Asiye Abdulaheb, Wanita Pengungkap Represi China di Xinjiang
A
A
A
LONDON - Wanita Uighur Asiye Abdulaheb yang tinggal di Belanda mengakui dia membantu mempublikasikan dokumen rahasia pemerintah China tentang bagaimana Beijing menjalankan kamp penahanan massal yang menahan etnik minoritas Muslim.
Abdulaheb, 46, menjelaskan bagaimana dia hidup dalam ketakutan setelah dia dan mantan suaminya mendapat ancaman pembunuhan dan dihubungi para pejabat keamanan China saat para jurnalis bersiap melaporkan dokumen rahasia itu.
Dia dalam wawancara telepon mengakui terlibat dalam rilis dokumen 24 halaman yang dipublikasikan di berbagai media Barat bulan lalu. Dia juga berbicara tentang perannya itu sekarang untuk melindungi dirinya dan keluarganya dari pembalasan pemerintah China.
Dokumen yang diperoleh Konsorsium Internasional Jurnalis Investigasi (ICIJ) dan diperiksa para jurnalis di penjuru dunia itu muncul setelah dokumen sebelumnya setebal 403 halaman yang dirilis The New York Times yang menyebut bagaimana otoritas membuat, mengelola dan membenarkan berlanjutnya tekanan pada satu juta atau lebih etnik Uighur dan Kazakh.
Surat kabar Belanda, De Volkskrant pertama kali melaporkan peran Abdulaheb dalam penyebaran dokumen kedua itu berdasarkan wawancara dengan dia dan mantan suaminya, Jasur Abibula. Keduanya merupakan warga Belanda yang tinggal di Belanda sejak 2009 dan mereka memiliki putri umur 6 tahun dan putra umur 8 tahun.
Abdulaheb menjelaskan dalam bahasa Mandarin China dengan The Times bahwa dia memutuskan berbicara agar dapat menghalangi otoritas China mengganggu dia atau keluarganya. Menurut dia, otoritas China telah tahu dia memiliki dokumen itu dan dia menjelaskan pada kepolisian Belanda tentang situasinya.
Abdulaheb mengungkap ancaman terhadapnya meningkat setelah suaminya kembali dari perjalanan ke Dubai pada pertengahan September saat pejabat keamanan China mengajtakan pada dia tentang dokumen itu dan menginterogasi suaminya tentang Abdulaheb dan mencoba merekrut suaminya untuk memata-matai Abdulaheb.
"Saya pikir hal ini harus diketahui publik. Kepolisian China akan mencari kami. Orang di Dubai telah mengatakan pada mantan suami saya, 'Kami tahu tentang semua situasimu. Kami memiliki banyak orang di Belanda'," ujar Abdulaheb, dilansir The New York Times.
Abdulaheb mengaku dia pernah bekerja di kantor pemerintahan di Xinjiang tapi dia menolak menjelaskan lebih lanjut. Dalam wawancara, dia mengaku menerima dan membantu membocorkan dokumen 24 halaman tapi menolak menjelaskan siapa yang mengirim padanya dokumen itu.
Dia menyatakan, pejabat China mengatakan pada Abibula bahwa mereka ingin tahu siapa yang memberinya dokumen rahasia itu. Abdulaheb menyatakan seseorang mengirimnya dokumen 24 halaman itu secara elektronik pada Juni. "Saat saya mendapat dokumen itu dan melihatnya, saya menyimpulkan ini sangat penting. Saya pikir hal terbaik untuk dilakukan adalah mempublikasikannya," papar dia.
Setelah Abdulaheb mengunggah foto satu halaman dokumen itu di Twitter, agar menarik perhatian, peneliti Jerman tentang Xinjiang Adrian Zenz dan pakar lain menghubunginya. Mereka kemudian mengenalkannya para seorang jurnalis.
ICIJ kemudian bermitra dengan 17 organisasi lain, termasuk The Times untuk mempublikasikan dokumen tentang kamp penahanan di Xinjiang tersebut. The Times menjadi bagian dari ICIJ yang melaporkan dokumen kedua tentang Xinjiang itu.
Dokumen itu muncul sepekan setelah The Times merilis laporan berdasarkan dokumen 403 halaman lainnya yang menyoroti tentang asal dan meluasnya tekanan pada Uighur di Xinjiang. The Times menyatakan sumber dokumen itu adalah anggota lembaga politik China yang meminta anonim.
Abdulaheb, 46, menjelaskan bagaimana dia hidup dalam ketakutan setelah dia dan mantan suaminya mendapat ancaman pembunuhan dan dihubungi para pejabat keamanan China saat para jurnalis bersiap melaporkan dokumen rahasia itu.
Dia dalam wawancara telepon mengakui terlibat dalam rilis dokumen 24 halaman yang dipublikasikan di berbagai media Barat bulan lalu. Dia juga berbicara tentang perannya itu sekarang untuk melindungi dirinya dan keluarganya dari pembalasan pemerintah China.
Dokumen yang diperoleh Konsorsium Internasional Jurnalis Investigasi (ICIJ) dan diperiksa para jurnalis di penjuru dunia itu muncul setelah dokumen sebelumnya setebal 403 halaman yang dirilis The New York Times yang menyebut bagaimana otoritas membuat, mengelola dan membenarkan berlanjutnya tekanan pada satu juta atau lebih etnik Uighur dan Kazakh.
Surat kabar Belanda, De Volkskrant pertama kali melaporkan peran Abdulaheb dalam penyebaran dokumen kedua itu berdasarkan wawancara dengan dia dan mantan suaminya, Jasur Abibula. Keduanya merupakan warga Belanda yang tinggal di Belanda sejak 2009 dan mereka memiliki putri umur 6 tahun dan putra umur 8 tahun.
Abdulaheb menjelaskan dalam bahasa Mandarin China dengan The Times bahwa dia memutuskan berbicara agar dapat menghalangi otoritas China mengganggu dia atau keluarganya. Menurut dia, otoritas China telah tahu dia memiliki dokumen itu dan dia menjelaskan pada kepolisian Belanda tentang situasinya.
Abdulaheb mengungkap ancaman terhadapnya meningkat setelah suaminya kembali dari perjalanan ke Dubai pada pertengahan September saat pejabat keamanan China mengajtakan pada dia tentang dokumen itu dan menginterogasi suaminya tentang Abdulaheb dan mencoba merekrut suaminya untuk memata-matai Abdulaheb.
"Saya pikir hal ini harus diketahui publik. Kepolisian China akan mencari kami. Orang di Dubai telah mengatakan pada mantan suami saya, 'Kami tahu tentang semua situasimu. Kami memiliki banyak orang di Belanda'," ujar Abdulaheb, dilansir The New York Times.
Abdulaheb mengaku dia pernah bekerja di kantor pemerintahan di Xinjiang tapi dia menolak menjelaskan lebih lanjut. Dalam wawancara, dia mengaku menerima dan membantu membocorkan dokumen 24 halaman tapi menolak menjelaskan siapa yang mengirim padanya dokumen itu.
Dia menyatakan, pejabat China mengatakan pada Abibula bahwa mereka ingin tahu siapa yang memberinya dokumen rahasia itu. Abdulaheb menyatakan seseorang mengirimnya dokumen 24 halaman itu secara elektronik pada Juni. "Saat saya mendapat dokumen itu dan melihatnya, saya menyimpulkan ini sangat penting. Saya pikir hal terbaik untuk dilakukan adalah mempublikasikannya," papar dia.
Setelah Abdulaheb mengunggah foto satu halaman dokumen itu di Twitter, agar menarik perhatian, peneliti Jerman tentang Xinjiang Adrian Zenz dan pakar lain menghubunginya. Mereka kemudian mengenalkannya para seorang jurnalis.
ICIJ kemudian bermitra dengan 17 organisasi lain, termasuk The Times untuk mempublikasikan dokumen tentang kamp penahanan di Xinjiang tersebut. The Times menjadi bagian dari ICIJ yang melaporkan dokumen kedua tentang Xinjiang itu.
Dokumen itu muncul sepekan setelah The Times merilis laporan berdasarkan dokumen 403 halaman lainnya yang menyoroti tentang asal dan meluasnya tekanan pada Uighur di Xinjiang. The Times menyatakan sumber dokumen itu adalah anggota lembaga politik China yang meminta anonim.
(sfn)