China Klaim ZEE Dekat Natuna, Kesabaran Indonesia Mulai Tipis
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah Indonesia dalam beberapa hari terakhir menyampaikan protes keras terhadap perilaku China di sekitar Kepulauan Natuna , termasuk mengklaim Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) di dekat kepulauan itu. Pakar menilai reaksi Indonesia itu menunjukkan kesabaran yang mulai menipis.
Peneliti senior di Centre for Strategic and International Studies di Jakarta, Evan Laksmana, mengatakan bahwa tingkat ketegasan dari Indonesia telah lama datang.
"Dalam insiden maritim sebelumnya dan yang serupa, Jakarta telah mengajukan protes diplomatik, namun mereka (serangan) terus terjadi," katanya.
"Indonesia telah melakukan pengekangan dan kesabaran sejauh ini dengan perambahan China ke perairannya. Tetapi berulang kali, insiden maritim terjadi, dan pejabat China terus menegaskan hak penangkapan ikan historis yang dianggap ilegal berdasarkan hukum internasional. Kesabaran Jakarta dalam hal ini mungkin mulai menipis," ujar Evan Laksmana, seperti dikutip South China Morning Post, Jumat (3/1/2020).
Gregory Raymond, seorang dosen yang berspesialisasi di bidang keamanan Asia Tenggara di Australian National University di Canberra, ikut berkomentar atas klaim historis China.
"Apa yang saya pikir baru di sini adalah betapa eksplisitnya (Kementerian Luar Negeri Indonesia) telah mengutip 'klaim historis' China sebagai tidak konsisten dengan UNLOS, dan terutama kemenangan 2016 (untuk Filipina)," ujarnya, mengacu pada kemenangan Filipina atas sengketa maritim dengan China di Pengadilan Arbitrase Permanen di Den Haag tahun 2016.
Sebelumnya diberitakan bahwa China tidak peduli dengan reaksi Indonesia yang tidak bisa menerima klaim Beijing atas ZEE di sekitar Kepulauan Natuna. (Baca: Klaim Dekat Natuna, China Tak Peduli Indonesia Terima atau Tidak )
Beijing telah mengklaim Kepulauan Spratly, wilayah di Laut China Selatan yang jadi sengketa antara China, Taiwan, Vietnam, Filipina, Malaysia dan Brunei. Kepulauan Natuna terletak sekitar 1.100 kilometer (684 mil) sebelah selatan Kepulauan Spratly, sehingga Beijing menganggap wilayah sekitar itu merupakan ZEE-nya.
"Apakah Indonesia menerimanya atau tidak, itu tidak dapat mengubah fakta objektif bahwa China memiliki hak dan kepentingan di wilayah laut yang relevan," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri China Geng Shuang dalam briefing reguler hari Kamis di Beijing.
Menurutnya, posisi China sejalan dengan hukum internasional, termasuk Konvensi PBB tentang Hukum Laut atau dikenal sebagai UNCLOS 1982.
Pernyataan Geng adalah respons terbaru China setelah Indonesia memprotes keras perilaku Beijing di Laut China Selatan yang tidak konsisten dengan hukum internasional yang mengatur perselisihan maritim.
Kementerian Luar Negeri Indonesia mengatakan bahwa klaim China atas ZEE itu dengan alasan bahwa armada Beijing telah lama beraktivitas di sana merupakan dalih yang tidak memiliki dasar hukum."Tidak pernah diakui di bawah UNCLOS 1982," kata kementerian dalam sebuah pernyataan hari Rabu.
Pernyataan itu menyusul protes lain dari Jarkata setelah Beijing mengirim kapal Penjaga Pantai (Coast Guard) secara ilegal ke perairan teritorial Indonesia di Natuna. Tindakan itu menandai pelanggaran kedaulatan Indonesia, sehingga Kementerian Luar Negeri memanggil duta besar China di Jakarta untuk menyampaikan protes keras.
Jakarta mengatakan klaim Beijing atas wilayah Laut China Selatan ditolak pada tahun 2016 setelah Filipina memenangkan klaimnya di Pengadilan Arbitrase Permanen di Den Haag, Belanda. Beijing mengabaikan putusan itu.
Jakarta telah berulang kali berselisih dengan Beijing mengenai hak menangkap ikan di sekitar Kepulauan Natuna. Aparat berwenang pernah menahan para nelayan China dan memperluas kehadiran militernya di sana.
Peneliti senior di Centre for Strategic and International Studies di Jakarta, Evan Laksmana, mengatakan bahwa tingkat ketegasan dari Indonesia telah lama datang.
"Dalam insiden maritim sebelumnya dan yang serupa, Jakarta telah mengajukan protes diplomatik, namun mereka (serangan) terus terjadi," katanya.
"Indonesia telah melakukan pengekangan dan kesabaran sejauh ini dengan perambahan China ke perairannya. Tetapi berulang kali, insiden maritim terjadi, dan pejabat China terus menegaskan hak penangkapan ikan historis yang dianggap ilegal berdasarkan hukum internasional. Kesabaran Jakarta dalam hal ini mungkin mulai menipis," ujar Evan Laksmana, seperti dikutip South China Morning Post, Jumat (3/1/2020).
Gregory Raymond, seorang dosen yang berspesialisasi di bidang keamanan Asia Tenggara di Australian National University di Canberra, ikut berkomentar atas klaim historis China.
"Apa yang saya pikir baru di sini adalah betapa eksplisitnya (Kementerian Luar Negeri Indonesia) telah mengutip 'klaim historis' China sebagai tidak konsisten dengan UNLOS, dan terutama kemenangan 2016 (untuk Filipina)," ujarnya, mengacu pada kemenangan Filipina atas sengketa maritim dengan China di Pengadilan Arbitrase Permanen di Den Haag tahun 2016.
Sebelumnya diberitakan bahwa China tidak peduli dengan reaksi Indonesia yang tidak bisa menerima klaim Beijing atas ZEE di sekitar Kepulauan Natuna. (Baca: Klaim Dekat Natuna, China Tak Peduli Indonesia Terima atau Tidak )
Beijing telah mengklaim Kepulauan Spratly, wilayah di Laut China Selatan yang jadi sengketa antara China, Taiwan, Vietnam, Filipina, Malaysia dan Brunei. Kepulauan Natuna terletak sekitar 1.100 kilometer (684 mil) sebelah selatan Kepulauan Spratly, sehingga Beijing menganggap wilayah sekitar itu merupakan ZEE-nya.
"Apakah Indonesia menerimanya atau tidak, itu tidak dapat mengubah fakta objektif bahwa China memiliki hak dan kepentingan di wilayah laut yang relevan," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri China Geng Shuang dalam briefing reguler hari Kamis di Beijing.
Menurutnya, posisi China sejalan dengan hukum internasional, termasuk Konvensi PBB tentang Hukum Laut atau dikenal sebagai UNCLOS 1982.
Pernyataan Geng adalah respons terbaru China setelah Indonesia memprotes keras perilaku Beijing di Laut China Selatan yang tidak konsisten dengan hukum internasional yang mengatur perselisihan maritim.
Kementerian Luar Negeri Indonesia mengatakan bahwa klaim China atas ZEE itu dengan alasan bahwa armada Beijing telah lama beraktivitas di sana merupakan dalih yang tidak memiliki dasar hukum."Tidak pernah diakui di bawah UNCLOS 1982," kata kementerian dalam sebuah pernyataan hari Rabu.
Pernyataan itu menyusul protes lain dari Jarkata setelah Beijing mengirim kapal Penjaga Pantai (Coast Guard) secara ilegal ke perairan teritorial Indonesia di Natuna. Tindakan itu menandai pelanggaran kedaulatan Indonesia, sehingga Kementerian Luar Negeri memanggil duta besar China di Jakarta untuk menyampaikan protes keras.
Jakarta mengatakan klaim Beijing atas wilayah Laut China Selatan ditolak pada tahun 2016 setelah Filipina memenangkan klaimnya di Pengadilan Arbitrase Permanen di Den Haag, Belanda. Beijing mengabaikan putusan itu.
Jakarta telah berulang kali berselisih dengan Beijing mengenai hak menangkap ikan di sekitar Kepulauan Natuna. Aparat berwenang pernah menahan para nelayan China dan memperluas kehadiran militernya di sana.
(mas)