Awasi Laut China Selatan, China Kerahkan Pesawat Nirawak
A
A
A
BEIJING - China mengerahkan jaringan pesawat nirawak (drone) untuk mengawasi pulau-pulau dan terumbu karang di Laut China Selatan yang disengketakan.
Menurut Biro Laut Selatan Kementerian Sumber Daya Alam China, pengawasan itu mencakup pulau-pulau yang tak berpenghuni dan sulit dijangkau serta perairan terbuka yang luas di wilayah itu.
"Rantai komunikasi drone sangat meningkatkan pengawasan dinamis kami terhadap Laut China Selatan, dan memperluas jangkauan kami ke laut lepas," kata biro itu di situs resminya seperti disitir dari South China Morning Post, Kamis (12/9/2019).
Menurut biro tersebut, sistem pengawasan udara-darat terdiri dari banyak pesawat tak berawak (UAV) yang membawa kamera High Definition, kendaraan komunikasi mobile yang bertindak sebagai stasiun relay transmisi, serta jaringan komunikasi informasi maritim berbasis satelit.
Keberadaan drone ringan itu dimaksudkan untuk melengkapi sistem penginderaan jauh satelit China - yang sering dipengaruhi oleh cuaca mendung di daerah tersebut - dengan gambar yang berkualitas lebih tinggi, multi-sudut, dan gambar real time.
Sementara van komunikasi dapat didorong atau diangkut ke tempat-tempat yang tidak memiliki stasiun komunikasi darat dan menerima sinyal yang dikirim oleh drone. Sinyal kemudian dapat diunggah ke jaringan satelit sebagai gambar atau live streaming, untuk ditampilkan ribuan kilometer jauhnya di markas komando biro di provinsi selatan Guangdong.
"Sistem ini telah digunakan dalam administrasi maritim termasuk untuk memeriksa perairan atas tanda-tanda yang mencurigakan, menyelidiki situs bersejarah, dan memantau laut dan pulau secara real time," kata biro itu.
"Ini akan memainkan peran penting dalam kasus-kasus pengamatan bencana dan tanggap darurat, seperti kecelakaan tumpahan minyak atau wabah alga pasang merah," sambungnya.
China mengklaim sebagian besar Laut China Selatan yang kaya akan sumber daya alam, yang juga merupakan salah satu rute perdagangan tersibuk di dunia. Namun klaim itu juga dimiliki oleh Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brunei.
Jaringan pesawat tak berawak adalah penegasan terbaru China atas wewenangnya di wilayah tersebut, menyusul pendirian pos-pos militer di tujuh pulau buatan yang dibangunnya di kepulauan Spratly yang disengketakan.
China juga meluncurkan sistem konstelasi satelit Hainan - yang diharapkan akan selesai pada tahun 2021 - untuk pemantauan lalu lintas harian secara real-time di Laut China Selatan. Sistem ini akan mencakup enam satelit optik, dua satelit hiperspektral, dan dua satelit radar.
Beijing juga telah membangun radar cuaca, pengamatan maritim, dan stasiun pemantauan lingkungan, yang semakin memperkuat kedaulatannya dan menyediakan "barang publik" untuk pengguna lain di daerah sensitif.
Menurut Biro Laut Selatan Kementerian Sumber Daya Alam China, pengawasan itu mencakup pulau-pulau yang tak berpenghuni dan sulit dijangkau serta perairan terbuka yang luas di wilayah itu.
"Rantai komunikasi drone sangat meningkatkan pengawasan dinamis kami terhadap Laut China Selatan, dan memperluas jangkauan kami ke laut lepas," kata biro itu di situs resminya seperti disitir dari South China Morning Post, Kamis (12/9/2019).
Menurut biro tersebut, sistem pengawasan udara-darat terdiri dari banyak pesawat tak berawak (UAV) yang membawa kamera High Definition, kendaraan komunikasi mobile yang bertindak sebagai stasiun relay transmisi, serta jaringan komunikasi informasi maritim berbasis satelit.
Keberadaan drone ringan itu dimaksudkan untuk melengkapi sistem penginderaan jauh satelit China - yang sering dipengaruhi oleh cuaca mendung di daerah tersebut - dengan gambar yang berkualitas lebih tinggi, multi-sudut, dan gambar real time.
Sementara van komunikasi dapat didorong atau diangkut ke tempat-tempat yang tidak memiliki stasiun komunikasi darat dan menerima sinyal yang dikirim oleh drone. Sinyal kemudian dapat diunggah ke jaringan satelit sebagai gambar atau live streaming, untuk ditampilkan ribuan kilometer jauhnya di markas komando biro di provinsi selatan Guangdong.
"Sistem ini telah digunakan dalam administrasi maritim termasuk untuk memeriksa perairan atas tanda-tanda yang mencurigakan, menyelidiki situs bersejarah, dan memantau laut dan pulau secara real time," kata biro itu.
"Ini akan memainkan peran penting dalam kasus-kasus pengamatan bencana dan tanggap darurat, seperti kecelakaan tumpahan minyak atau wabah alga pasang merah," sambungnya.
China mengklaim sebagian besar Laut China Selatan yang kaya akan sumber daya alam, yang juga merupakan salah satu rute perdagangan tersibuk di dunia. Namun klaim itu juga dimiliki oleh Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brunei.
Jaringan pesawat tak berawak adalah penegasan terbaru China atas wewenangnya di wilayah tersebut, menyusul pendirian pos-pos militer di tujuh pulau buatan yang dibangunnya di kepulauan Spratly yang disengketakan.
China juga meluncurkan sistem konstelasi satelit Hainan - yang diharapkan akan selesai pada tahun 2021 - untuk pemantauan lalu lintas harian secara real-time di Laut China Selatan. Sistem ini akan mencakup enam satelit optik, dua satelit hiperspektral, dan dua satelit radar.
Beijing juga telah membangun radar cuaca, pengamatan maritim, dan stasiun pemantauan lingkungan, yang semakin memperkuat kedaulatannya dan menyediakan "barang publik" untuk pengguna lain di daerah sensitif.
(ian)