Marianne Williamson Pernah Terpuruk di Masa Mudanya
A
A
A
SAAT ini Marianne Williamson memang berada di puncak karier. Namun, siapa sangka perjalanan menuju puncak ini bukanlah perjalanan mudah bagi anak dari seorang pengacara imigrasi Houston itu. Masa muda Williamson memang tak mudah.
Dia menjalani kehidupan yang berantakan sebagai penyanyi, pelayan koktail, penjual buku, dan terlibat dalam serangkaian hubungan yang tidak bahagia . Dia mengaku pernah menikah hanya “satu setengah menit”.
“Saya tenggelam lebih dalam dan lebih dalam ke pola neurotik saya, mencari bantuan dalam makanan, obat-obatan, orang, atau apa pun yang dapat saya temukan untuk mengalihkan saya dari diri saya sendiri,” tulis Williamson di bukunya, A Return to Love, tentang masa mudanya. Pada saat krusial itulah dia menemukan buku yang akan menentukan jalur kariernya, yakni A Course in Miracles.
Buku agama tiga volume besar ini mengajarkan bahwa satu-satunya hal yang nyata di dunia adalah cinta Tuhan dan berserah pada rencana-Nya, mengarah pada kedamaian batin dan keajaiban kehidupan nyata. Sejak saat itu, hidupnya pun berubah.
Pada awal usia 20-an dia menghabiskan satu tahun bekerja sebagai asisten Albert Goldman, penulis biografi Lenny Bruce dan John Lennon. Selama tahun-tahun yang sulit ini, dia mencari bantuan di berbagai agama New Age dan Timur, serta program-program swadaya. Karier Williamson sebagai dosen dimulai pada tahun 1983 ketika pindah ke Los Angeles dan mulai bekerja di Philosophical Research Society, pusat studi metafisika.
Kent Black, seorang kolega pada saat itu, mengingat Williamson sebagai wanita Texas yang nakal dan lancang memanjat keluar di depan kantor masyarakat. “Dia mengenakan sepatu bot koboi dan kopernya dipenuhi buku-buku keajaiban. Dia adalah lambang seorang salesman minyak ular Selatan. Saya pikir dia punya banyak chutzpa. Dia baru saja menyikut jalan masuk,” sebut Black.
Lalu selama dekade berikutnya, dia mengumpulkan banyak pengikut, khususnya di tengah krisis HIV/AIDS. Sementara itu, perkenalannya dengan dunia politik dimulai pada akhir 1994.
Kala itu dia merupakan salah satu dari segelintir guru spiritual zaman baru yang diundang Presiden Bill Clinton dan Hillary ke Camp David yang sedang bergulat dengan kerugian besar Partai Demokrat dalam pemilihan jangka menengah dan menemukan cara baru untuk maju lebih dari paruh kedua masa jabatan pertamanya.
Dua dekade kemudian, yakni 2014, Williamson memutuskan untuk memasuki politik dengan caranya sendiri, yakni sebagai calon independen anggota Kongres di Distrik Kongres ke-34 LA,untuk distrik ke-33 terbuka di California melawan Henry Waxman dari Partai Demokrat. Dia kalah dan harus berpuas diri di urutan keempat, memenangi 13,2% suara.
Saat itu pula dia berhasil mengumpulkan USD2 juta untuk kampanye. Penggemarnya pun mulai terbentuk, termasuk dari kalangan artis. Di antaranya Nicole Richie, Katy Perry, dan Kim Kardashian. Alanis Morissette menulis lagu untuk kampanyenya dengan judul Today . Lima tahun setelah kekalahan itu, dia kembali lagi ke ring politik. Dengan lantang, dia mengumumkan maju sebagai capres. (Susi Susanti)
Dia menjalani kehidupan yang berantakan sebagai penyanyi, pelayan koktail, penjual buku, dan terlibat dalam serangkaian hubungan yang tidak bahagia . Dia mengaku pernah menikah hanya “satu setengah menit”.
“Saya tenggelam lebih dalam dan lebih dalam ke pola neurotik saya, mencari bantuan dalam makanan, obat-obatan, orang, atau apa pun yang dapat saya temukan untuk mengalihkan saya dari diri saya sendiri,” tulis Williamson di bukunya, A Return to Love, tentang masa mudanya. Pada saat krusial itulah dia menemukan buku yang akan menentukan jalur kariernya, yakni A Course in Miracles.
Buku agama tiga volume besar ini mengajarkan bahwa satu-satunya hal yang nyata di dunia adalah cinta Tuhan dan berserah pada rencana-Nya, mengarah pada kedamaian batin dan keajaiban kehidupan nyata. Sejak saat itu, hidupnya pun berubah.
Pada awal usia 20-an dia menghabiskan satu tahun bekerja sebagai asisten Albert Goldman, penulis biografi Lenny Bruce dan John Lennon. Selama tahun-tahun yang sulit ini, dia mencari bantuan di berbagai agama New Age dan Timur, serta program-program swadaya. Karier Williamson sebagai dosen dimulai pada tahun 1983 ketika pindah ke Los Angeles dan mulai bekerja di Philosophical Research Society, pusat studi metafisika.
Kent Black, seorang kolega pada saat itu, mengingat Williamson sebagai wanita Texas yang nakal dan lancang memanjat keluar di depan kantor masyarakat. “Dia mengenakan sepatu bot koboi dan kopernya dipenuhi buku-buku keajaiban. Dia adalah lambang seorang salesman minyak ular Selatan. Saya pikir dia punya banyak chutzpa. Dia baru saja menyikut jalan masuk,” sebut Black.
Lalu selama dekade berikutnya, dia mengumpulkan banyak pengikut, khususnya di tengah krisis HIV/AIDS. Sementara itu, perkenalannya dengan dunia politik dimulai pada akhir 1994.
Kala itu dia merupakan salah satu dari segelintir guru spiritual zaman baru yang diundang Presiden Bill Clinton dan Hillary ke Camp David yang sedang bergulat dengan kerugian besar Partai Demokrat dalam pemilihan jangka menengah dan menemukan cara baru untuk maju lebih dari paruh kedua masa jabatan pertamanya.
Dua dekade kemudian, yakni 2014, Williamson memutuskan untuk memasuki politik dengan caranya sendiri, yakni sebagai calon independen anggota Kongres di Distrik Kongres ke-34 LA,untuk distrik ke-33 terbuka di California melawan Henry Waxman dari Partai Demokrat. Dia kalah dan harus berpuas diri di urutan keempat, memenangi 13,2% suara.
Saat itu pula dia berhasil mengumpulkan USD2 juta untuk kampanye. Penggemarnya pun mulai terbentuk, termasuk dari kalangan artis. Di antaranya Nicole Richie, Katy Perry, dan Kim Kardashian. Alanis Morissette menulis lagu untuk kampanyenya dengan judul Today . Lima tahun setelah kekalahan itu, dia kembali lagi ke ring politik. Dengan lantang, dia mengumumkan maju sebagai capres. (Susi Susanti)
(nfl)