Kepulauan Gran Kanaria, Suasananya Ramai Tapi Gersang
A
A
A
SEPERTI Bali, bagi turis Australia, demikianlah adanya gugusan Kepulauan Gran Kanaria. Jaraknya dekat dan murah meriah. Tak sampai empat jam dari Bandara Zurich, pengunjung akan dimanja harga seliter susu menjadi 80% lebih murah.
Secara politis milik Eropa, geografis masuk Afrika. Spanyol menjadi penguasa resmi gugusan pulau yang hanya 100 km dari pantai barat Afrika ini. Ada empat gugusan pulau uta mayang dikuasai Spanyol. Kami memilih salah satunya, Fuerteventura. Menjelang landing, jendela Airbus A 3200 Swiss Air itu menampakkan deburan ombak menjilati daratan yang kecokelatan. “Ya, memang hanya gurun pasir,” kata Celina, teman seperjalanan.
Tidak salah memang, Fuerteventura, menetas karena fenomena alam yang khas. Dari dasar samudra, 400 juta tahun silam, muncullah gunung berapi, yang lambat laun menyembul ke permukaan, dan pada akhirnya tumbuh menjadi pulau ini. Versi lainnya, Fuerteventura menjelma dari patahan tektonik Samudra Altantik.
Ketika kami menyetir mobil sewaan di jalan tol yang mulusdan sepi. Kanan kiri hanyalah tanah, atau pasir yang cokelat. Kehijauan hanya sporadis, muncul dari semak belukar dankerajaan kaktus atau kurma. Lidah buaya, yang di Indonesia hijau berbintik putih, di sini warnanya cokelat merah.Gersang tanah cokelat malah lebih gersang karena tetumbuhannya juga serupa warnanya.
Puluhan tupai gurun, yang aslinya dari pegunungan Atlas, Maroko, akan mendekat jika kami turun dari mobil. Siapmemangsa remahan makananyang diangsurkan turis. Terlihat jinak namun tetap liar. Setelah memangsa remahan, iadan kawan kawannya tentu sajaakan menghilang di balik batu.
Binatang lainnya yang begitu dominan adalah kambing. Jumlahnya tak terkira, melebihi jumlah penduduk pulauini. 200.000 wedhus ber ban -ding dengan 100.000 manusia.Meskipun bukan asli penghunigugusan pulau ini, si embek inimenjadi lambang informalpulau ini. Burung kenari,seperti nama gugusan pulauini, malah tak ada. Entahlah,mengapa bukan bernama Gran Wedhus saja gugusan pulau ini.
Pulau wedhus atau pulauburung kenari, tak banyak turis yang peduli, termasuk kami.Tujuan pelesiran ke sini hanya satu, badeferien, mandi di pantai ini. Bekal utama dari Swiss yang tidak boleh ketinggalan adalah handuk, kaca mata gelap, dan suncream. Matahari bersinar sepanjang tahun disini, nyaris 365 hari, terus menerus. Hujan ada namun sebentar saja.
Namun, kami datang padawaktu yang salah, akhir Mei.Meskipun berada di semenanjung Afrika, perairannya masih dingin. Juga, seperti namanya, Fuerteventura, angin berkecepatan di atas 50 km per jam adalah makanan sehari-hari. Kami akhirnya hanya mandi dikolam hotel yang airnya dihangatkan. Nyebur ke pantai, kami memikirkannya sangat panjang. Hingga liburan berakhir, hanya ujung jari kakiyang nyemplung di air laut.
Gersang dan angin kencang. Namun, pulau ini “memanen” turis yang hanya membuat Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Indonesia iri hati. Setahun gugusan pulau ini, yakni Fuerteventura, Gran Kanaria, Lanzarote, La Palma hingga Terenifa mampu menyedot 15 jutaan turis. Indonesia yang pantainya begitu indah, air asinnya hangat sepanjang masa, luasnya 80 kali lebih, yang sering ditasbihkan sebagai zamrud katulistiwa, atau untaian ratnamutu manikam, dan slogan-slogan nirwana lainnya, hanya mampu 10 jutaan per tahun.
Tapi itu tadi, Gugusan Gran Kanaria itu dekat dan murah. Dan ini yang penting, tertata rapi. Kejahatan tentu ada tapi tidak sebanyak di Lombok, Bali, Jawa atau Sumatera. Kami datang ke suatu tempat sudah jelas harus membayar berapa. Tidak ada lagi bayar ini dan itu,yang di Indonesia suka muncul mendadak, on location.
Sampah tidak sebersih Swiss, juga tidak sejorok Indonesia. Kebersihan tidaksebagian dari iman di pulau ini.Namun, sistem pengelolaan limbah sudah mapan. Air laut bahkan sudah bisa dijernihkan, dipakai mandi, bahkan minum.Flores, termasuk Labuhan Bajo, kabarnya belum ada sistem pengelolaan limbah. Sampah hanya dibakar atau dilarikan ke laut. Solar tumpah, ya kelaut juga akhirnya. Jangan ditanyakan bagaimana kondisi pulau-pulau lain, yang menyandang gelar zamrud katulistiwa itu.
Kami menyewa mobil dari bandara, dan dikembalikan ditempat serupa. Murah dan efisien. Tinggal memper lihatkan SIM, dan membayar sewa, sudah bisa langsung dari bandara ke hotel, dan sebaliknya. Memang ada bus antarkota, dari kota ke kota. Namun, sewa mobil paling efisien karena ada pojok-pojok pulau ini yang masih perawan.
Fuerteventura, jika ingin santai dan bermanja-manja, kesanalah turis Eropa tetirah. Pantainya sepanjang 300 km-an. Ada yang putih, ada juga yang hitam. Ideal sepekan, tapi tiga atau empat hari cukuplah sudah. Lalu berkemas, dan kembali ke negara kami melakukan rutinitas. Kerja, kerja dan kerja. Lalu ke sana lagi tahun-tahun berikutnya.Atau, ke gugusan pulau lainnya. Bisa ke Mallorca, Santorini, Siprus, atau Korsika. Negeri zamrud katulistiwa, apa boleh buat, untuk saat ini, belum bisa menandinginya.
Krisna Diantha
Kontributor Koran SINDO-SINDOnews Australia
Secara politis milik Eropa, geografis masuk Afrika. Spanyol menjadi penguasa resmi gugusan pulau yang hanya 100 km dari pantai barat Afrika ini. Ada empat gugusan pulau uta mayang dikuasai Spanyol. Kami memilih salah satunya, Fuerteventura. Menjelang landing, jendela Airbus A 3200 Swiss Air itu menampakkan deburan ombak menjilati daratan yang kecokelatan. “Ya, memang hanya gurun pasir,” kata Celina, teman seperjalanan.
Tidak salah memang, Fuerteventura, menetas karena fenomena alam yang khas. Dari dasar samudra, 400 juta tahun silam, muncullah gunung berapi, yang lambat laun menyembul ke permukaan, dan pada akhirnya tumbuh menjadi pulau ini. Versi lainnya, Fuerteventura menjelma dari patahan tektonik Samudra Altantik.
Ketika kami menyetir mobil sewaan di jalan tol yang mulusdan sepi. Kanan kiri hanyalah tanah, atau pasir yang cokelat. Kehijauan hanya sporadis, muncul dari semak belukar dankerajaan kaktus atau kurma. Lidah buaya, yang di Indonesia hijau berbintik putih, di sini warnanya cokelat merah.Gersang tanah cokelat malah lebih gersang karena tetumbuhannya juga serupa warnanya.
Puluhan tupai gurun, yang aslinya dari pegunungan Atlas, Maroko, akan mendekat jika kami turun dari mobil. Siapmemangsa remahan makananyang diangsurkan turis. Terlihat jinak namun tetap liar. Setelah memangsa remahan, iadan kawan kawannya tentu sajaakan menghilang di balik batu.
Binatang lainnya yang begitu dominan adalah kambing. Jumlahnya tak terkira, melebihi jumlah penduduk pulauini. 200.000 wedhus ber ban -ding dengan 100.000 manusia.Meskipun bukan asli penghunigugusan pulau ini, si embek inimenjadi lambang informalpulau ini. Burung kenari,seperti nama gugusan pulauini, malah tak ada. Entahlah,mengapa bukan bernama Gran Wedhus saja gugusan pulau ini.
Pulau wedhus atau pulauburung kenari, tak banyak turis yang peduli, termasuk kami.Tujuan pelesiran ke sini hanya satu, badeferien, mandi di pantai ini. Bekal utama dari Swiss yang tidak boleh ketinggalan adalah handuk, kaca mata gelap, dan suncream. Matahari bersinar sepanjang tahun disini, nyaris 365 hari, terus menerus. Hujan ada namun sebentar saja.
Namun, kami datang padawaktu yang salah, akhir Mei.Meskipun berada di semenanjung Afrika, perairannya masih dingin. Juga, seperti namanya, Fuerteventura, angin berkecepatan di atas 50 km per jam adalah makanan sehari-hari. Kami akhirnya hanya mandi dikolam hotel yang airnya dihangatkan. Nyebur ke pantai, kami memikirkannya sangat panjang. Hingga liburan berakhir, hanya ujung jari kakiyang nyemplung di air laut.
Gersang dan angin kencang. Namun, pulau ini “memanen” turis yang hanya membuat Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Indonesia iri hati. Setahun gugusan pulau ini, yakni Fuerteventura, Gran Kanaria, Lanzarote, La Palma hingga Terenifa mampu menyedot 15 jutaan turis. Indonesia yang pantainya begitu indah, air asinnya hangat sepanjang masa, luasnya 80 kali lebih, yang sering ditasbihkan sebagai zamrud katulistiwa, atau untaian ratnamutu manikam, dan slogan-slogan nirwana lainnya, hanya mampu 10 jutaan per tahun.
Tapi itu tadi, Gugusan Gran Kanaria itu dekat dan murah. Dan ini yang penting, tertata rapi. Kejahatan tentu ada tapi tidak sebanyak di Lombok, Bali, Jawa atau Sumatera. Kami datang ke suatu tempat sudah jelas harus membayar berapa. Tidak ada lagi bayar ini dan itu,yang di Indonesia suka muncul mendadak, on location.
Sampah tidak sebersih Swiss, juga tidak sejorok Indonesia. Kebersihan tidaksebagian dari iman di pulau ini.Namun, sistem pengelolaan limbah sudah mapan. Air laut bahkan sudah bisa dijernihkan, dipakai mandi, bahkan minum.Flores, termasuk Labuhan Bajo, kabarnya belum ada sistem pengelolaan limbah. Sampah hanya dibakar atau dilarikan ke laut. Solar tumpah, ya kelaut juga akhirnya. Jangan ditanyakan bagaimana kondisi pulau-pulau lain, yang menyandang gelar zamrud katulistiwa itu.
Kami menyewa mobil dari bandara, dan dikembalikan ditempat serupa. Murah dan efisien. Tinggal memper lihatkan SIM, dan membayar sewa, sudah bisa langsung dari bandara ke hotel, dan sebaliknya. Memang ada bus antarkota, dari kota ke kota. Namun, sewa mobil paling efisien karena ada pojok-pojok pulau ini yang masih perawan.
Fuerteventura, jika ingin santai dan bermanja-manja, kesanalah turis Eropa tetirah. Pantainya sepanjang 300 km-an. Ada yang putih, ada juga yang hitam. Ideal sepekan, tapi tiga atau empat hari cukuplah sudah. Lalu berkemas, dan kembali ke negara kami melakukan rutinitas. Kerja, kerja dan kerja. Lalu ke sana lagi tahun-tahun berikutnya.Atau, ke gugusan pulau lainnya. Bisa ke Mallorca, Santorini, Siprus, atau Korsika. Negeri zamrud katulistiwa, apa boleh buat, untuk saat ini, belum bisa menandinginya.
Krisna Diantha
Kontributor Koran SINDO-SINDOnews Australia
(nfl)