UNHCR Rilis Daftar Perusahaan Terkait Pemukiman Yahudi, Israel Murka

Kamis, 13 Februari 2020 - 15:26 WIB
UNHCR Rilis Daftar Perusahaan Terkait Pemukiman Yahudi, Israel Murka
UNHCR Rilis Daftar Perusahaan Terkait Pemukiman Yahudi, Israel Murka
A A A
TEL AVIV - Dewan Hak Asasi Manusia PBB (UNHCR) telah merilis basis data perusahaan yang melakukan bisnis di wilayah Palestina yang diduduki. Tindakan UNHCR itu pun menuai kecaman dari Israel yang menyebutnya sebagai "penyerahan memalukan."

Dokumen itu mencantumkan 112 perusahaan yang beroperasi di Tepi Barat yang diduduki, termasuk Yerusalem Timur dan Dataran Tinggi Golan. Sebagian besar adalah perusahaan-perusahaan Israel, dan jumlah mereka secara signifikan kurang dari 206 perusahaan yang dibayangkan ketika ide dari database itu muncul pada tahun 2017. Publikasi yang sulit ditemukan di situs web UNHCR itu tetap berhasil memprovokasi reaksi keras dari Israel dan sekutunya, Amerika Serikat (AS).

"Laporan itu adalah 'penyerahan memalukan' kepada kelompok-kelompok anti-Israel," kata Menteri Luar Negeri Israel Israel Katz seperti dikutip dari Russia Today, Kamis (13/2/2020).

Sementara itu Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengecam UNHCR karena berusaha menghitamkan nama Israel alih-alih berurusan dengan hak asasi manusia.

"Kami menolak upaya semacam itu dalam istilah terkuat dan dengan jijik," ujar Netanyahu.

Kelompok lobi Pro-Israel, StandWithUs menyebutnya sebagai "daftar hitam" yang memalukan dan anti-Semit. Mereka pun memperingatkan bahwa boikot terhadap orang Yahudi adalah taktik anti Semit yang kuno. Namun, laporan PBB tidak menyarankan perusahaan-perusahaan dalam daftar itu diboikot.

PBB menyebutkan 112 lembaga bisnis yang memiliki alasan masuk akal untuk disimpulkan memiliki hubungan dengan sejumlah pemukiman Israel, yakni 94 perusahaan di Israel dan 18 perusahaan di enam negara lain termasuk AS, Inggris dan Prancis.

Perusahaan AS yang terdaftar termasuk Airbnb, Expedia, TripAdvisor, General Mills, Booking Holdings, dan Motorola, sementara perusahaan Belanda Kardan NV, Tahal Group International BV, Booking.com, dan Altice Europe NV. Dari Inggris ada JC Bamford Excavators, Opodo, dan Greenkote PLC, seperti halnya Alstom dan Egis Rail dari Prancis. Sementara anak perusahaan bisnis internasional Israel, termasuk Delta dan Re/Max, juga ada dalam daftar.

Sekitar 76 perusahaan lain yang dicurigai melakukan bisnis di daerah yang diduduki secara ilegal "tidak memenuhi standar pembuktian" dan dihilangkan.

Laporan tersebut mengakui bahwa basis data tidak mencakup semua aktivitas bisnis yang terkait dengan pemukiman, dan tidak mencakup aktivitas bisnis yang lebih luas di Wilayah Pendudukan Palestina yang dapat menimbulkan masalah hak asasi manusia.

Laporan ini juga tidak mencakup "perusahaan non-bisnis." UNHRC diperkirakan akan membahas laporan itu ketika bertemu pada akhir bulan ini.

Proses memilih dan memverifikasi keterlibatan perusahaan dalam pendudukan ilegal wilayah Palestina dan Suriah secara terperinci dijelaskan dalam halaman-halaman laporan, mungkin karena penulisnya mengetahui badai kritik yang akan datang segera setelah laporan diterbitkan. Tekanan kuat dari AS dan Israel membuat nama-nama perusahaan keluar dari laporan aslinya.

Upaya lobi Israel untuk memblokir publikasi daftar termasuk memperkenalkan undang-undang di Kongres AS yang akan menghukum perusahaan yang melakukan divestasi dari Israel karena dianggap "menyerah" pada gerakan pro-Palestina BDS (Boikot, Divestasi dan Sanksi).

Sementara Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia Michelle Bachelet menekankan bahwa laporan itu tidak memberikan karakterisasi hukum dari kegiatan yang dipertanyakan meskipun permukiman itu sendiri ilegal menurut hukum internasional. Namun tetap saja hal itu dilihat oleh Israel dan sekutunya sebagai kecaman dan mereka sudah mulai memukul balik terhadap badan internasional itu.

Kelompok pelobi sayap kanan Israel, LSM Monitor, meminta perusahaan-perusahaan yang terdaftar untuk mengambil tindakan hukum terhadap para pejabat PBB yang menyiapkan daftar dan mereka yang akan menyebarkan klaim kesalahannya. Kelompok ini juga mendesak AS dan Israel untuk menilai kembali hubungan mereka dengan UNHCR.

Tidak semua orang yang bereaksi menentang perilisan laporan. Human Rights Watch (HRW) merayakan publikasi yang telah lama ditunggu-tunggu itu. HRW memperingatkan bahwa melakukan bisnis dengan pemukiman ilegal adalah membantu kejahatan perang.
(ian)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5269 seconds (0.1#10.140)