak dari G-8. Kemudian kelompok itu mengubah namanya menjadi G-7.
Kanselir Jerman, Angela Merkel, mengatakan negara-negara Barat akan menyelidiki lagi untuk memverifikasi tuduhan apakah Rusia benar-benar melakukan tindakan destabilisasi di Ukraina timur, setelah mencaplok Crimea dari Ukraina Maret lalu.
“Jika kita tidak memiliki kemajuan dalam pertanyaan yang harus kita pecahkan, yang kemungkinan berujung pada penjatuhan saksi tahap tiga,” kata Merkel, mengacu pada rincian sanksi pembatasan perdagangan, keuangan dan energi.
Sejauh ini, Amerika Serikat dan Uni Eropa telah memberlakukan sanksi larangan perjalanan dan pembekuan aset milik puluhan pejabat Rusia, sejak negara pimpinan Vladimir Putin itu mencaplok Crimea dari Ukraina. Mereka menganggap Putin belum melakukan tindakan yang cukup untuk meredakan situasi di Ukraina timur.
Sementara itu, Rusia membantah berada di belakang pemberontakan di Ukraina timur, di mana kelompok separatis pro-Rusia menyerbu dan menduduki sejumlah bangunan pemerinah. Kelompok itu juga menyerang pasukan Ukraina dan sempat memproklamirkan kemerdekaan wilayah di Ukraina timru, yakni Donetsk dan Luhansk.
(mas)