Sosok Permaisuri Masako, Bukan Pewaris Takhta Biasa
A
A
A
Permaisuri Masako menjadi sorotan setelah 16 tahun “terdiam di sangkarnya”. Dia jarang terlihat di depan umum sejak 2003 dan membuat kejutan setelah tampil bersama tokoh-tokoh dunia. Seperti apa perjalanan hidupnya?
Publik Jepang memang seolah lupa dengan sosok Masako. Setelah menjadi istri Kaisar Jepang saat ini, Naruhito, wanita kelahiran 9 Desember 1963 itu terkesan menghilang. Penampilan terakhirnya terjadi saat menghadiri pertemuan tahunan Masyarakat Palang Merah Jepang (Japanese Red Cross Society) di Tokyo. Setelah itu, Masako menghilang dengan alasan gangguan penyesuaian.
Setelah hampir 16 tahun, Masako kembali dan penampilannya begitu mengagetkan dan memukau banyak orang saat menerima kunjungan kenegaraan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump beberapa bulan lalu.
Namanya langsung menjadi trending topic di Twitter dengan istilah trending tsuyaku nashi yang berarti ‘tanpa penerjemah’. Istilah itu diberikan setelah dia terlihat mengobrol santai dengan Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Presiden Prancis Emmanuel Macron tanpa bantuan penerjemah.
Bagi Masako, ini menjadi debut internasionalnya setelah menikah selama 26 tahun dengan Naruhito yang baru saja diangkat menjadi Kaisar Jepang. Ini sekaligus menjadi kesempatan baginya untuk membuktikan jika misi utamanya bukan hanya menjadi “penghasil” pewaris takhta.
Sang Permaisuri terlihat mengobrol dengan Presiden Trump dan istrinya dalam bahasa Inggris yang fasih. Masako memang diketahui pernah kuliah di Universitas Harvard dan Oxford. Dia juga tampak tenang dan santai sepanjang kesempatan itu. CNN melaporkan jika Permaisuri tidak membutuhkan penerjemah untuk berbicara dengan Trump dan Melania.
Dia seolah memberikan pernyataan jika dia baik-baik saja dan telah selesai dengan masalah kesehatan mental yang menderanya selama bertahun-tahun. Dikutip South China Morning Post, setelah tampil perdana menyambut Presiden Trump, Masako juga terlihat mengenakan kostum tradisional saat ikut mengambil bagian dalam upacara tambahan di Istana Kekaisaran terkait penobatan suaminya dan sembahyang di ketiga tempat suci di halaman istana pada bulan lalu.
Setelah itu, dia menemani sang suami ke pertemuan dengan Duta Besar Tiongkok yang berangkat ke Jepang, Cheng Yonghua. Beberapa pekan kemudian, dia pergi ke Prefektur Aichi di Jepang Tengah untuk ikut serta dalam festival penanaman pohon bersama anak-anak setempat. “Kamu melakukannya dengan sangat baik. Saya harap pohon yang kamu tanam akan tumbuh besar,” ujarnya saat berbicara dengan salah satu anak ketika mereka menanam pohon.
Sebetulnya kemunculan Masako ini bukan yang pertama. Kala itu, satu bulan setelah pernikahannya pada 1993, publik terkejut ketika dia duduk di antara Presiden Bill Clinton dan Presiden Boris N Yeltsin dari Rusia pada acara makan malam kenegaraan di Tokyo dan berbincang lancar dengan bahasa Inggris.
Dapat Banyak Dukungan
Meski ada beberapa kekhawatiran jika Masako hanya akan membawa beban bagi suami dan kerajaan terkait gelar baru dan tanggung jawabnya sebagai permaisuri, menyusul diangkatnya sang suami menjadi raja pada awal Mei lalu, banyak pihak yang mendukungnya, termasuk Badan Rumah Tangga Kekaisaran Jepang.
Menurut salah satu pejabat senior Badan Rumah Tangga Kekaisaran kepada Kyodo News, pemulihan kondisi kesehatan Masako telah mendukung kinerja pasangan yang lebih menguntungkan.
“Ada banyak orang mengatakan tepat sebelum Kaisar dinobatkan jika Masako mungkin berjuang. Tetapi ketika melihatnya di televisi minggu lalu, dia mengatakan, dia tidak pernah terlihat begitu baik. Kesan yang diberikan yaitu seseorang yang sangat alami dan tidak ada yang akan mengatakan jika dia sakit. Itu melegakan bagi orang Jepang,” tutur Mieko Nakabayashi, profesor di Departemen Ilmu Sosial, Universitas Waseda, Tokyo.
Diketahui, rumor mengenai kesehatan Masako terus muncul sejak dia mulai menarik diri dari publik. Penarikan diri itu dilatarbelakangi beberapa faktor. Salah satunya tekanan ketika dia melahirkan anak perempuan, bukan ahli waris laki-laki. Lalu, Masako juga dianggap tertekan karena tidak memanfaatkan pekerjaannya sebagai diplomat untuk kepentingan bangsa.
Selain itu, banyak “bumbu” berseliweran. Banyak tabloid memberitakan jika dia telah berselisih dengan ibu mertuanya yang sekarang menjadi permaisuri emeritus atau saudara iparnya. “Kita tidak akan pernah tahu yang sebenarnya. Meskipun perhatian yang dia dapatkan sekarang lebih dari ketika dia adalah putri mahkota, dia tampaknya melakukannya dengan sangat baik,” ujar Nakabayashi.
Sementara itu, di mata profesor ekonomi di Universitas Doshisha, Kyoto, Noriko Hama, Masako terlihat jauh lebih baik daripada ketika dia menjadi putri mahkota. Dia tampak seperti benar-benar telah dibebaskan.
"Kita tidak tahu mengapa dia tidak sehat sebelumnya, tetapi jelas ada tekanan serius padanya. Tetapi sekarang dia tampak bahagia dan seolah-olah berada di elemennya. Masako sekarang melakukan semua hal yang dia inginkan dan berharap bisa melakukan ketika dia bergabung dengan keluarga kekaisaran," beber Hama.
Dia muncul sekarang sebagai permaisuri yang sepenuhnya modern dan mungkin lebih bahagia karena Badan Rumah Tangga Kekaisaran tidak lagi memiliki pengaruh terhadapnya ketika dia hanya putri mahkota. Di sisi lain, para pengamat mengatakan bahwa pemulihan ini terjadi karena Permaisuri sudah kembali ke zona nyamannya.
Diketahui, Masako adalah lulusan universitas ternama, Harvard, lalu menjadi diplomat. Dia juga berperan dalam menyelesaikan sengketa perdagangan antara Amerika Serikat dan Jepang pada 1980-an. Dia juga seorang poliglot; fasih berbahasa Inggris, Prancis, dan Jerman.
“Putri mahkota memiliki kekuatan yang sangat kecil dalam rumah kekaisaran, tetapi sekarang Masako adalah permaisuri, dia pasti dapat melakukan beberapa hal yang berbeda,” ungkap pakar sejarah modern Jepang, Universitas Negeri Portland, Kenneth Ruoff, dikutip Straits Times.
Saat itu, Ruoff menilai, sebagai putri mahkota, Masako tidak menerima dan tidak menghargai sedikit pun diperlakukan seolah-olah hanya sebagai rahim bagi ahli waris laki-laki untuk naik takhta. Para pengamat melihat apa yang telah dilalui Masako akan membuat dia lebih berempati kepada para korban bencana dan orang yang kurang beruntung.
Lalu, bakat diplomatiknya bisa menjadikannya ikon kekuatan yang lembut. “Ini memberi banyak jaminan kepada masyarakat umum ketika mereka melihat Permaisuri Masako menjalankan tugas penting,” ujar Dr Keiko Hongo dari Institut Historiografi di Universitas Tokyo.
Beberapa analis juga mengatakan bahwa Masako bisa mengukir peran independen dengan memperjuangkan hal-hal yang dia pedulikan ketimbang hanya menemani Kaisar ke mana-mana. “Sekarang peran wanita lebih mandiri. Wanita memiliki pekerjaan terpisah dari istri dan ibu, jadi mengapa Masako tidak melakukan itu?” ungkap profesor ilmu politik di Sophia University, Tokyo.
Namun, dia menghadapi banyak kendala dalam mendefinisikan perannya dalam kehidupan publik Jepang karena kode ketat Kerajaan menentukan apa yang dia bisa dan tidak bisa lakukan. Di bawah Badan Rumah Tangga Kekaisaran (The Imperial Household Council) yang mengatur sebagian besar masalah protokol terkait monarki Jepang, Masako bahkan tidak diizinkan menghadiri upacara seremonial suaminya yang diangkat menjadi kaisar.
Wanita juga tidak diizinkan memimpin kerajaan. Ini adalah salah satu lembaga paling tradisional di Jepang dan didominasi sebagian besar lelaki Jepang yang lebih tua. Tidak mengherankan jika Masako diharapkan berperilaku dengan selalu senyum dan harus selalu patuh.
“Orang-orang bersimpati kepadanya dan mereka sangat ingin dia menjadi putri Jepang yang memiliki akhir bahagia, yang sukses setelah semua cobaan yang dia lalui. Semua orang bersorak untuknya, mendukungnya, dan menginginkannya memiliki akhir bahagia seperti ini. Mungkin sesuatu di mana masyarakat harus menerima apa yang bisa dia lakukan,” ujar Kathryn Tanaka, profesor studi budaya dan sejarah di Universitas Otemae, Nishinomiya.
Publik Jepang memang seolah lupa dengan sosok Masako. Setelah menjadi istri Kaisar Jepang saat ini, Naruhito, wanita kelahiran 9 Desember 1963 itu terkesan menghilang. Penampilan terakhirnya terjadi saat menghadiri pertemuan tahunan Masyarakat Palang Merah Jepang (Japanese Red Cross Society) di Tokyo. Setelah itu, Masako menghilang dengan alasan gangguan penyesuaian.
Setelah hampir 16 tahun, Masako kembali dan penampilannya begitu mengagetkan dan memukau banyak orang saat menerima kunjungan kenegaraan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump beberapa bulan lalu.
Namanya langsung menjadi trending topic di Twitter dengan istilah trending tsuyaku nashi yang berarti ‘tanpa penerjemah’. Istilah itu diberikan setelah dia terlihat mengobrol santai dengan Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Presiden Prancis Emmanuel Macron tanpa bantuan penerjemah.
Bagi Masako, ini menjadi debut internasionalnya setelah menikah selama 26 tahun dengan Naruhito yang baru saja diangkat menjadi Kaisar Jepang. Ini sekaligus menjadi kesempatan baginya untuk membuktikan jika misi utamanya bukan hanya menjadi “penghasil” pewaris takhta.
Sang Permaisuri terlihat mengobrol dengan Presiden Trump dan istrinya dalam bahasa Inggris yang fasih. Masako memang diketahui pernah kuliah di Universitas Harvard dan Oxford. Dia juga tampak tenang dan santai sepanjang kesempatan itu. CNN melaporkan jika Permaisuri tidak membutuhkan penerjemah untuk berbicara dengan Trump dan Melania.
Dia seolah memberikan pernyataan jika dia baik-baik saja dan telah selesai dengan masalah kesehatan mental yang menderanya selama bertahun-tahun. Dikutip South China Morning Post, setelah tampil perdana menyambut Presiden Trump, Masako juga terlihat mengenakan kostum tradisional saat ikut mengambil bagian dalam upacara tambahan di Istana Kekaisaran terkait penobatan suaminya dan sembahyang di ketiga tempat suci di halaman istana pada bulan lalu.
Setelah itu, dia menemani sang suami ke pertemuan dengan Duta Besar Tiongkok yang berangkat ke Jepang, Cheng Yonghua. Beberapa pekan kemudian, dia pergi ke Prefektur Aichi di Jepang Tengah untuk ikut serta dalam festival penanaman pohon bersama anak-anak setempat. “Kamu melakukannya dengan sangat baik. Saya harap pohon yang kamu tanam akan tumbuh besar,” ujarnya saat berbicara dengan salah satu anak ketika mereka menanam pohon.
Sebetulnya kemunculan Masako ini bukan yang pertama. Kala itu, satu bulan setelah pernikahannya pada 1993, publik terkejut ketika dia duduk di antara Presiden Bill Clinton dan Presiden Boris N Yeltsin dari Rusia pada acara makan malam kenegaraan di Tokyo dan berbincang lancar dengan bahasa Inggris.
Dapat Banyak Dukungan
Meski ada beberapa kekhawatiran jika Masako hanya akan membawa beban bagi suami dan kerajaan terkait gelar baru dan tanggung jawabnya sebagai permaisuri, menyusul diangkatnya sang suami menjadi raja pada awal Mei lalu, banyak pihak yang mendukungnya, termasuk Badan Rumah Tangga Kekaisaran Jepang.
Menurut salah satu pejabat senior Badan Rumah Tangga Kekaisaran kepada Kyodo News, pemulihan kondisi kesehatan Masako telah mendukung kinerja pasangan yang lebih menguntungkan.
“Ada banyak orang mengatakan tepat sebelum Kaisar dinobatkan jika Masako mungkin berjuang. Tetapi ketika melihatnya di televisi minggu lalu, dia mengatakan, dia tidak pernah terlihat begitu baik. Kesan yang diberikan yaitu seseorang yang sangat alami dan tidak ada yang akan mengatakan jika dia sakit. Itu melegakan bagi orang Jepang,” tutur Mieko Nakabayashi, profesor di Departemen Ilmu Sosial, Universitas Waseda, Tokyo.
Diketahui, rumor mengenai kesehatan Masako terus muncul sejak dia mulai menarik diri dari publik. Penarikan diri itu dilatarbelakangi beberapa faktor. Salah satunya tekanan ketika dia melahirkan anak perempuan, bukan ahli waris laki-laki. Lalu, Masako juga dianggap tertekan karena tidak memanfaatkan pekerjaannya sebagai diplomat untuk kepentingan bangsa.
Selain itu, banyak “bumbu” berseliweran. Banyak tabloid memberitakan jika dia telah berselisih dengan ibu mertuanya yang sekarang menjadi permaisuri emeritus atau saudara iparnya. “Kita tidak akan pernah tahu yang sebenarnya. Meskipun perhatian yang dia dapatkan sekarang lebih dari ketika dia adalah putri mahkota, dia tampaknya melakukannya dengan sangat baik,” ujar Nakabayashi.
Sementara itu, di mata profesor ekonomi di Universitas Doshisha, Kyoto, Noriko Hama, Masako terlihat jauh lebih baik daripada ketika dia menjadi putri mahkota. Dia tampak seperti benar-benar telah dibebaskan.
"Kita tidak tahu mengapa dia tidak sehat sebelumnya, tetapi jelas ada tekanan serius padanya. Tetapi sekarang dia tampak bahagia dan seolah-olah berada di elemennya. Masako sekarang melakukan semua hal yang dia inginkan dan berharap bisa melakukan ketika dia bergabung dengan keluarga kekaisaran," beber Hama.
Dia muncul sekarang sebagai permaisuri yang sepenuhnya modern dan mungkin lebih bahagia karena Badan Rumah Tangga Kekaisaran tidak lagi memiliki pengaruh terhadapnya ketika dia hanya putri mahkota. Di sisi lain, para pengamat mengatakan bahwa pemulihan ini terjadi karena Permaisuri sudah kembali ke zona nyamannya.
Diketahui, Masako adalah lulusan universitas ternama, Harvard, lalu menjadi diplomat. Dia juga berperan dalam menyelesaikan sengketa perdagangan antara Amerika Serikat dan Jepang pada 1980-an. Dia juga seorang poliglot; fasih berbahasa Inggris, Prancis, dan Jerman.
“Putri mahkota memiliki kekuatan yang sangat kecil dalam rumah kekaisaran, tetapi sekarang Masako adalah permaisuri, dia pasti dapat melakukan beberapa hal yang berbeda,” ungkap pakar sejarah modern Jepang, Universitas Negeri Portland, Kenneth Ruoff, dikutip Straits Times.
Saat itu, Ruoff menilai, sebagai putri mahkota, Masako tidak menerima dan tidak menghargai sedikit pun diperlakukan seolah-olah hanya sebagai rahim bagi ahli waris laki-laki untuk naik takhta. Para pengamat melihat apa yang telah dilalui Masako akan membuat dia lebih berempati kepada para korban bencana dan orang yang kurang beruntung.
Lalu, bakat diplomatiknya bisa menjadikannya ikon kekuatan yang lembut. “Ini memberi banyak jaminan kepada masyarakat umum ketika mereka melihat Permaisuri Masako menjalankan tugas penting,” ujar Dr Keiko Hongo dari Institut Historiografi di Universitas Tokyo.
Beberapa analis juga mengatakan bahwa Masako bisa mengukir peran independen dengan memperjuangkan hal-hal yang dia pedulikan ketimbang hanya menemani Kaisar ke mana-mana. “Sekarang peran wanita lebih mandiri. Wanita memiliki pekerjaan terpisah dari istri dan ibu, jadi mengapa Masako tidak melakukan itu?” ungkap profesor ilmu politik di Sophia University, Tokyo.
Namun, dia menghadapi banyak kendala dalam mendefinisikan perannya dalam kehidupan publik Jepang karena kode ketat Kerajaan menentukan apa yang dia bisa dan tidak bisa lakukan. Di bawah Badan Rumah Tangga Kekaisaran (The Imperial Household Council) yang mengatur sebagian besar masalah protokol terkait monarki Jepang, Masako bahkan tidak diizinkan menghadiri upacara seremonial suaminya yang diangkat menjadi kaisar.
Wanita juga tidak diizinkan memimpin kerajaan. Ini adalah salah satu lembaga paling tradisional di Jepang dan didominasi sebagian besar lelaki Jepang yang lebih tua. Tidak mengherankan jika Masako diharapkan berperilaku dengan selalu senyum dan harus selalu patuh.
“Orang-orang bersimpati kepadanya dan mereka sangat ingin dia menjadi putri Jepang yang memiliki akhir bahagia, yang sukses setelah semua cobaan yang dia lalui. Semua orang bersorak untuknya, mendukungnya, dan menginginkannya memiliki akhir bahagia seperti ini. Mungkin sesuatu di mana masyarakat harus menerima apa yang bisa dia lakukan,” ujar Kathryn Tanaka, profesor studi budaya dan sejarah di Universitas Otemae, Nishinomiya.
(don)