Panen kritik karena dinilai tak sensitif

Minggu, 13 Januari 2013 - 17:47 WIB
Panen kritik karena dinilai tak sensitif
Panen kritik karena dinilai tak sensitif
A A A
Sindonews.com - Sepekan sebelum dilantik untuk menjalankan masa jabatan keduanya sebagai presiden Amerika Serikat (AS), Barack Obama justru dihujani kritik dari partainya, Partai Demokrat, terkait susunan kabinet.

Obama, presiden kulit hitam pertama AS, dikritik beberapa anggota Partai Demokrat karena menunjuk sejumlah orang kulit putih untuk menduduki jabatan kunci kabinet dan posisi kepemimpinan dalam pemerintahan keduanya.

Kritikan tajam muncul setelah pada Kamis (10/1) lalu,Obama menunjuk Jack Lew sebagai menteri keuangan menggantikan Timothy Geithner. Lew adalah pria kulit putih keempat yang ditunjuk Obama untuk menduduki jabatan kabinet paling diincar di AS.

Sebelumnya, Obama telah menominasikan Senator John Kerry untuk menggantikan Hillary Clinton sebagai menteri luar negeri. Presiden AS itu juga menunjuk mantan Senator Charles “Chuck” Hagel untuk menjadi menteri pertahanan dan John Brennan bakal menjadi kepala Badan Pusat Intelijen (CIA).

Susunan ini membuat empat pos penting kabinet Obama dihuni pria.Padahal, pada masa jabatan pertamanya dulu, ada satu pos untuk wanita, yaitu jabatan menteri luar negeri.

Di sisi lain,pada masa jabatan keduanya ini, Obama juga bakal kehilangan wanita Hispanik pertama yang pernah menjabat di kabinet begitu Menteri Tenaga Kerja Hilda Solis mengumumkan mengundurkan diri. Dan,bulan lalu, Kepala Badan Perlindungan Lingkungan Lisa Jackson, yang berkulit hitam, menyatakan mundur dari jabatannya.

”Ini benar-benar memalukan,” ujar Chales Rangel, Demokrat New York, salah satu anggota kulit hitam paling senior Kongres, menanggapi penunjukan anggota kabinet Obama, seperti dikutip Reuters.

Ketiadaan wanita dalam pos penting kabinet Obama juga menjadi sorotan. Senator Demokrat Jeanne Shaheen dari New Hampshire, negara bagian yang memiliki delegasi yang seluruhnya adalah wanita di Kongres,menyebut pemilihan Obama itu mengecewakan.

”Kami membutuhkan pemerintahan yang tampak seperti Amerika. Jadi, kami bisa menyelesaikan masalah yang kami dengar dari seluruh spektrum,” ujar dia.

Tak hanya dari Demokrat, Obama juga menghadapi kritikan dari Republikan dengan mantan calon presiden (capres) Mike Huckabee menuduh Obama melakukan perang terhadap wanita. Huckabee menggunakan frasa yang sama yang digunakan Demokrat saat mengkritik capres Republikan Mitt Romney saat kampanye pemilu tahun lalu.

”Sekarang banyak wanita yang mendukung Barack Obama pada garuk-garuk kepala dan mengatakan, ’Walah! Bagaimana bisa banyak sekali testosteron di Kabinet Obama dan begitu sedikit estrogen?’” ujar Huckabee, mantan gubernur Arkansas,dalam show radionya.

Dalam hitung cepat pemilu AS pada 6 November lalu yang dilakukan Reuters/Ipsos, Obama berhasil mengalahkan Romney dengan angka 55:43% di antara pemilih wanita. Obama juga memenangkan mayoritas besar dalam suara Afro-Amerika dan Hispanik.

Keragaman dan Demografi

Keragaman di Amerika Serikat biasanya didefinisikan dengan memasukkan wanita dan ras minoritas, terutama Hispanik dan Afro-Amerika, dalam kabinet. Pakar politik AS mengurai data wanita, Hispanik, Afro-Amerika, dan kelompok lain untuk melihat tanda pola suara. Mereka menelusuri ”jurang gender”,yaitu perbedaan persentase dukungan untuk Demokrat dan Republikan di antara pemilih wanita.

Sejak Obama terpilih kembali pada November lalu, banyak pengamat mencatat meningkatnya persentase etnis minoritas AS serta menggambarkan kemenangan itu sebagai cerminan perubahan demografi. Kritikan terhadap susunan kabinet Obama itu mengejutkan, karena Republikan biasanya adalah partai yang dituduh tidak sensitif terhadap keragaman.

Namun, mantan Presiden George W bush membalik tuduhan itu dengan menunjuk dua menteri luar negeri selama delapan tahun menjabat. Kedua menteri luar negeri itu adalah keturunan Afro- Amerika, yaitu Colin Powell dan Condoleezza Rice. Mereka kemudian diikuti Hillary Clinton. Kalau dikonfirmasi Senat,John Kerry akan menjadi pria kulit putih pertama yang memegang jabatan tinggi di pos diplomatik AS dalam lebih dari 10 tahun.

Sebelumnya, Obama dilaporkan telah mempertimbangkan mencalonkan seorang wanita Afro-Amerika, Duta Besar AS untuk Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) Susan Rice, untuk menjadi Menteri Luar Negeri. Namun, Rice — yang tidak punya kaitan dengan mantan Menlu Condoleezza Rice — menarik diri dari pencalonan karena keberatan Republikan atas pernyataan Rice terkait serangan terhadap konsulat AS di Benghazi, Libya.

Yang nyaris diabaikan dalam kritik itu adalah ketika Gedung Putih mengumumkan bahwa Jaksa Agung Eric Holder, yang berkulit hitam, akan tetap dipertahankan pada posisinya. Kalau Kongres mengonfirmasi seluruh nominasi itu, Kabinet Obama yang beranggotakan 16 orang hanya akan memiliki dua anggota wanita—Janet Napolitano sebagai menteri keamanan dalam negeri, dan Kathleen Sebelius sebagai menteri layanan kesehatan dan kemanusiaan.

Itu adalah perubahan yang tidak diantisipasi dari kabinet pertama yang bersejarah, yang banyak diisi wanita dalam sejarah, menjadi ”klub pria”kulit putih. Juru Bicara Gedung Putih Jay Carney meminta kritikus agar memberikanpenilaiannya,begitu Obama selesai menyusun tim kabinet barunya.”Wanita diwakili dalam susunan staf senior presiden,”ujar Carney.

Tapi menurut Debbie Walsh, Direktur Rutgers University’s Center for American Women in Politics, yang menelusuri wanita yang menduduki posisi di pemerintahan terpilih, pilihan Obama itu gagal menempatkan wanita dalam posisi berpengaruh seperti memimpin Pentagon.

Walsh tampaknya mengkritik pilihan Obama untuk menempatkan Chuck Hagel di Departemen Pertahanan, bukannya memberikan jabatan itu kepada Michele Fluornoy, wakil menteri pertahanan. ”Barack Obama menang atas kekuatan dukungan yang dia miliki dari wanita, berdasarkan gap gender,”ujar dia kepada Reuters.

Pada masa jabatan pertamanya, wanita mengisi 36% kabinet. Ini membuat Obama memiliki persentase tertinggi atas wanita dalam posisi tinggi dibandingkan presiden lain seperti Bill Clinton. Di AS, keragaman dalam politik, terutama pada level nasional, dianggap penting dalam membangun atmosfer analis kritis dan kebijakan yang efektif.
(esn)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5642 seconds (0.1#10.140)
pixels