Survei Ameriprise Financial; 13% Miliarder Berpikir Mereka Kaya
A
A
A
NEW YORK - Ada yang mengejutkan terkait tingkah laku para miliarder. Berdasarkan studi terbaru dari Ameriprise Financial, ternyata tidak banyak miliarder yang berpikir bahwa mereka kaya. Mereka melakukan survei pada 3.000 warga kaya Amerika Serikat (AS) berusia antara 30 dan 69 tahun.
Para responden dalam survei itu telah menginvestasikan aset-aset minimal USD100.000 (Rp1,4 miliar) dan lebih dari 700 orang merupakan miliarder. “Saat ditanya tentang bagaimana mereka mengklasifikasikan status ekonominya, hanya 13% responden yang menganggap dirinya kaya,” papar hasil survei itu, dilansir Business Insider.
“Mayoritas (60%) mendefinisikan diri mereka sebagai kelas menengah atas, serta sekitar 25% menganggap diri mereka sebagai kelas menengah. Sekitar lebih dari 3% mengidentifikasi sebagai kelas menengah atau miskin,” ungkap hasil survei itu. Belum dapat diketahui pasti berapa juta dolar kekayaan mereka sesungguhnya.
Namun, semua dipilih berdasarkan pernyataan mereka yang mengaku memiliki lebih dari USD1 juta (Rp14 miliar) saat ditanya tentang aset yang diinvestasikan oleh rumah tangga mereka. “Realitasnya ialah bahkan orang yang telah mengumpulkan tujuh angka masih memiliki banyak tujuan keuangan, keinginan, dan kebutuhan,” papar Marcy Keckler, Vice President Strategi Saran Keuangan di Ameriprise.
“Membutuhkan perencanaan cermat bagi para investor untuk mencapai tonggak sejarah keuangan yang mereka tetapkan untuk diri mereka sendiri, bahkan bagi orang yang telah membangun sarang telur sebesar itu,” paparnya. Hasil survei ini menunjukkan bahwa di AS, memiliki uang banyak itu relatif.
Charles Schwab pada Survei Kekayaan Modern 2019 menemukan bahwa rata-rata warga AS berpikir memiliki USD2,3 juta (Rp33 miliar) di bank itu sudah kaya. Sebelumnya, survei terpisah oleh Insider dan Morning Consult menemukan bahwa beberapa warga AS yang memiliki pendapatan kurang dari USD50.000 itu sudah merasa kaya.
Adapun warga AS lainnya yang memiliki pendapatan lebih dari USD100.000 itu merasa miskin. Menurut survei itu, hampir setengah warga AS yang berpendapatan USD100.000 atau lebih diidentifikasi sebagai kelas menengah.
Semua angka itu menunjukkan bahwa kelas ekonomi di AS itu tidak hanya tentang uang. Kelas dan kekayaan tidak sama dan keduanya relatif. Beberapa orang dapat memiliki pendapatan lebih sedikit dan masih merasa kaya, dan ada orang lain yang memiliki pendapatan lebih besar dan merasa mereka masih berjuang secara ekonomi.
Merasa kaya mungkin bergantung pada lokasi. Laporan Schwab menemukan bahwa warga San Francisco berpikir memiliki rata-rata USD4 juta itu sudah kaya, sementara warga New York City berpikir menjadi kaya adalah memiliki uang USD3,2 juta.
Menjadi miliarder, pasti memiliki pola pikir yang berbeda dari kebanyakan orang. Untuk menjadi miliarder, juga dimulai dengan pola pikir. Keith Cameron Smith dalam bukunya berjudul “The Top 10 Distinctions Between Millionaires and the Middle Class,” mengungkapkan bagaimana perilaku yang membedakan antara miliarder dan orang biasa.
Orang kaya tidak berpikir hari ini. Mereka selalu berpikir tentang masa depan, beberapa tahun ke depan, dan beberapa dekade dari sekarang, bukan hitungan pekan atau bulan. Ketika seseorang memiliki pola pikir masa depan, menurut Smith, maka akan menjadikan orang tersebut semakin kaya.
Dia juga mengungkapkan miliarder juga selalu mencari kebebasan finansial jangka panjang. Salah satu hal penting dari kepribadian dari miliarder adalah kesabaran. “Orang kelas menengah itu selalu ingin gratifikasi instan,” ujar Smith. Namun, pola pikir itu harus diubah dengan menjadikan tujuan adalah kebebasan, bukan kenyamanan.
Hal menarik lainnya, ketika kelas menengah cenderung takut dengan perubahan, para miliarder justru memandang perubahan adalah sebagai kesempatan. “Permasalahannya adalah kelas menengah berasumsi perubahan adalah hal negatif sepanjang waktu,” kata Smith. Dia menjelaskan, miliarder berasumsi bahwa semua perubahan itu baik positif maupun negatif selalu menguntungkan mereka.
Belajar untuk menyambut perubahan, maka orang juga harus menyambut kepercayaan diri. “Kepercayaan diri itu harus dibentuk dengan persiapan dan kerja keras,” ujarnya. Dia menjelaskan bahwa kepercayaan diri adalah hasil kerja sendiri yang menguntungkan dirinya.
Hal menarik lainnya adalah miliarder tidak pernah berhenti belajar. Mereka akan selalu membaca buku, meskipun bukan seluruh buku di perpustakaan. Miliarder beranggapan bahwa belajar tidak akan berhenti ketika sudah wisuda. “Sukses adalah proses,” kata Smith. “Jika persentase dari pendapatanmu tidak naik seiring dengan pendidikan finansial, kamu akan terjebak di kelas menengah,” ujarnya.
Salah satu cara terbaik untuk investasi pendidikan finansial adalah melalui buku. Hal paling membedakan miliarder dengan orang kelas menengah adalah bagaimana memberdayakan pertanyaan serta menghadirkan informasi untuk mereka. Orang kelas menengah cenderung praktis.
Miliarder cenderung melihat situasi sulit dan bertanya mengapa hal buruk terjadi kepada saya, dan kehidupan seperti apa yang saya dapatkan dari pelajaran seperti ini. “Pertanyaan yang memberdayakan itu akan mendorong apa yang akan Anda lakukan,” ujar Smith.
Para responden dalam survei itu telah menginvestasikan aset-aset minimal USD100.000 (Rp1,4 miliar) dan lebih dari 700 orang merupakan miliarder. “Saat ditanya tentang bagaimana mereka mengklasifikasikan status ekonominya, hanya 13% responden yang menganggap dirinya kaya,” papar hasil survei itu, dilansir Business Insider.
“Mayoritas (60%) mendefinisikan diri mereka sebagai kelas menengah atas, serta sekitar 25% menganggap diri mereka sebagai kelas menengah. Sekitar lebih dari 3% mengidentifikasi sebagai kelas menengah atau miskin,” ungkap hasil survei itu. Belum dapat diketahui pasti berapa juta dolar kekayaan mereka sesungguhnya.
Namun, semua dipilih berdasarkan pernyataan mereka yang mengaku memiliki lebih dari USD1 juta (Rp14 miliar) saat ditanya tentang aset yang diinvestasikan oleh rumah tangga mereka. “Realitasnya ialah bahkan orang yang telah mengumpulkan tujuh angka masih memiliki banyak tujuan keuangan, keinginan, dan kebutuhan,” papar Marcy Keckler, Vice President Strategi Saran Keuangan di Ameriprise.
“Membutuhkan perencanaan cermat bagi para investor untuk mencapai tonggak sejarah keuangan yang mereka tetapkan untuk diri mereka sendiri, bahkan bagi orang yang telah membangun sarang telur sebesar itu,” paparnya. Hasil survei ini menunjukkan bahwa di AS, memiliki uang banyak itu relatif.
Charles Schwab pada Survei Kekayaan Modern 2019 menemukan bahwa rata-rata warga AS berpikir memiliki USD2,3 juta (Rp33 miliar) di bank itu sudah kaya. Sebelumnya, survei terpisah oleh Insider dan Morning Consult menemukan bahwa beberapa warga AS yang memiliki pendapatan kurang dari USD50.000 itu sudah merasa kaya.
Adapun warga AS lainnya yang memiliki pendapatan lebih dari USD100.000 itu merasa miskin. Menurut survei itu, hampir setengah warga AS yang berpendapatan USD100.000 atau lebih diidentifikasi sebagai kelas menengah.
Semua angka itu menunjukkan bahwa kelas ekonomi di AS itu tidak hanya tentang uang. Kelas dan kekayaan tidak sama dan keduanya relatif. Beberapa orang dapat memiliki pendapatan lebih sedikit dan masih merasa kaya, dan ada orang lain yang memiliki pendapatan lebih besar dan merasa mereka masih berjuang secara ekonomi.
Merasa kaya mungkin bergantung pada lokasi. Laporan Schwab menemukan bahwa warga San Francisco berpikir memiliki rata-rata USD4 juta itu sudah kaya, sementara warga New York City berpikir menjadi kaya adalah memiliki uang USD3,2 juta.
Menjadi miliarder, pasti memiliki pola pikir yang berbeda dari kebanyakan orang. Untuk menjadi miliarder, juga dimulai dengan pola pikir. Keith Cameron Smith dalam bukunya berjudul “The Top 10 Distinctions Between Millionaires and the Middle Class,” mengungkapkan bagaimana perilaku yang membedakan antara miliarder dan orang biasa.
Orang kaya tidak berpikir hari ini. Mereka selalu berpikir tentang masa depan, beberapa tahun ke depan, dan beberapa dekade dari sekarang, bukan hitungan pekan atau bulan. Ketika seseorang memiliki pola pikir masa depan, menurut Smith, maka akan menjadikan orang tersebut semakin kaya.
Dia juga mengungkapkan miliarder juga selalu mencari kebebasan finansial jangka panjang. Salah satu hal penting dari kepribadian dari miliarder adalah kesabaran. “Orang kelas menengah itu selalu ingin gratifikasi instan,” ujar Smith. Namun, pola pikir itu harus diubah dengan menjadikan tujuan adalah kebebasan, bukan kenyamanan.
Hal menarik lainnya, ketika kelas menengah cenderung takut dengan perubahan, para miliarder justru memandang perubahan adalah sebagai kesempatan. “Permasalahannya adalah kelas menengah berasumsi perubahan adalah hal negatif sepanjang waktu,” kata Smith. Dia menjelaskan, miliarder berasumsi bahwa semua perubahan itu baik positif maupun negatif selalu menguntungkan mereka.
Belajar untuk menyambut perubahan, maka orang juga harus menyambut kepercayaan diri. “Kepercayaan diri itu harus dibentuk dengan persiapan dan kerja keras,” ujarnya. Dia menjelaskan bahwa kepercayaan diri adalah hasil kerja sendiri yang menguntungkan dirinya.
Hal menarik lainnya adalah miliarder tidak pernah berhenti belajar. Mereka akan selalu membaca buku, meskipun bukan seluruh buku di perpustakaan. Miliarder beranggapan bahwa belajar tidak akan berhenti ketika sudah wisuda. “Sukses adalah proses,” kata Smith. “Jika persentase dari pendapatanmu tidak naik seiring dengan pendidikan finansial, kamu akan terjebak di kelas menengah,” ujarnya.
Salah satu cara terbaik untuk investasi pendidikan finansial adalah melalui buku. Hal paling membedakan miliarder dengan orang kelas menengah adalah bagaimana memberdayakan pertanyaan serta menghadirkan informasi untuk mereka. Orang kelas menengah cenderung praktis.
Miliarder cenderung melihat situasi sulit dan bertanya mengapa hal buruk terjadi kepada saya, dan kehidupan seperti apa yang saya dapatkan dari pelajaran seperti ini. “Pertanyaan yang memberdayakan itu akan mendorong apa yang akan Anda lakukan,” ujar Smith.
(don)