Mark Zuckerberg Sebut Media Sosial Perlu Aturan Khusus
A
A
A
MUNICH - Dampak negatif dari keberadaan platform media sosial kembali mendapat sorotan. Tak tanggung-tanggung, kali ini kritikan disampaikan oleh Mark Zuckerberg yang tak lain adalah juragan media sosial paling populer di dunia, Facebook.
Kritikan tersebut muncul setelah melihat berbagai fenomena yang muncul dari miliaran konten yang diproduksi di media sosial. Berbagai konten negatif yang sengaja ditampilkan itu bertujuanmuntuk mengambil ke untungan sendiri dengan mengorbankan pihak lain.
Geram dengan kondisi tersebut, Zuckerberg meminta pemerintah membuat sistem regulasi baru untuk media sosial. Menurutnya, selama ini aturan media sosial lebih menggabungkan aturan yang sudah ada dengan perusahaan telekomunikasi dan media. “Dengan tidak adanya aturan (khusus), kita akan melakukan yang terbaik. Kami tidak ingin Facebook berkontribusi terhadap polarisasi atau informasi yang salah,” kata dia saat berbicara di Munich Security Conference di Munich akhir pekan lalu.
Dia menambahkan, media sosial perlu mendapatkan perlakuan berbeda. Hal ini karena banyaknya konten yang dipublikasikan setiap harinya di berbagai platform. Dia mengumpamakan, khusus Facebook memublikasikan 100 miliar konten setiap hari.
Pada kesempatan itu Zuckerberg juga memperingatkan tentang ancaman baru di media sosial. Dia menyebut adanya aktor domestik pada setiap pesta demokrasi dan kehidupan bernegara. Ancaman aktor domestik tersebut bisa lebih berbahaya dibandingkan kekuatan asing.
Pendiri Facebook itu menegaskan, aktor-aktor domestik tersebut sama bahayanya dengan kekuatan asing, termasuk untuk merusak pemilu. “Kekuatan luar berusaha menutupi jejak mereka dengan mengirimkan pesan mereka dari IP address di beberapa negara yang berbeda,” katanya dilansir Guardian.
Ancaman domestik yang dimaksud oleh Zuckerberg adalah kelompok ekstremis yang memiliki pandangan radikal seperti Neo Nazi di Eropa dan supremasi kulit putih di Amerika Serikat (AS). Mereka memiliki pandangan radikal yang dianggap bisa berbahaya dan menjadi ancaman bagi negara.
Zuckerberg juga mengungkapkan Facebook menawarkan kampanye pemilu sebagai layanan baru di mana kandidat menyediakan informasi detail tentang para stafnya dan jika ada salah satunya yang diretas, keamanan kampanye bisa ditingkatkan untuk perlindungan negara. “Facebook bergerak dari model reaktif ke proaktif. Model itu mampu melumpuhkan 99% konten teroris sebelum ada laporan eksternal dibuat. Dalam kasus ujaran kebencian, 80% konten bisa dihapus tanpa notifikasi,” papar Zuckerberg.
Pria berusia 36 tahun itu juga mengakui bahwa Facebook lamban dalam mengakui perkembangan “kampanye informasi” daring yang terkoordinasi oleh aktor negara seperti Rusia. Dia menambahkan, aktor jahat tersebut bekerja lebih baik dalam menutupi aksinya dengan menghilangkan IP addres penggunanya.
Zuckerberg juga nenegaskan perlunya regulasi untuk melarang konten online berbahaya. Namun, hal itu bukan berarti media sosial terbesar di dunia itu memutuskan untuk membatasi kebebasan berbicara.
Dipayan Ghosh, mantan eksekutif Facebook yang juga pakar kebijakan internet di Harvard, menilai larangan tersebut bukan langkah besar. “Memang akan selalu ada ujaran kebencian di Facebook,” kata dia. Ghosh mengungkapkan, Facebook perlu fokus pada sistem, bukan hanya masalah perseorangan.
Pengamat media sosial Heru Sutadi mengatakan, langkah Facebook mengatasi konten ekstrem pada hajatan pemilihan kepala daerah hingga presiden dinilai positif sebab akan mengakomodasi kalangan calon pemilih. Meski begitu, dia menegaskan langkah antisipatif sangat diperlukan dengan diiringi penindakan langsung.
Di sisi lain, keberadaan penyaringan konten tersebut menambah pekerjaan bagi pemerintah sebagai regulator. Pasalnya, selama ini pemerintah hanya bisa melakukan penutupan konten berbasis website. Sedangkan melalui media sosial lain seperti Facebook hanya bersifat teknikal.
Kepala Biro Komunikasi dan Informasi Kementerian Komunikasi dan Informatika Ferdinandus Setu mengatakan, Kementerian Kominfo melakukan tiga langkah antisipatif terkait konten Facebook yang mengandung perbuatan ekstrem, SARA, dan berpotensi memecah belah bangsa. Pertama, patroli siber untuk memantau konten di media sosial termasuk Facebook. “Jika ada konten yang melanggar aturan (termasuk aturan UU Informasi dan Transaksi Elektronik), akan kami mintakan ke platform untuk mentakedown konten dan akun medsos tersebut,” ucapnya.
Kedua, Kominfo mengirimkan data pelanggaran konten tersebut ke Polri untuk proses penegakan hukum. Ketiga, Kominfo melakukan literasi digital serta sosialisasi internet sehat dan aman kepada pengguna medsos. (Andika H Mustaqim/Ichsan Amin)
Kritikan tersebut muncul setelah melihat berbagai fenomena yang muncul dari miliaran konten yang diproduksi di media sosial. Berbagai konten negatif yang sengaja ditampilkan itu bertujuanmuntuk mengambil ke untungan sendiri dengan mengorbankan pihak lain.
Geram dengan kondisi tersebut, Zuckerberg meminta pemerintah membuat sistem regulasi baru untuk media sosial. Menurutnya, selama ini aturan media sosial lebih menggabungkan aturan yang sudah ada dengan perusahaan telekomunikasi dan media. “Dengan tidak adanya aturan (khusus), kita akan melakukan yang terbaik. Kami tidak ingin Facebook berkontribusi terhadap polarisasi atau informasi yang salah,” kata dia saat berbicara di Munich Security Conference di Munich akhir pekan lalu.
Dia menambahkan, media sosial perlu mendapatkan perlakuan berbeda. Hal ini karena banyaknya konten yang dipublikasikan setiap harinya di berbagai platform. Dia mengumpamakan, khusus Facebook memublikasikan 100 miliar konten setiap hari.
Pada kesempatan itu Zuckerberg juga memperingatkan tentang ancaman baru di media sosial. Dia menyebut adanya aktor domestik pada setiap pesta demokrasi dan kehidupan bernegara. Ancaman aktor domestik tersebut bisa lebih berbahaya dibandingkan kekuatan asing.
Pendiri Facebook itu menegaskan, aktor-aktor domestik tersebut sama bahayanya dengan kekuatan asing, termasuk untuk merusak pemilu. “Kekuatan luar berusaha menutupi jejak mereka dengan mengirimkan pesan mereka dari IP address di beberapa negara yang berbeda,” katanya dilansir Guardian.
Ancaman domestik yang dimaksud oleh Zuckerberg adalah kelompok ekstremis yang memiliki pandangan radikal seperti Neo Nazi di Eropa dan supremasi kulit putih di Amerika Serikat (AS). Mereka memiliki pandangan radikal yang dianggap bisa berbahaya dan menjadi ancaman bagi negara.
Zuckerberg juga mengungkapkan Facebook menawarkan kampanye pemilu sebagai layanan baru di mana kandidat menyediakan informasi detail tentang para stafnya dan jika ada salah satunya yang diretas, keamanan kampanye bisa ditingkatkan untuk perlindungan negara. “Facebook bergerak dari model reaktif ke proaktif. Model itu mampu melumpuhkan 99% konten teroris sebelum ada laporan eksternal dibuat. Dalam kasus ujaran kebencian, 80% konten bisa dihapus tanpa notifikasi,” papar Zuckerberg.
Pria berusia 36 tahun itu juga mengakui bahwa Facebook lamban dalam mengakui perkembangan “kampanye informasi” daring yang terkoordinasi oleh aktor negara seperti Rusia. Dia menambahkan, aktor jahat tersebut bekerja lebih baik dalam menutupi aksinya dengan menghilangkan IP addres penggunanya.
Zuckerberg juga nenegaskan perlunya regulasi untuk melarang konten online berbahaya. Namun, hal itu bukan berarti media sosial terbesar di dunia itu memutuskan untuk membatasi kebebasan berbicara.
Dipayan Ghosh, mantan eksekutif Facebook yang juga pakar kebijakan internet di Harvard, menilai larangan tersebut bukan langkah besar. “Memang akan selalu ada ujaran kebencian di Facebook,” kata dia. Ghosh mengungkapkan, Facebook perlu fokus pada sistem, bukan hanya masalah perseorangan.
Pengamat media sosial Heru Sutadi mengatakan, langkah Facebook mengatasi konten ekstrem pada hajatan pemilihan kepala daerah hingga presiden dinilai positif sebab akan mengakomodasi kalangan calon pemilih. Meski begitu, dia menegaskan langkah antisipatif sangat diperlukan dengan diiringi penindakan langsung.
Di sisi lain, keberadaan penyaringan konten tersebut menambah pekerjaan bagi pemerintah sebagai regulator. Pasalnya, selama ini pemerintah hanya bisa melakukan penutupan konten berbasis website. Sedangkan melalui media sosial lain seperti Facebook hanya bersifat teknikal.
Kepala Biro Komunikasi dan Informasi Kementerian Komunikasi dan Informatika Ferdinandus Setu mengatakan, Kementerian Kominfo melakukan tiga langkah antisipatif terkait konten Facebook yang mengandung perbuatan ekstrem, SARA, dan berpotensi memecah belah bangsa. Pertama, patroli siber untuk memantau konten di media sosial termasuk Facebook. “Jika ada konten yang melanggar aturan (termasuk aturan UU Informasi dan Transaksi Elektronik), akan kami mintakan ke platform untuk mentakedown konten dan akun medsos tersebut,” ucapnya.
Kedua, Kominfo mengirimkan data pelanggaran konten tersebut ke Polri untuk proses penegakan hukum. Ketiga, Kominfo melakukan literasi digital serta sosialisasi internet sehat dan aman kepada pengguna medsos. (Andika H Mustaqim/Ichsan Amin)
(ysw)