Pemilu Mesir dimulai 27 April
A
A
A
Sindonews.com - Presiden Mesir Muhamad Mursi mengumumkan pemilihan umum (pemilu) parlemen akan dimulai pada 27 April mendatang. Pemilu akan berlangsung dalam empat tahap.
Pemilu tahap pertama digelar di lima provinsi, termasuk Kairo,pada 27 dan 28 April.Putaran kedua di wilayah ini dijadwalkan pada 4 dan 5 Mei. Kemudian, pemilu tahap kedua digelar di delapan provinsi, termasuk Giza dan Alexandria, pada 15 dan 16 Mei. Di wilayah ini putaran kedua dilakukan seminggu kemudian. Sedangkan, delapan provinsi lainnya akan menggelar pemilu pada 2 dan 3 Juni dan putaran kedua dijadwalkan pada 9 dan 10 Juni.
Terakhir, pemilu digelar di enam provinsi pada 19 dan 20 Juni. Untuk wilayah ini, putaran kedua dijadwalkan pada 26 dan 27 Juni. AFP melaporkan, pemilu digelar setelah upaya adopsi konstitusi yang didukung Islamis pada Desember tahun lalu banyak menuai kecaman dari oposisi dan kelompok hak asasi manusia internasional karena dianggap gagal melindungi hak dasar manusia.
Sebelumnya, pada Kamis (21/2), Dewan Syura, jajaran tinggi parlemen yang memegang kendali legislasif, mengadopsi aturan pemilu yang diamendemen Mahkamah Konstitusi dan telah dikirim ke Mursi untuk ratifikasi. Aturan ini melarang anggota parlemen mengubah afiliasi politik mereka setelah terpilih dan menekankan bahwa sepertiga dari kursi parlemen harus disediakan untuk calon independen.
Aturan sangat jauh berbeda dengan apa yang terjadi pada rezim Presiden Husni Mubarak yang telah digulingkan. Saat itu calon independen yang memenangkan kursi kerap bergabung dengan Partai Demokratik Nasional yang dipimpin Mubarak sehingga menguatkan monopoli partai berkuasa itu. Menghadapi pemilu ini, Partai Keadilan dan Kebebasan (FJP) milik Ikhwanul Muslimin optimistis meraih lebih banyak kursi dibanding pemilu sebelumnya, yang sempat meraih 40% suara.
Namun, Ikhwanul Muslimin menghadapi lawan oposisi yang begitu luas, termasuk kalangan Islamis konservatif yang menuduh kelompok itu melakukan kekuasaan monopoli. Sementara itu, Majelis Rendah telah terpilih pada awal tahun lalu dan dimenangkan Islamis dengan kemenangan mayoritas. Namun, pada Juni lalu Mahkamah Konstitusi Agung menyatakan bahwa kemenangan itu tidak sah.
Mahkamah Konstitusi Agung juga menegaskan banyak penyimpangan undang - undang pemilu. Saat itu pemilu dilakukan ketika Mesir dilanda kerusuhan, ketidakamanan dan krisis ekonomi. Negara ini juga terpecah belah antara pendukung utama Mursi, yakni Islamis, dan oposisi yang dipimpin liberal. Selama ini Mesir mengalami berbagai masalah. Mulai dari kerusuhan, ketidakamanan, melonjaknya harga, dan gejolak politik yang semakin menghancurkan negara itu.
Tak heran aksi protes dilakukan warga Mesir dengan menuduh Mursi telah mengkhianati revolusi yang membuatnya menang. Aksi protes bahkan sering berubah bentrokan dengan polisi yang terkadang berujung maut.
Pemilu tahap pertama digelar di lima provinsi, termasuk Kairo,pada 27 dan 28 April.Putaran kedua di wilayah ini dijadwalkan pada 4 dan 5 Mei. Kemudian, pemilu tahap kedua digelar di delapan provinsi, termasuk Giza dan Alexandria, pada 15 dan 16 Mei. Di wilayah ini putaran kedua dilakukan seminggu kemudian. Sedangkan, delapan provinsi lainnya akan menggelar pemilu pada 2 dan 3 Juni dan putaran kedua dijadwalkan pada 9 dan 10 Juni.
Terakhir, pemilu digelar di enam provinsi pada 19 dan 20 Juni. Untuk wilayah ini, putaran kedua dijadwalkan pada 26 dan 27 Juni. AFP melaporkan, pemilu digelar setelah upaya adopsi konstitusi yang didukung Islamis pada Desember tahun lalu banyak menuai kecaman dari oposisi dan kelompok hak asasi manusia internasional karena dianggap gagal melindungi hak dasar manusia.
Sebelumnya, pada Kamis (21/2), Dewan Syura, jajaran tinggi parlemen yang memegang kendali legislasif, mengadopsi aturan pemilu yang diamendemen Mahkamah Konstitusi dan telah dikirim ke Mursi untuk ratifikasi. Aturan ini melarang anggota parlemen mengubah afiliasi politik mereka setelah terpilih dan menekankan bahwa sepertiga dari kursi parlemen harus disediakan untuk calon independen.
Aturan sangat jauh berbeda dengan apa yang terjadi pada rezim Presiden Husni Mubarak yang telah digulingkan. Saat itu calon independen yang memenangkan kursi kerap bergabung dengan Partai Demokratik Nasional yang dipimpin Mubarak sehingga menguatkan monopoli partai berkuasa itu. Menghadapi pemilu ini, Partai Keadilan dan Kebebasan (FJP) milik Ikhwanul Muslimin optimistis meraih lebih banyak kursi dibanding pemilu sebelumnya, yang sempat meraih 40% suara.
Namun, Ikhwanul Muslimin menghadapi lawan oposisi yang begitu luas, termasuk kalangan Islamis konservatif yang menuduh kelompok itu melakukan kekuasaan monopoli. Sementara itu, Majelis Rendah telah terpilih pada awal tahun lalu dan dimenangkan Islamis dengan kemenangan mayoritas. Namun, pada Juni lalu Mahkamah Konstitusi Agung menyatakan bahwa kemenangan itu tidak sah.
Mahkamah Konstitusi Agung juga menegaskan banyak penyimpangan undang - undang pemilu. Saat itu pemilu dilakukan ketika Mesir dilanda kerusuhan, ketidakamanan dan krisis ekonomi. Negara ini juga terpecah belah antara pendukung utama Mursi, yakni Islamis, dan oposisi yang dipimpin liberal. Selama ini Mesir mengalami berbagai masalah. Mulai dari kerusuhan, ketidakamanan, melonjaknya harga, dan gejolak politik yang semakin menghancurkan negara itu.
Tak heran aksi protes dilakukan warga Mesir dengan menuduh Mursi telah mengkhianati revolusi yang membuatnya menang. Aksi protes bahkan sering berubah bentrokan dengan polisi yang terkadang berujung maut.
(esn)