Polisi Inggris Bongkar Perbudakan Modern, Korbannya Capai 400 Orang
A
A
A
LONDON - Pihak kepolisian Inggris berhasil membongkar praktek perbudakan modern dengan korban mencapai 400 orang. Praktek perbudakan modern terbesar yang pernah ditemukan di negara itu terbongkar setelah pihak berwajib melakukan penyelidikan selama tiga tahun.
Para korban menghasilkan jutaan poundsterling bagi anggota geng kriminal yang dipimpin oleh keluarga kriminal asal Polandia. Sementara mereka hanya dibayar 50 poundsterling atau sekitar Rp881 ribu sehari.
Geng kriminal ini memangsa para gelandangan, mantan tahanan dan pecandu alkohol dari Polandia. Mereka menipu dan kemudian memperdagangkan para pria dan wanita yang rentan, mulai dari usia 17 tahun hingga lebih dari 60 tahun, ke Inggris dengan janji mendapatkan pekerjaan. Namun kenyataannya mereka malah hidup dalam kemelaratan dan digunakan sebagai apa yang oleh hakim digambarkan sebagai "komoditas."
Para migran ini bekerja di pertanian, pusat daur ulang sampah, dan pabrik-pabrik unggas di Midlands. Mereka dipaksa tinggal di akomodasi yang sempit dan penuh tikus serta dibatasi untuk pergi ke dapur umum dan bank makanan guna mendapatkan cukup makanan.
"Setiap kegembiraan yang tak hilang-hilang setelah perayaan peringatan dua abad ke dua belas dari penghapusan Undang-undang Perdagangan Budak Inggris ternyata salah tempat," kata Hakim Mary Stacey kepada pengadilan Birmingham.
"Kebenaran yang sulit adalah bahwa praktiknya terus berlanjut, di sini di Inggris, sering bersembunyi di depan mata," imbuhnya seperti dikutip dari The Guardian, Sabtu (6/7/2019).
Larangan pelaporan dicabut pada hari Jumat setelah berakhirnya dua persidangan dari lima pria dan tiga wanita, semuanya berasal dari Polandia, yang semuanya sekarang telah dihukum karena pelanggaran perbudakan modern dan pencucian uang.
Konspirasi para pelaku - yang berlangsung dari Juni 2012 hingga Oktober 2017 - digambarkan oleh Stacey sebagai jaringan perbudakan modern paling ambisius, luas dan produktif yang pernah ditemukan di Inggris. Penyelidik kasus ini adalah penuntutan pidana terbesar dari jenisnya di Eropa sampai saat ini.
Investigasi diluncurkan pada Februari 2015 oleh polisi West Midlands setelah para korban diidentifikasi oleh badan amal anti-perbudakan, Hope for Justice. Lima puluh satu korban akhirnya melakukan kontak setelah upaya penjangkauan di dua pusat penampungan amal.
Seorang korban mengaku dibawa ke Inggris pada tahun 2014 setelah anggota geng mendekatinya di sebuah stasiun bus dengan janji untuk bekerja di Inggris setelah ia baru saja dibebaskan dari penjara. Ia mengaku dikurung di penjara Polandia masih lebih baik daripada kondisi yang membuatnya terpaksa bertahan.
Mirosław Lehmann (38) berasal dari Poznan, mengatakan dia tidak punya tempat lain untuk pergi dan ingin memulai kehidupan baru. Setelah tiba, ia dan yang lainnya mengalami kondisi hidup yang jorok, dengan hingga empat orang di sebuah kamar di rumah-rumah yang tersebar di Black Country di West Midlands.
Dia terpaksa melakukan pekerjaan renovasi rumah, dekorasi, mengecat dinding, membersihkan kebun dan memotong rumput, bekerja hingga 13 jam sekaligus.
"Pembayaran" apa pun yang diperolehnya disunat oleh para gangster, yang mengatakan kepadanya bahwa uang tunai telah dibayarkan untuk membawanya ke Inggris.
Kebrutalan adalah hal yang lumrah dan dalam beberapa kasus para korban akan dibawa ke kasir untuk menarik uang dan diberi tahu bahwa mereka berhutang atas biaya transportasi, sewa dan makanan.
Ketika seorang pekerja meninggal karena sebab alami di sebuah alamat yang dikendalikan oleh geng, salah satu pemimpinnya memerintahkan kartu identitas dan barang pribadinya dikeluarkan dari sakunya sebelum paramedis tiba.
"Sementara para korban tidak pernah bisa mendapatkan kembali apa yang diambil oleh para penyelundup dari mereka - secara finansial, emosional, fisik dan psikologis - kami berharap bahwa pengetahuan para pelaku kekerasan sekarang di balik jeruji akan membantu mereka saat mereka lanjutkan hidup mereka," ucap Kepala eksekutif Hope for Justice, Ben Cooley.
Banyak dari mereka yang selamat yang dibantu oleh badan amal itu sekarang bekerja, bahkan mereka mampu membawa keluarganya untuk tinggal di Inggris.
Para korban menghasilkan jutaan poundsterling bagi anggota geng kriminal yang dipimpin oleh keluarga kriminal asal Polandia. Sementara mereka hanya dibayar 50 poundsterling atau sekitar Rp881 ribu sehari.
Geng kriminal ini memangsa para gelandangan, mantan tahanan dan pecandu alkohol dari Polandia. Mereka menipu dan kemudian memperdagangkan para pria dan wanita yang rentan, mulai dari usia 17 tahun hingga lebih dari 60 tahun, ke Inggris dengan janji mendapatkan pekerjaan. Namun kenyataannya mereka malah hidup dalam kemelaratan dan digunakan sebagai apa yang oleh hakim digambarkan sebagai "komoditas."
Para migran ini bekerja di pertanian, pusat daur ulang sampah, dan pabrik-pabrik unggas di Midlands. Mereka dipaksa tinggal di akomodasi yang sempit dan penuh tikus serta dibatasi untuk pergi ke dapur umum dan bank makanan guna mendapatkan cukup makanan.
"Setiap kegembiraan yang tak hilang-hilang setelah perayaan peringatan dua abad ke dua belas dari penghapusan Undang-undang Perdagangan Budak Inggris ternyata salah tempat," kata Hakim Mary Stacey kepada pengadilan Birmingham.
"Kebenaran yang sulit adalah bahwa praktiknya terus berlanjut, di sini di Inggris, sering bersembunyi di depan mata," imbuhnya seperti dikutip dari The Guardian, Sabtu (6/7/2019).
Larangan pelaporan dicabut pada hari Jumat setelah berakhirnya dua persidangan dari lima pria dan tiga wanita, semuanya berasal dari Polandia, yang semuanya sekarang telah dihukum karena pelanggaran perbudakan modern dan pencucian uang.
Konspirasi para pelaku - yang berlangsung dari Juni 2012 hingga Oktober 2017 - digambarkan oleh Stacey sebagai jaringan perbudakan modern paling ambisius, luas dan produktif yang pernah ditemukan di Inggris. Penyelidik kasus ini adalah penuntutan pidana terbesar dari jenisnya di Eropa sampai saat ini.
Investigasi diluncurkan pada Februari 2015 oleh polisi West Midlands setelah para korban diidentifikasi oleh badan amal anti-perbudakan, Hope for Justice. Lima puluh satu korban akhirnya melakukan kontak setelah upaya penjangkauan di dua pusat penampungan amal.
Seorang korban mengaku dibawa ke Inggris pada tahun 2014 setelah anggota geng mendekatinya di sebuah stasiun bus dengan janji untuk bekerja di Inggris setelah ia baru saja dibebaskan dari penjara. Ia mengaku dikurung di penjara Polandia masih lebih baik daripada kondisi yang membuatnya terpaksa bertahan.
Mirosław Lehmann (38) berasal dari Poznan, mengatakan dia tidak punya tempat lain untuk pergi dan ingin memulai kehidupan baru. Setelah tiba, ia dan yang lainnya mengalami kondisi hidup yang jorok, dengan hingga empat orang di sebuah kamar di rumah-rumah yang tersebar di Black Country di West Midlands.
Dia terpaksa melakukan pekerjaan renovasi rumah, dekorasi, mengecat dinding, membersihkan kebun dan memotong rumput, bekerja hingga 13 jam sekaligus.
"Pembayaran" apa pun yang diperolehnya disunat oleh para gangster, yang mengatakan kepadanya bahwa uang tunai telah dibayarkan untuk membawanya ke Inggris.
Kebrutalan adalah hal yang lumrah dan dalam beberapa kasus para korban akan dibawa ke kasir untuk menarik uang dan diberi tahu bahwa mereka berhutang atas biaya transportasi, sewa dan makanan.
Ketika seorang pekerja meninggal karena sebab alami di sebuah alamat yang dikendalikan oleh geng, salah satu pemimpinnya memerintahkan kartu identitas dan barang pribadinya dikeluarkan dari sakunya sebelum paramedis tiba.
"Sementara para korban tidak pernah bisa mendapatkan kembali apa yang diambil oleh para penyelundup dari mereka - secara finansial, emosional, fisik dan psikologis - kami berharap bahwa pengetahuan para pelaku kekerasan sekarang di balik jeruji akan membantu mereka saat mereka lanjutkan hidup mereka," ucap Kepala eksekutif Hope for Justice, Ben Cooley.
Banyak dari mereka yang selamat yang dibantu oleh badan amal itu sekarang bekerja, bahkan mereka mampu membawa keluarganya untuk tinggal di Inggris.
(ian)