Agensi Tenaga Kerja Etis di Malaysia Atasi Perbudakan Modern
A
A
A
KUALA LUMPUR - Agensi rekrutmen tenaga kerja Malaysia, Pinkcollar, meluncurkan model perekrutan “etis” untuk mengubah cara kerja dalam industri tenaga kerja yang ada selama ini. Selama ini industri perekrutan tenaga kerja mengakibatkan para pekerja migran terlilit utang dan perbudakan modern terus terjadi di Malaysia.
Dipimpin oleh tiga orang, Pinkcollar yang berbasis di Kuala Lumpur itu menyebut diri sebagai agensi rekrutmen etis pertama di Malaysia. Malaysia sangat tergantung pada tenaga kerja asing untuk mengisi lapangan kerja di sektor konstruksi, pabrik, atau rumah tangga. Perusahaan itu akan menurunkan beban biaya besar yang biasanya diterapkan perusahaan rekrutmen pada para pekerja yang memanfaatkan jasa lembaga itu untuk mencari pekerjaan.
Kondisi ini mengakibatkan ribuan pekerja terlilit utang dan sulit terlepas dari jeratan utang. “Kami mencoba mengganggu industri ini. Kami berharap bisa mengangkat standar seluruh industri,” kata Pendiri Pinkcollar Zenna Law pada Reuters. Law bersama mitranya yang masih berusia sekitar 20-an tahun itu mengaku tumbuh besar dengan bantuan para pekerja pembantu rumah tangga (PRT).
Malaysia menjadi tempat bagi jutaan pekerja asing dan salah satu tujuan utama di Asia untuk para pekerja dari Indonesia dan Filipina. Berbagai kasus kekerasan dan pelecehan banyak terjadi, tapi berbagai kelompok hak asasi migran menyatakan para pekerja tidak bisa keluar dari situasi buruk itu karena mereka harus bekerja untuk membayar perusahaan perekrut yang memberikan mereka pekerjaan dan memotong gaji bulanan mereka.
Pemerintah Malaysia menyatakan tahun lalu sedang mencari cara memangkas pihak perantara dan mengakhiri lilitan utang yang menjadi salah satu bentuk perbudakan modern. Meski baru pertama di Malaysia, perusahaan perekrutan etis telah menyebar di Filipina dan Hong Kong dalam beberapa tahun terakhir, saat bisnis dan rumah tangga mendapat tekanan untuk mengakhiri perbudakan modern.
Pinkcollar akan fokus pada para PRT dari Filipina pada tahan pertama, merekrut melalui media sosial sebelum mencocokkan dengan calon majikan melalui wawancara sehingga kedua pihak melalui proses perekrutan dan persyaratan. “Biaya perekrutan yang biasanya sekitar USD2.900–4.300 (Rp41–61 juta) akan dibayar oleh tenaga kerja yang telah mendapatkan pekerjaan,” ungkap Law.
Nama perusahaan itu diambil dari istilah diberikan untuk pekerjaan yang biasa dilakukan wanita seperti pengasuh dan PRT. “Saat para pekerja berutang pada agensi (perekrut), tidak hanya mereka memiliki sedikit kebebasan untuk berpindah kerja, tapi juga sulit meninggalkan tempat kerja yang buruk dan tidak aman. Lilitan utang adalah yang kami coba atasi,” tutur Law.
Berbagai kelompok hak asasi migran menyambut inisiatif munculnya perusahaan perekrutan etis semacam itu, tapi juga memperingatkan bahwa penerapannya bisa rumit untuk negara seperti Indonesia yang hanya mengizinkan pekerja ke luar negeri melalui agensi yang disetujui secara lokal.
“Ini bisa cukup semrawut untuk negara pengirim karena mereka ingin memonitor keberadaan para pekerja,” ujar Alex Ong dari grup advokasi Migrant Care yang berkampanye untuk para pekerja migran di Malaysia. Federasi Pengusaha Malaysia menyatakan, berdasarkan panduan terbaru, berbagai agensi rekrutmen tidak diizinkan menetapkan biaya yang lebih tinggi dibandingkan gaji satu bulan.
Namun, para PRT tidak termasuk dalam aturan itu dan biasanya harus membayarkan hampir seluruh gajinya selama enam bulan untuk menutup biaya agensi perekrut lokal atau tes medis. “Pertanyaannya, mengapa perlindungan ini tidak diterapkan untuk para pekerja domestik juga,” ungkap Ong yang menyerukan perubahan aturan.
Indeks Perbudakan Global oleh Walk Free Foundation menyatakan, Malaysia menjadi tempat bagi sekitar 212.000 orang yang terjebak dalam perbudakan modern. Secara global, masih ada 40 juta orang mengalami perbudakan modern.
Dipimpin oleh tiga orang, Pinkcollar yang berbasis di Kuala Lumpur itu menyebut diri sebagai agensi rekrutmen etis pertama di Malaysia. Malaysia sangat tergantung pada tenaga kerja asing untuk mengisi lapangan kerja di sektor konstruksi, pabrik, atau rumah tangga. Perusahaan itu akan menurunkan beban biaya besar yang biasanya diterapkan perusahaan rekrutmen pada para pekerja yang memanfaatkan jasa lembaga itu untuk mencari pekerjaan.
Kondisi ini mengakibatkan ribuan pekerja terlilit utang dan sulit terlepas dari jeratan utang. “Kami mencoba mengganggu industri ini. Kami berharap bisa mengangkat standar seluruh industri,” kata Pendiri Pinkcollar Zenna Law pada Reuters. Law bersama mitranya yang masih berusia sekitar 20-an tahun itu mengaku tumbuh besar dengan bantuan para pekerja pembantu rumah tangga (PRT).
Malaysia menjadi tempat bagi jutaan pekerja asing dan salah satu tujuan utama di Asia untuk para pekerja dari Indonesia dan Filipina. Berbagai kasus kekerasan dan pelecehan banyak terjadi, tapi berbagai kelompok hak asasi migran menyatakan para pekerja tidak bisa keluar dari situasi buruk itu karena mereka harus bekerja untuk membayar perusahaan perekrut yang memberikan mereka pekerjaan dan memotong gaji bulanan mereka.
Pemerintah Malaysia menyatakan tahun lalu sedang mencari cara memangkas pihak perantara dan mengakhiri lilitan utang yang menjadi salah satu bentuk perbudakan modern. Meski baru pertama di Malaysia, perusahaan perekrutan etis telah menyebar di Filipina dan Hong Kong dalam beberapa tahun terakhir, saat bisnis dan rumah tangga mendapat tekanan untuk mengakhiri perbudakan modern.
Pinkcollar akan fokus pada para PRT dari Filipina pada tahan pertama, merekrut melalui media sosial sebelum mencocokkan dengan calon majikan melalui wawancara sehingga kedua pihak melalui proses perekrutan dan persyaratan. “Biaya perekrutan yang biasanya sekitar USD2.900–4.300 (Rp41–61 juta) akan dibayar oleh tenaga kerja yang telah mendapatkan pekerjaan,” ungkap Law.
Nama perusahaan itu diambil dari istilah diberikan untuk pekerjaan yang biasa dilakukan wanita seperti pengasuh dan PRT. “Saat para pekerja berutang pada agensi (perekrut), tidak hanya mereka memiliki sedikit kebebasan untuk berpindah kerja, tapi juga sulit meninggalkan tempat kerja yang buruk dan tidak aman. Lilitan utang adalah yang kami coba atasi,” tutur Law.
Berbagai kelompok hak asasi migran menyambut inisiatif munculnya perusahaan perekrutan etis semacam itu, tapi juga memperingatkan bahwa penerapannya bisa rumit untuk negara seperti Indonesia yang hanya mengizinkan pekerja ke luar negeri melalui agensi yang disetujui secara lokal.
“Ini bisa cukup semrawut untuk negara pengirim karena mereka ingin memonitor keberadaan para pekerja,” ujar Alex Ong dari grup advokasi Migrant Care yang berkampanye untuk para pekerja migran di Malaysia. Federasi Pengusaha Malaysia menyatakan, berdasarkan panduan terbaru, berbagai agensi rekrutmen tidak diizinkan menetapkan biaya yang lebih tinggi dibandingkan gaji satu bulan.
Namun, para PRT tidak termasuk dalam aturan itu dan biasanya harus membayarkan hampir seluruh gajinya selama enam bulan untuk menutup biaya agensi perekrut lokal atau tes medis. “Pertanyaannya, mengapa perlindungan ini tidak diterapkan untuk para pekerja domestik juga,” ungkap Ong yang menyerukan perubahan aturan.
Indeks Perbudakan Global oleh Walk Free Foundation menyatakan, Malaysia menjadi tempat bagi sekitar 212.000 orang yang terjebak dalam perbudakan modern. Secara global, masih ada 40 juta orang mengalami perbudakan modern.
(don)