7 Pemimpin Dunia Paling Korup dalam Sejarah Baru
A
A
A
ADA pepatah lama "absolute power corrupts absolutely". Pepatah itu menggambarkan kekuasaan ablsolut identik dengan pemerintahan korup.
Praktik kotor semacam itu tak bisa berjalan mulus tanpa kekuatan politik yang dimiliki pemegang kekuasaan atau rezim.
Integritas360, sebuah korporasi sosial global yang membantu badan amal dan NGO/NFP yang mengampanyekan perlawanan korupsi, pernah merilis daftar sepuluh pemimpin dunia dalam sejarah baru. Data itu ditulis kepala eksekutifnya, Jeremy Sandbrook.
Sandbrook dikenal memberikan kuliah di University of Sydney’s Centre for Continuing Education perihal korupsi di dunia. Hal yang menarik dari daftar pemimpin terkorup di dunia yang dia tulis adalah menempatkan Presiden kedua Republik Indonesia (RI) Muhammad Soeharto di urutan pertama.
Dalam rangka menyambut ulang tahun ke-7, SINDOnews.com menyuguhkan ulasan daftar tujuh pemimpin dunia paling korup dalam sejarah baru. Data ini mengutip tulisan Sandbrook yang berjudul "The 10 Most Corrupt World Leaders of Recent History". Sumber peringkat ini berasal dari berbagai artikel, termasuk sumber utama dari data Stolen Asset Recovery (StAR) Initiative—didirikan oleh Kelompok Bank Dunia dan Kantor PBB untuk Obat-obatan dan Kejahatan (UNODC) pada 2007—dan Transparency International.
Berikut ringkasan tujuh pemimpin dunia paling korup dalam sejarah baru mengacu dari data tersebut;
1. Muhammad Soeharto
Foto/REUTERS
Presiden Indonesia dari 1967 hingga 1998
Jumlah Pengumpulan Kekayaan: USD15 miliar hingga USD35 miliar
Soeharto adalah presiden kedua Republik Indonesia. Dia meraih kendali atas pemerintah pada tahun 1967, yakni setelah kudeta gagal dari kubu politik sayap kiri yang kala itu adalah Partai Komunis Indonesia (PKI). Sejak itu dia memerintah selama 31 tahun ke depan.
Kebijakan "Orde Baru" Soeharto—diimplementasikan segera setelah kekuasaan diperoleh—dibangun di atas pemerintah yang kuat dan terpusat yang didominasi militer, yang menjadi kritis dalam mempertahankan negara yang beragam, stabil, dan luas dengan lebih dari 13.000 pulau. Pemerintah Soeharto dikenal dengan sikap anti-Komunis yang kuat dan dukungan diplomatik ekonomi dari Barat. Pertumbuhan ekonomi yang cepat dan berkelanjutan serta secara dramatis meningkatkan mutu kesehatan, pendidikan, dan standar kehidupan, menjamin Soeharto populer di dalam negeri.
Antara 1965 hingga 1996, GNP Indonesia rata-rata 6,7 persen per tahun, dengan PDB meningkat dari USD806 menjadi USD4.114 per kapita. Pada tahun 1997, tingkat kemiskinan Indonesia telah turun menjadi 11 persen (dari 45 persen pada tahun 1970), usia harapan hidup 67 tahun (naik dari 47 tahun pada tahun 1966), kematian bayi telah berkurang lebih dari 60 persen, dan Indonesia kala itu mencapai swasembada beras. Swasembada beras itulah yang membuat Soeharto mendapatkan medali emas dari FAO.
Namun, pada pertengahan 1990-an, otoriterisme dan korupsi yang berkembang meluas telah menebarkan benih ketidakpuasan. Pada tahun 1970-an dan 1980-an ketidakpuasan publik semakin berembus. Dugaan KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) terjadi di mana-mana.
Menurut ulasan Sandbrook, rezim Soeharto menggunakan sistem patronase untuk memastikan kesetiaan dan mengumpulkan kekayaan antara USD15 miliar hingga USD35 miliar. Rezimnya menjalankan monopoli atas nama negara. Kontrak eksklusif dan keringanan pajak khusus diberikan kepada perusahaan yang dimiliki oleh anak-anak, anggota keluarga, dan teman dekat. Banyak organisasi memasukkan berbagai kegiatan bisnis, karena itu adalah satu-satunya cara untuk meredam "ketidakpastian" yang disebabkan oleh birokrasi. Sebagai imbalannya, pembayaran balik dan pembayaran "upeti" (biasanya sumbangan amal) dilakukan kepada lusinan yayasan yang diawasi oleh Soeharto.
Meskipun diciptakan untuk membantu pembangunan sekolah dan rumah sakit pedesaan, organisasi-organisasi itu secara efektif berfungsi sebagai celengan pribadi Presiden. Menyumbangkan jutaan ke yayasan menjadi bagian dari biaya melakukan bisnis di Indonesia, dengan lembaga keuangan diharuskan untuk menyumbang 2,5 persen dari keuntungan tahunan mereka setiap tahun.
Menurut Robert Elson, penulis biografi Soeharto: "Korupsi adalah waralaba yang dikelola dengan baik, seperti McDonald's atau Subway...Semua orang tahu berapa banyak yang harus Anda bayar dan kepada siapa. Soeharto tidak menemukan kedalaman dan luasnya korupsi. Apa yang dia lakukan adalah mengelolanya pada skala yang belum pernah bisa dilakukan sebelumnya."
Pada tahun 1998, lembaga keuangan Indonesia berada di ambang kehancuran ekonomi. Ketidakpuasan yang meningkat menyebabkan kerusuhan dan memaksa demonstrasi Soeharto untuk mengundurkan diri. Dua tahun kemudian dia didakwa menyalahgunakan USD550 juta dari tujuh badan amal yang dikendalikannya sebagai presiden, dan untuk sementara menjadi tahanan rumah. Dia pernah diadili secara in absentia karena kondisinya saat itu sakit. Akhirnya, pada Juli 2007, tuntutan perdata senilai USD1,5 miliar diajukan terhadap Soeharto. Kasus itu tidak pernah terdengar kemudian.
Pengembalian aset: Pada tahun 2010, pemerintah Indonesia melakukan tindakan pengambilan aset keluarga Soeharto senilai USD307,4 juta.
2. Ferdinand Marcos
Foto/CBS News
Presiden Filipina dari 1965 hingga 1986
Jumlah Pengumpulan Kekayaan: USD5 miliar hingga $ 10 miliar
Presiden Marcos dari Filipina mengklaim sebagai "pahlawan perang yang paling disegani" di negara itu. Klaim atau gelar itu telah didiskreditkan, dengan hanya 3 dari 27 medali yang ia klaim telah diberikan selama Perang Dunia Kedua terbukti benar.
Ferdinand Marcos terpilih sebagai Presiden ke-10 Filipina pada tahun 1965. Pada bulan September 1972, di tengah-tengah masa jabatannya yang kedua, kekhawatiran pengambilalihan komunis mengakibatkan Marcos membubarkan Kongres dan menyatakan darurat militer. Langkh itu membuatnya tetap berkuasa selama satu dekade berikutnya. Dia akhirnya digulingkan oleh "People Power Revolution" pada Februari 1986, dan melarikan diri ke Amerika Serikat, tempat dia tinggal di pengasingan sampai kematiannya di Hawaii tiga setengah tahun kemudian.
Selama 21 tahun berkuasa, Filipina menjadi salah satu negara yang paling berutang di Asia. Utang luar negeri meningkat dari USD360 juta (tahun 1962) menjadi USD28 miliar (pada tahun 1986). Upah turun sekitar sepertiga, dan jumlah orang yang hidup di bawah garis kemiskinan hampir dua kali lipat (dari 18 juta menjadi 35 juta).
Selama periode yang sama, Marcos diduga telah menggelapkan uang negara antara USD5 miliar hingga USD10 miliar. Menurut Bank Dunia, sebagian besar kekayaan ini diakumulasikan melalui enam saluran utama; pengambilalihan perusahaan swasta besar; penciptaan monopoli milik negara di sektor-sektor utama ekonomi; pemberian pinjaman pemerintah kepada individu swasta yang bertindak sebagai front untuk Marcos atau rekannya; secara langsung merampok perbendaharaan negara dan lembaga keuangan pemerintah lainnya; sogokan dan komisi dari perusahaan yang bekerja di Filipina; serta menilap bantuan asing dan bentuk-bentuk bantuan internasional lainnya.
Hasil pencucian dicuci melalui perusahaan, kemudian diinvestasikan dalam real estate di Amerika Serikat; atau disetorkan ke berbagai institusi perbankan domestik dan luar negeri, menggunakan nama samaran, rekening bernomor dan nama kode.
Dikenal karena kehidupan mewahnya, inventaris aset yang tersisa di Istana Malacanang di Manila diambil segera setelah pengasingannya, yang mencakup lebih dari seribu pasang sepatu milik Ibu Negara, 888 tas tangan, 71 pasang kacamata hitam dan 65 payung. Pada saat kedatangan mereka di Amerika Serikat, perhiasan, yang sekarang bernilai lebih dari USD21 juta, disita oleh Biro Pabean AS dan dikembalikan ke Filipina. Saat ini perhiasan itu sedang digunakan sebagai "pameran virtual" dalam kampanye anti-korupsi online, dan pemerintah Filipina berencana untuk melelangnya.
Ibu Negara Imelda Marcos dinyatakan bersalah atas tuduhan korupsi pada pertengahan 1990-an dan dijatuhi hukuman minimal 12 tahun penjara. Hukuman itu dibatalkan setelah pihaknya mengajukan banding. Meski Marcos digulingkan, beberapa anaknya masih dibolehkan naik ke panggung politik dan berkuasa sebagai kepala daerah.
Pengembalian aset: Sejak didirikan pada tahun 1986, The Presidential Commission on Good Government (PCGG), sebuah lembaga yudisial yang didirikan untuk memulihkan kekayaan yang diperoleh selama rezim Marcos, telah berhasil merebut aset sekitar USD3,6 miliar. Aset yang disita dari keluarga Marcos itu termasuk USD688 juta yang dikembalikan oleh Swiss pada tahun 2004.
3. Mobutu Sese Seko
Foto/Public Radio International
Presiden Zaire atau Republik Demokratik Kongo (DRC) dari 1965 hingga 1997
Jumlah Pengumpulan Kekayaan: USD4 miliar hingga USD5 miliar
Presiden Mobutu berasal dari Zaire. Dia produk pendidikan sekolah misionaris. Dia juga dikenal dengan nama panjang Mobutu Sese Seko Koko Ngbendu wa za Banga.
Selama Krisis Kongo 1960, ia memimpin kudeta yang menggulingkan Patrice Lumumba, pemimpin pertama yang dipilih secara demokratis di negara itu. Sebagai imbalannya, ia diangkat sebagai panglima angkatan bersenjata.
Kurang dari lima tahun kemudian dia memimpin kudeta kedua, mengangkat dirinya sebagai Presiden. Dia kemudian memerintah negara itu selama hampir sepertiga abad.
Mobutu dijuluki sebagai "Orang Besar" asli Afrika. Dia mengkonsolidasikan dan mempertahankan kekuasaan dengan menciptakan jaringan perlindungan yang luas. Rezimnya dibangun di atas eksploitasi kekayaan mineral yang sangat besar di negara itu. Dia memanfaatkan itu untuk secara efektif menggagalkan kekuatan oposisi. Korupsi pemerintah endemik, salah urus, dan penelantaran selama beberapa tahun, menyebabkan hiperinflasi 4.000 persen pada tahun 1991, utang luar negeri yang besar, dan devaluasi mata uang yang masif. Kerusuhan sipil pun pecah.
Di tengah semua itu, Mobutu berhasil menjadi pengumpul kekayaan pribadi terbesar di dunia. Jumlah kekayaan pribadi tidak pernah diketahui, namun dia dituduh telah menggelapkan antara USD4 miliar hingga USD5 miliar, jumlah yang hampir setara dengan utang luar negeri negara itu pada saat itu dipaksa untuk default pada pinjaman internasional pada tahun 1989. Ketika berkuasa dia memiliki koki kue terkemuka dunia, Gaston Lenôtre, yang diterbangkan dari Paris oleh Concorde untuk secara pribadi mengirimkan kue ulang tahunnya.
Meskipun tidak dimaafkan di depan umum, korupsi begitu sistemik di bawah Mobutu, sehingga pada satu tahap dia memberi tahu delegasi partai; "Jika Anda mencuri, jangan mencuri terlalu banyak pada suatu waktu. Anda mungkin ditangkap...Yibana mayele—Curi dengan cerdik, sedikit demi sedikit!"
Berpegang teguh pada kekuasaan selama 32 tahun, Mobutu membuktikan dirinya mahir dalam mempertahankan pemerintahan dalam menghadapi pemberontakan internal, invasi eksternal, dan upaya kudeta. Dia akhirnya melepaskan kekuasaan pada Mei 1996, setelah pemberontakan yang dipimpin oleh Laurent Kabila. Hanya dalam waktu tiga minggu, pemberontakan berubah menjadi pemberontakan politik skala penuh. Mobutu, yang sudah sakit parah, melarikan diri ke Togo dan kemudian ke Maroko, di mana ia meninggal karena kanker prostat pada tahun berikutnya.
Selain dari gelar sebagai penguasa paling korup di Afrika, Mobutu terkenal karena perannya dalam menjadi tuan rumah pertarungan gelar juara dunia kelas berat antara Muhammad Ali dan George Foreman, di Kinshasa pada Oktober 1974. Dikenal sebagai "Rumble in the Jungle", masing-masing petinju atau petarung dibayar USD5 juta untuk penampilan mereka.
Pengembalian aset: Telah ada pembicaraan tentang jaringan kompleks perusahaan Cayman Islands yang diduga miliknya. Mobutu juga memiliki beberapa rekening bank Swiss. Pada 2009, Swiss membekukan aset Mobutu senilai USD6,68 juta, yang mengakhiri upaya 12 tahun yang gagal untuk memulangkan dana ke Republik Demokratik Kongo (DRC). Lamanya pemulangan dana negara itu karena kurangnya "kerja sama" dari pemerintah DRC, di mana Wakil Perdana Menteri DRC adalah salah satu putra Mobutu. Kurangnya "kerja sama" tersebut, dana dari Swiss dilaporkan diserahkan kembali ke keluarga Mobutu.
4. Sani Abacha
Foto/REUTERS
Presiden Nigeria dari 1993 hingga 1998
Jumlah Pengumpulan Kekayaan: USD2 miliar hingga USD5 miliar
Presiden Sani Abacha awalnya adalah tentara Nigeria yang kemudian menjadi jenderal. Sani Abacha memimpin kudeta militer kesembilan negara itu sejak kemerdekaannya, ketika ia menggulingkan pemerintahan transisi Ernest Shonekanon pada Agustus 1993.
Dia menjadi kepala militer ketujuh. Dia dikenal sebagai penghasut kudeta serial, setelah sebelumnya memainkan peran kunci dalam kudeta balasan 1966, kudeta 1983 dan kudeta 1985.
Setahun setelah mengambil alih kekuasaan, dia mengeluarkan dekrit yang menempatkan pemerintahannya di atas yurisdiksi pengadilan, sebuah langkah yang memberinya kekuasaan absolut. Didukung oleh Unit Pengawal Khusus, yakni angkatan bersenjata antara 2.000 hingga 3.000 pasukan yang bermarkas di vila presiden, Abacha membersihkan militer, melarang kegiatan politik, dan mengambil kendali pers.
Meskipun terjadi pelanggaran HAM yang mengerikan, dari perspektif ekonomi, pemerintahan lima tahun Abacha adalah sebuah keajaiban. Utang luar negeri berkurang dari USD36 miliar menjadi USD27 miliar, cadangan devisa meningkat dari USD494 juta menjadi USD9,6 miliar, dan inflasi dipangkas dari 54 persen menjadi 8,5 persen.
Meski masih diselimuti misteri, kekuasaan Abacha terputus ketika dia meninggal karena serangan jantung pada 8 Juni 1998. Selama lima tahun berkuasa, dia dan keluarganya diduga menggelapkan dana negara antara USD3 miliar dan USD5 miliar. Menurut Bank Dunia, sebagian dari kekayaan ini diperoleh melalui suap yang dibayarkan oleh perusahaan asing yang melakukan bisnis di Nigeria, dan sebagian dicuri langsung dari Bank Sentral negara tersebut. Dana tersebut dicuci melalui jaringan perusahaan di beberapa yurisdiksi, sebelum disetor ke rekening bank yang dikontrol oleh Abacha dan keluarganya di Swiss, Luxemburg, Liechtenstein, Jersey dan Bahama.
Pengembalian aset: Pengembalian kekayaan Abacha tetap menjadi salah satu yang paling beragam dari semua pemimpin dunia dalam daftar ini. Sebagai imbalan untuk membatalkan penuntutan pidana pada tahun 2002, keluarga Abacha setuju untuk mengembalikan USD1,2 miliar yang diambil dari Bank Sentral. Jersey mengembalikan USD160 juta pada tahun yang sama. Langkah itu diikuti oleh Swiss, yang pada Juni 2006 setuju untuk memulangkan USD 505 juta. Ironisnya, menurut kelompok advokasi Swiss dan Nigeria, sekitar setengah dari jumlah dana yang dikembalikan itu diduga dicuri ulang oleh pejabat korup.
Setelah jeda lima tahun, Jersey mengembalikan USD36 juta dan Liechtenstein USD225 juta setelah proses pengadilan yang panjang. Pada Agustus 2014, setoran bank terkait Abacha senilai USD480 juta dibekukan oleh Departemen Kehakiman Amerika Serikat, yang tercatat sebagai penyitaan terbesar dalam sejarah agensi tersebut. Swiss juga mengembalikan lagi kembali USD380 juta setahun kemudian.
5. Zine el-Abidiene Ben Ali
Foto/REUTERS
Presiden Tunisia dari 1987 hingga 2011
Jumlah Pengumpulan Kekayaan: USD1,0 miliar hingga USD2,6 miliar
Presiden Zine el-Abidiene Ben Ali berkuasa pada November 1987, setelah menggulingkan Presiden Habib Bourguiba dalam kudeta tak berdarah. Sejak itu dia berkuasa selama 23 tahun, dengan "dipilih kembali" dengan setiap periode.
Di bawah pemerintahan Ben Ali, PDB Tunisia tumbuh rata-rata hampir 5 persen selama 20 tahun, dengan PDB per kapita naik tiga kali lipat dari USD1,201 pada tahun 1986 menjadi USD3,786 pada tahun 2008. Begitu menakjubkan pertumbuhannya, pada tahun 2009, sebuah laporan Boston Consulting Group mendaftarkan negara itu sebagai salah satu "Singa" Afrika.
Reformasi Ben Ali mengurangi separuh tingkat kemiskinan negara itu dari 7,4 persen pada tahun 1990 menjadi sekitar 3,8 persen pada tahun 2005. Namun, sejak itu pengangguran meningkat terutama di kalangan kaum muda. Parahnya, warga miskin pedesaan dan perkotaan kehilangan hak pilihnya, dan penindasan terjadi secara berkelanjutan.
Hal itu menyebabkan meningkatnya keresahan. Situasi menjadi memuncak pada 18 Desember 2010, ketika Mohamed Bouazizi (penjual buah berusia 26 tahun) membakar dirinya setelah dihina oleh polisi setempat. Kejadian itu disebut-sebut salah satu pemiu "Arab Spring", sebuah gelombang demonstrasi dan protes di seluruh negeri, dan dalam waktu satu bulan Ben Ali dan istrinya meninggalkan negara itu.
Ben Ali dan istrinya ditolak ketika mencari tempat perlindungan di Prancis. Mereka akhirnya ditawari suaka di Arab Saudi.
Menurut laporan penelitian Bank Dunia 2015, keluarga Ben Ali dan anggota lingkaran dalamnya dituduh menipu negara antara USD1 miliar hingga USD2,6 miliar selama periode tujuh tahun. Pada satu tahap diperkirakan bahwa orang dalam yang istimewa meraup 21 persen dari semua keuntungan sektor swasta Tunisia, sebagian besar melalui perampasan ilegal aset nasional dan menilap kekayaan dari sebagian besar sektor ekonomi negara.
Setelah lengsernya Ben Ali, penyelidikan atas kekayaannya mengakibatkan pemerintah baru menyita aset 114 anggota Klan Ben Ali, termasuk Ben Ali sendiri. Barang-barang yang disita termasuk 550 properti, 48 kapal, 40 portofolio saham, 367 rekening bank, dan lebih dari 400 perusahaan. Total nilai gabungan dari aset-aset ini adalah sekitar USD13 miliar, lebih dari seperempat dari PDB Tunisia 2011.
Pada Juni 2011, Ben Ali dan istrinya; Leila Trabelsi, dihukum oleh pengadilan Tunisia secara in absentia atas tuduhan pencurian dan kepemilikan uang serta perhiasan yang melanggar hukum dan dijatuhi hukuman 35 tahun penjara. Leila melarikan diri dari Tunisia dengan membawa lebih dari satu setengah ton emas senilai USD50 juta). surat perintah penangkapan internasional pernah dikeluarkan untuk Ben Ali. Namun, Arab Saudi secara konsisten menolak permintaan Tunisia untuk mengekstradisi dia.
Dalam sebuah dramatis, pemerintah Tunisia memicu kontroversi ketika mereka mengajukan rancangan Undang-Undang Rekonsiliasi Nasional pada Juni 2015. Langkah itu membuka jalan bagi potensi pemberian amnesti. Langkah itu mengikuti keputusan oleh pengadilan Tunisia untuk membatalkan putusan tahun 2011 yang telah menyita aset Ben Ali dan keluarganya, dan memerintahkan agar aset dikembalikan.
Pengembalian aset: Hingga saat ini, dana sejumlah USD68,8 juta telah dikembalikan, yakni USD28,8 juta dari Lebanon—merupakan hasil dari rekening bank yang dimiliki atas nama istri Ben Ali—dan USD40 juta dari Swiss. Terlepas dari ini, ada kasus pemulihan aset yang tertunda di Swiss USD28,5 juta dan Kanada USD2,6 juta.
6. Slobodan Milosevic
Foto/REUTERS
Presiden Serbia/Yugoslavia dari 1989 hingga 2000
Jumlah Pengumpulan Kekayaan: USD1 miliar
Presiden Slobodan Milosevic menghabiskan dua periode sebagai Presiden Serbia antara 1990 hingga 1997 sebelum menjadi Presiden Republik Federal Yugoslavia. Namun, dia terkenal karena perannya dalam perang Yugoslavia, di mana ia memimpin kekacauan dan pembunuhan massal yang terjadi di Kosovo, Kroasia, dan Bosnia pada tahun 1990-an.
Pengadilan Pidana Internasional untuk bekas Yugoslavia (ICTY) kemudian mendakwanya atas kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Itu menjadi pengadilan kejahatan perang internasional pertama yang diadakan sejak Pengadilan Militer Internasional 1945 yang diadakan di Nuremberg dan Tokyo.
Setelah pemilihan presiden 2000 yang disengketakan, Milosevic mengundurkan diri dari kepresidenannya. Dia kemudian ditangkap oleh pihak berwenang dan didakwa melakukan korupsi, penyalahgunaan kekuasaan dan penggelapan. Ketika penyelidikan tersendat karena kurangnya bukti, dia diekstradisi ke Den Haag untuk menghadapi tuduhan ICTY. Membela dirinya sendiri, Milosevic menolak untuk mengakui legitimasi pengadilan, karena belum diamanatkan oleh Majelis Umum PBB.
Menurut Washington Post, bukti awal yang ditemukan oleh investigasi bersama oleh Yugoslavia, Departemen Keuangan AS dan kepala penuntut kejahatan perang PBB, menyatakan bahwa Milosevic, keluarganya dan jaringan hingga 200 pengusaha dan politisi yang setia, telah melakukan penggelapan beberapa miliar dolar dana publik untuk kepentingan pribadi. Bank sentral Yugoslavia berspekulasi bahwa sebanyak USD4 miliar telah diambil, di mana jumlah tersebut termasuk dana yang diperkirakan telah digunakan untuk menjaga Serbia tetap bertahan menjalani satu dekade sanksi ekonomi PBB. Meskipun demikian, orang dalam—termasuk kerabat dekat Milosevic—diyakini telah mencuci ratusan juta dolar melalui puluhan perusahaan Siprus, dengan jejak menunjuk ke Swiss, Yunani, Prancis, Jerman, Italia, Libanon, Israel, Rusia, China, Inggris, Liechtenstein dan Afrika Selatan.
Dalam kasus tunggal terbesar yang diselidiki, para pejabat Yugoslavia berusaha melacak hasil dari penjualan perusahaan telepon seluler milik negara PTT Serbia ke konsorsium perusahaan telepon Italia dan Yunani. Perusahaan dijual dengan harga sekitar USD1 miliar, di mana USD200 juta tidak pernah disetor ke rekening negara, dan USD350 juta lainnya diduga masuk ke perusahaan yang dikendalikan oleh teman-teman Milosevic.
Milosevic meninggal karena serangan jantung pada Maret 2006, sebelum persidangan dapat disimpulkan.
Pengembalian aset: Terlepas dari jumlah yang diduga dicuri, tidak ada kasus pemulihan aset yang tercatat.
7. Jean-Claude Duvalier
Foto/REUTERS
Presiden Haiti dari 1971 hingga 1986
Jumlah Pengumpulan Kekayaan: USD300 juta hingga USD800 juta
Presiden Jean-Claude "Baby Doc" Duvalier mewarisi kepresidenan Haiti ketika berusia 19 tahun setelah kematian ayahnya François "Papa Doc" Duvalier, pada bulan April 1971.
Dia melaksanakan sejumlah reformasi yang diminta oleh sekutu kunci Haiti; Amerika Serikat. Kendati demikian, dia mempertahankan alat teror ayahnya—termasuk Tontons Macoutes yang terkenal dan menambahkan sejumlah teknik baru untuk menilap ratusan juta dolar dari kas negara yang sudah miskin.
Pada tahun "Baby Doc" mengambil alih kekuasaan, Departemen Perdagangan AS melaporkan bahwa 64 persen dari pendapatan pemerintah telah disalahgunakan, dengan jutaan dolar dialihkan untuk pengeluaran "ekstra", termasuk setoran yang dibuat untuk rekening bank "Baby Doc" di Swiss. Selama 15 tahun pemerintahannya, Duvalier dan kroni-kroninya diduga mengumpulkan antara USD300 juta hingga USD800 juta. Pada 1980, IMF memberi Haiti bantuan USD22 juta. Bantuan itu diduga ditilap, dengan USD16 juta mengalir ke keluarga Duvalier dan sisanya ke Tonton Macoutes.
Dua tahun kemudian, ketika Meksiko memasok minyak ke negara itu sebesar USD11 juta, para perantara rezim berusaha untuk memotong sanksi internasional dan menjualnya ke rezim apartheid Afrika Selatan. Dalam skema uang lain, darah dibeli dari donor Haiti dengan harga USD5 per liter dan dijual ke Amerika dengan harga USD35 per liter. Duvalier juga menghasilkan jutaan dari keterlibatan dalam perdagangan narkotika, serta dalam penjualan bagian tubuh. Pasar mayat berkembang di mana pada satu titik terjadi "kekurangan pasokan" yang menyebabkan rezim menyerbu panti jenazah untuk mendapatkan mayat.
Pada tahun 1985, setelah referendum yang didukung oleh 99,9 persen populasi, Duvalier diangkat menjadi presiden seumur hidup. Meskipun demikian, dia digulingkan oleh pemberontakan rakyat pada tahun berikutnya dan melarikan diri ke Prancis, di mana ia tinggal di pengasingan yang dipaksakan sendiri selama 25 tahun ke depan. Dia tiba-tiba kembali ke Haiti pada tahun 2011, dan segera ditangkap dan didakwa melakukan korupsi dan penggelapan. Dia merasa tidak bersalah, dan kasusnya tidak pernah terdengar lagi hingga akhirnya Duvalier meninggal karena serangan jantung di vilanya di perbukitan yang menghadap ke Port-au-Prince pada Oktober 2014 atau di usianya yang ke-63 tahun.
Pengembalian aset: Terlepas dari kasus yang diajukan banding di Swiss sebesar USD6,5 juta, satu-satunya kasus terkait pemulihan aset yang dicatat adalah proses panjang yang melibatkan aset Duvalier yang diadakan atas nama Yayasan Brouilly. Berbasis di Liechtenstein, Brouilly Foundation dimiliki oleh perusahaan yang berbasis di Panama, yang pada gilirannya dimiliki oleh anggota keluarga Duvalier.
Praktik kotor semacam itu tak bisa berjalan mulus tanpa kekuatan politik yang dimiliki pemegang kekuasaan atau rezim.
Integritas360, sebuah korporasi sosial global yang membantu badan amal dan NGO/NFP yang mengampanyekan perlawanan korupsi, pernah merilis daftar sepuluh pemimpin dunia dalam sejarah baru. Data itu ditulis kepala eksekutifnya, Jeremy Sandbrook.
Sandbrook dikenal memberikan kuliah di University of Sydney’s Centre for Continuing Education perihal korupsi di dunia. Hal yang menarik dari daftar pemimpin terkorup di dunia yang dia tulis adalah menempatkan Presiden kedua Republik Indonesia (RI) Muhammad Soeharto di urutan pertama.
Dalam rangka menyambut ulang tahun ke-7, SINDOnews.com menyuguhkan ulasan daftar tujuh pemimpin dunia paling korup dalam sejarah baru. Data ini mengutip tulisan Sandbrook yang berjudul "The 10 Most Corrupt World Leaders of Recent History". Sumber peringkat ini berasal dari berbagai artikel, termasuk sumber utama dari data Stolen Asset Recovery (StAR) Initiative—didirikan oleh Kelompok Bank Dunia dan Kantor PBB untuk Obat-obatan dan Kejahatan (UNODC) pada 2007—dan Transparency International.
Berikut ringkasan tujuh pemimpin dunia paling korup dalam sejarah baru mengacu dari data tersebut;
1. Muhammad Soeharto
Foto/REUTERS
Presiden Indonesia dari 1967 hingga 1998
Jumlah Pengumpulan Kekayaan: USD15 miliar hingga USD35 miliar
Soeharto adalah presiden kedua Republik Indonesia. Dia meraih kendali atas pemerintah pada tahun 1967, yakni setelah kudeta gagal dari kubu politik sayap kiri yang kala itu adalah Partai Komunis Indonesia (PKI). Sejak itu dia memerintah selama 31 tahun ke depan.
Kebijakan "Orde Baru" Soeharto—diimplementasikan segera setelah kekuasaan diperoleh—dibangun di atas pemerintah yang kuat dan terpusat yang didominasi militer, yang menjadi kritis dalam mempertahankan negara yang beragam, stabil, dan luas dengan lebih dari 13.000 pulau. Pemerintah Soeharto dikenal dengan sikap anti-Komunis yang kuat dan dukungan diplomatik ekonomi dari Barat. Pertumbuhan ekonomi yang cepat dan berkelanjutan serta secara dramatis meningkatkan mutu kesehatan, pendidikan, dan standar kehidupan, menjamin Soeharto populer di dalam negeri.
Antara 1965 hingga 1996, GNP Indonesia rata-rata 6,7 persen per tahun, dengan PDB meningkat dari USD806 menjadi USD4.114 per kapita. Pada tahun 1997, tingkat kemiskinan Indonesia telah turun menjadi 11 persen (dari 45 persen pada tahun 1970), usia harapan hidup 67 tahun (naik dari 47 tahun pada tahun 1966), kematian bayi telah berkurang lebih dari 60 persen, dan Indonesia kala itu mencapai swasembada beras. Swasembada beras itulah yang membuat Soeharto mendapatkan medali emas dari FAO.
Namun, pada pertengahan 1990-an, otoriterisme dan korupsi yang berkembang meluas telah menebarkan benih ketidakpuasan. Pada tahun 1970-an dan 1980-an ketidakpuasan publik semakin berembus. Dugaan KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) terjadi di mana-mana.
Menurut ulasan Sandbrook, rezim Soeharto menggunakan sistem patronase untuk memastikan kesetiaan dan mengumpulkan kekayaan antara USD15 miliar hingga USD35 miliar. Rezimnya menjalankan monopoli atas nama negara. Kontrak eksklusif dan keringanan pajak khusus diberikan kepada perusahaan yang dimiliki oleh anak-anak, anggota keluarga, dan teman dekat. Banyak organisasi memasukkan berbagai kegiatan bisnis, karena itu adalah satu-satunya cara untuk meredam "ketidakpastian" yang disebabkan oleh birokrasi. Sebagai imbalannya, pembayaran balik dan pembayaran "upeti" (biasanya sumbangan amal) dilakukan kepada lusinan yayasan yang diawasi oleh Soeharto.
Meskipun diciptakan untuk membantu pembangunan sekolah dan rumah sakit pedesaan, organisasi-organisasi itu secara efektif berfungsi sebagai celengan pribadi Presiden. Menyumbangkan jutaan ke yayasan menjadi bagian dari biaya melakukan bisnis di Indonesia, dengan lembaga keuangan diharuskan untuk menyumbang 2,5 persen dari keuntungan tahunan mereka setiap tahun.
Menurut Robert Elson, penulis biografi Soeharto: "Korupsi adalah waralaba yang dikelola dengan baik, seperti McDonald's atau Subway...Semua orang tahu berapa banyak yang harus Anda bayar dan kepada siapa. Soeharto tidak menemukan kedalaman dan luasnya korupsi. Apa yang dia lakukan adalah mengelolanya pada skala yang belum pernah bisa dilakukan sebelumnya."
Pada tahun 1998, lembaga keuangan Indonesia berada di ambang kehancuran ekonomi. Ketidakpuasan yang meningkat menyebabkan kerusuhan dan memaksa demonstrasi Soeharto untuk mengundurkan diri. Dua tahun kemudian dia didakwa menyalahgunakan USD550 juta dari tujuh badan amal yang dikendalikannya sebagai presiden, dan untuk sementara menjadi tahanan rumah. Dia pernah diadili secara in absentia karena kondisinya saat itu sakit. Akhirnya, pada Juli 2007, tuntutan perdata senilai USD1,5 miliar diajukan terhadap Soeharto. Kasus itu tidak pernah terdengar kemudian.
Pengembalian aset: Pada tahun 2010, pemerintah Indonesia melakukan tindakan pengambilan aset keluarga Soeharto senilai USD307,4 juta.
2. Ferdinand Marcos
Foto/CBS News
Presiden Filipina dari 1965 hingga 1986
Jumlah Pengumpulan Kekayaan: USD5 miliar hingga $ 10 miliar
Presiden Marcos dari Filipina mengklaim sebagai "pahlawan perang yang paling disegani" di negara itu. Klaim atau gelar itu telah didiskreditkan, dengan hanya 3 dari 27 medali yang ia klaim telah diberikan selama Perang Dunia Kedua terbukti benar.
Ferdinand Marcos terpilih sebagai Presiden ke-10 Filipina pada tahun 1965. Pada bulan September 1972, di tengah-tengah masa jabatannya yang kedua, kekhawatiran pengambilalihan komunis mengakibatkan Marcos membubarkan Kongres dan menyatakan darurat militer. Langkh itu membuatnya tetap berkuasa selama satu dekade berikutnya. Dia akhirnya digulingkan oleh "People Power Revolution" pada Februari 1986, dan melarikan diri ke Amerika Serikat, tempat dia tinggal di pengasingan sampai kematiannya di Hawaii tiga setengah tahun kemudian.
Selama 21 tahun berkuasa, Filipina menjadi salah satu negara yang paling berutang di Asia. Utang luar negeri meningkat dari USD360 juta (tahun 1962) menjadi USD28 miliar (pada tahun 1986). Upah turun sekitar sepertiga, dan jumlah orang yang hidup di bawah garis kemiskinan hampir dua kali lipat (dari 18 juta menjadi 35 juta).
Selama periode yang sama, Marcos diduga telah menggelapkan uang negara antara USD5 miliar hingga USD10 miliar. Menurut Bank Dunia, sebagian besar kekayaan ini diakumulasikan melalui enam saluran utama; pengambilalihan perusahaan swasta besar; penciptaan monopoli milik negara di sektor-sektor utama ekonomi; pemberian pinjaman pemerintah kepada individu swasta yang bertindak sebagai front untuk Marcos atau rekannya; secara langsung merampok perbendaharaan negara dan lembaga keuangan pemerintah lainnya; sogokan dan komisi dari perusahaan yang bekerja di Filipina; serta menilap bantuan asing dan bentuk-bentuk bantuan internasional lainnya.
Hasil pencucian dicuci melalui perusahaan, kemudian diinvestasikan dalam real estate di Amerika Serikat; atau disetorkan ke berbagai institusi perbankan domestik dan luar negeri, menggunakan nama samaran, rekening bernomor dan nama kode.
Dikenal karena kehidupan mewahnya, inventaris aset yang tersisa di Istana Malacanang di Manila diambil segera setelah pengasingannya, yang mencakup lebih dari seribu pasang sepatu milik Ibu Negara, 888 tas tangan, 71 pasang kacamata hitam dan 65 payung. Pada saat kedatangan mereka di Amerika Serikat, perhiasan, yang sekarang bernilai lebih dari USD21 juta, disita oleh Biro Pabean AS dan dikembalikan ke Filipina. Saat ini perhiasan itu sedang digunakan sebagai "pameran virtual" dalam kampanye anti-korupsi online, dan pemerintah Filipina berencana untuk melelangnya.
Ibu Negara Imelda Marcos dinyatakan bersalah atas tuduhan korupsi pada pertengahan 1990-an dan dijatuhi hukuman minimal 12 tahun penjara. Hukuman itu dibatalkan setelah pihaknya mengajukan banding. Meski Marcos digulingkan, beberapa anaknya masih dibolehkan naik ke panggung politik dan berkuasa sebagai kepala daerah.
Pengembalian aset: Sejak didirikan pada tahun 1986, The Presidential Commission on Good Government (PCGG), sebuah lembaga yudisial yang didirikan untuk memulihkan kekayaan yang diperoleh selama rezim Marcos, telah berhasil merebut aset sekitar USD3,6 miliar. Aset yang disita dari keluarga Marcos itu termasuk USD688 juta yang dikembalikan oleh Swiss pada tahun 2004.
3. Mobutu Sese Seko
Foto/Public Radio International
Presiden Zaire atau Republik Demokratik Kongo (DRC) dari 1965 hingga 1997
Jumlah Pengumpulan Kekayaan: USD4 miliar hingga USD5 miliar
Presiden Mobutu berasal dari Zaire. Dia produk pendidikan sekolah misionaris. Dia juga dikenal dengan nama panjang Mobutu Sese Seko Koko Ngbendu wa za Banga.
Selama Krisis Kongo 1960, ia memimpin kudeta yang menggulingkan Patrice Lumumba, pemimpin pertama yang dipilih secara demokratis di negara itu. Sebagai imbalannya, ia diangkat sebagai panglima angkatan bersenjata.
Kurang dari lima tahun kemudian dia memimpin kudeta kedua, mengangkat dirinya sebagai Presiden. Dia kemudian memerintah negara itu selama hampir sepertiga abad.
Mobutu dijuluki sebagai "Orang Besar" asli Afrika. Dia mengkonsolidasikan dan mempertahankan kekuasaan dengan menciptakan jaringan perlindungan yang luas. Rezimnya dibangun di atas eksploitasi kekayaan mineral yang sangat besar di negara itu. Dia memanfaatkan itu untuk secara efektif menggagalkan kekuatan oposisi. Korupsi pemerintah endemik, salah urus, dan penelantaran selama beberapa tahun, menyebabkan hiperinflasi 4.000 persen pada tahun 1991, utang luar negeri yang besar, dan devaluasi mata uang yang masif. Kerusuhan sipil pun pecah.
Di tengah semua itu, Mobutu berhasil menjadi pengumpul kekayaan pribadi terbesar di dunia. Jumlah kekayaan pribadi tidak pernah diketahui, namun dia dituduh telah menggelapkan antara USD4 miliar hingga USD5 miliar, jumlah yang hampir setara dengan utang luar negeri negara itu pada saat itu dipaksa untuk default pada pinjaman internasional pada tahun 1989. Ketika berkuasa dia memiliki koki kue terkemuka dunia, Gaston Lenôtre, yang diterbangkan dari Paris oleh Concorde untuk secara pribadi mengirimkan kue ulang tahunnya.
Meskipun tidak dimaafkan di depan umum, korupsi begitu sistemik di bawah Mobutu, sehingga pada satu tahap dia memberi tahu delegasi partai; "Jika Anda mencuri, jangan mencuri terlalu banyak pada suatu waktu. Anda mungkin ditangkap...Yibana mayele—Curi dengan cerdik, sedikit demi sedikit!"
Berpegang teguh pada kekuasaan selama 32 tahun, Mobutu membuktikan dirinya mahir dalam mempertahankan pemerintahan dalam menghadapi pemberontakan internal, invasi eksternal, dan upaya kudeta. Dia akhirnya melepaskan kekuasaan pada Mei 1996, setelah pemberontakan yang dipimpin oleh Laurent Kabila. Hanya dalam waktu tiga minggu, pemberontakan berubah menjadi pemberontakan politik skala penuh. Mobutu, yang sudah sakit parah, melarikan diri ke Togo dan kemudian ke Maroko, di mana ia meninggal karena kanker prostat pada tahun berikutnya.
Selain dari gelar sebagai penguasa paling korup di Afrika, Mobutu terkenal karena perannya dalam menjadi tuan rumah pertarungan gelar juara dunia kelas berat antara Muhammad Ali dan George Foreman, di Kinshasa pada Oktober 1974. Dikenal sebagai "Rumble in the Jungle", masing-masing petinju atau petarung dibayar USD5 juta untuk penampilan mereka.
Pengembalian aset: Telah ada pembicaraan tentang jaringan kompleks perusahaan Cayman Islands yang diduga miliknya. Mobutu juga memiliki beberapa rekening bank Swiss. Pada 2009, Swiss membekukan aset Mobutu senilai USD6,68 juta, yang mengakhiri upaya 12 tahun yang gagal untuk memulangkan dana ke Republik Demokratik Kongo (DRC). Lamanya pemulangan dana negara itu karena kurangnya "kerja sama" dari pemerintah DRC, di mana Wakil Perdana Menteri DRC adalah salah satu putra Mobutu. Kurangnya "kerja sama" tersebut, dana dari Swiss dilaporkan diserahkan kembali ke keluarga Mobutu.
4. Sani Abacha
Foto/REUTERS
Presiden Nigeria dari 1993 hingga 1998
Jumlah Pengumpulan Kekayaan: USD2 miliar hingga USD5 miliar
Presiden Sani Abacha awalnya adalah tentara Nigeria yang kemudian menjadi jenderal. Sani Abacha memimpin kudeta militer kesembilan negara itu sejak kemerdekaannya, ketika ia menggulingkan pemerintahan transisi Ernest Shonekanon pada Agustus 1993.
Dia menjadi kepala militer ketujuh. Dia dikenal sebagai penghasut kudeta serial, setelah sebelumnya memainkan peran kunci dalam kudeta balasan 1966, kudeta 1983 dan kudeta 1985.
Setahun setelah mengambil alih kekuasaan, dia mengeluarkan dekrit yang menempatkan pemerintahannya di atas yurisdiksi pengadilan, sebuah langkah yang memberinya kekuasaan absolut. Didukung oleh Unit Pengawal Khusus, yakni angkatan bersenjata antara 2.000 hingga 3.000 pasukan yang bermarkas di vila presiden, Abacha membersihkan militer, melarang kegiatan politik, dan mengambil kendali pers.
Meskipun terjadi pelanggaran HAM yang mengerikan, dari perspektif ekonomi, pemerintahan lima tahun Abacha adalah sebuah keajaiban. Utang luar negeri berkurang dari USD36 miliar menjadi USD27 miliar, cadangan devisa meningkat dari USD494 juta menjadi USD9,6 miliar, dan inflasi dipangkas dari 54 persen menjadi 8,5 persen.
Meski masih diselimuti misteri, kekuasaan Abacha terputus ketika dia meninggal karena serangan jantung pada 8 Juni 1998. Selama lima tahun berkuasa, dia dan keluarganya diduga menggelapkan dana negara antara USD3 miliar dan USD5 miliar. Menurut Bank Dunia, sebagian dari kekayaan ini diperoleh melalui suap yang dibayarkan oleh perusahaan asing yang melakukan bisnis di Nigeria, dan sebagian dicuri langsung dari Bank Sentral negara tersebut. Dana tersebut dicuci melalui jaringan perusahaan di beberapa yurisdiksi, sebelum disetor ke rekening bank yang dikontrol oleh Abacha dan keluarganya di Swiss, Luxemburg, Liechtenstein, Jersey dan Bahama.
Pengembalian aset: Pengembalian kekayaan Abacha tetap menjadi salah satu yang paling beragam dari semua pemimpin dunia dalam daftar ini. Sebagai imbalan untuk membatalkan penuntutan pidana pada tahun 2002, keluarga Abacha setuju untuk mengembalikan USD1,2 miliar yang diambil dari Bank Sentral. Jersey mengembalikan USD160 juta pada tahun yang sama. Langkah itu diikuti oleh Swiss, yang pada Juni 2006 setuju untuk memulangkan USD 505 juta. Ironisnya, menurut kelompok advokasi Swiss dan Nigeria, sekitar setengah dari jumlah dana yang dikembalikan itu diduga dicuri ulang oleh pejabat korup.
Setelah jeda lima tahun, Jersey mengembalikan USD36 juta dan Liechtenstein USD225 juta setelah proses pengadilan yang panjang. Pada Agustus 2014, setoran bank terkait Abacha senilai USD480 juta dibekukan oleh Departemen Kehakiman Amerika Serikat, yang tercatat sebagai penyitaan terbesar dalam sejarah agensi tersebut. Swiss juga mengembalikan lagi kembali USD380 juta setahun kemudian.
5. Zine el-Abidiene Ben Ali
Foto/REUTERS
Presiden Tunisia dari 1987 hingga 2011
Jumlah Pengumpulan Kekayaan: USD1,0 miliar hingga USD2,6 miliar
Presiden Zine el-Abidiene Ben Ali berkuasa pada November 1987, setelah menggulingkan Presiden Habib Bourguiba dalam kudeta tak berdarah. Sejak itu dia berkuasa selama 23 tahun, dengan "dipilih kembali" dengan setiap periode.
Di bawah pemerintahan Ben Ali, PDB Tunisia tumbuh rata-rata hampir 5 persen selama 20 tahun, dengan PDB per kapita naik tiga kali lipat dari USD1,201 pada tahun 1986 menjadi USD3,786 pada tahun 2008. Begitu menakjubkan pertumbuhannya, pada tahun 2009, sebuah laporan Boston Consulting Group mendaftarkan negara itu sebagai salah satu "Singa" Afrika.
Reformasi Ben Ali mengurangi separuh tingkat kemiskinan negara itu dari 7,4 persen pada tahun 1990 menjadi sekitar 3,8 persen pada tahun 2005. Namun, sejak itu pengangguran meningkat terutama di kalangan kaum muda. Parahnya, warga miskin pedesaan dan perkotaan kehilangan hak pilihnya, dan penindasan terjadi secara berkelanjutan.
Hal itu menyebabkan meningkatnya keresahan. Situasi menjadi memuncak pada 18 Desember 2010, ketika Mohamed Bouazizi (penjual buah berusia 26 tahun) membakar dirinya setelah dihina oleh polisi setempat. Kejadian itu disebut-sebut salah satu pemiu "Arab Spring", sebuah gelombang demonstrasi dan protes di seluruh negeri, dan dalam waktu satu bulan Ben Ali dan istrinya meninggalkan negara itu.
Ben Ali dan istrinya ditolak ketika mencari tempat perlindungan di Prancis. Mereka akhirnya ditawari suaka di Arab Saudi.
Menurut laporan penelitian Bank Dunia 2015, keluarga Ben Ali dan anggota lingkaran dalamnya dituduh menipu negara antara USD1 miliar hingga USD2,6 miliar selama periode tujuh tahun. Pada satu tahap diperkirakan bahwa orang dalam yang istimewa meraup 21 persen dari semua keuntungan sektor swasta Tunisia, sebagian besar melalui perampasan ilegal aset nasional dan menilap kekayaan dari sebagian besar sektor ekonomi negara.
Setelah lengsernya Ben Ali, penyelidikan atas kekayaannya mengakibatkan pemerintah baru menyita aset 114 anggota Klan Ben Ali, termasuk Ben Ali sendiri. Barang-barang yang disita termasuk 550 properti, 48 kapal, 40 portofolio saham, 367 rekening bank, dan lebih dari 400 perusahaan. Total nilai gabungan dari aset-aset ini adalah sekitar USD13 miliar, lebih dari seperempat dari PDB Tunisia 2011.
Pada Juni 2011, Ben Ali dan istrinya; Leila Trabelsi, dihukum oleh pengadilan Tunisia secara in absentia atas tuduhan pencurian dan kepemilikan uang serta perhiasan yang melanggar hukum dan dijatuhi hukuman 35 tahun penjara. Leila melarikan diri dari Tunisia dengan membawa lebih dari satu setengah ton emas senilai USD50 juta). surat perintah penangkapan internasional pernah dikeluarkan untuk Ben Ali. Namun, Arab Saudi secara konsisten menolak permintaan Tunisia untuk mengekstradisi dia.
Dalam sebuah dramatis, pemerintah Tunisia memicu kontroversi ketika mereka mengajukan rancangan Undang-Undang Rekonsiliasi Nasional pada Juni 2015. Langkah itu membuka jalan bagi potensi pemberian amnesti. Langkah itu mengikuti keputusan oleh pengadilan Tunisia untuk membatalkan putusan tahun 2011 yang telah menyita aset Ben Ali dan keluarganya, dan memerintahkan agar aset dikembalikan.
Pengembalian aset: Hingga saat ini, dana sejumlah USD68,8 juta telah dikembalikan, yakni USD28,8 juta dari Lebanon—merupakan hasil dari rekening bank yang dimiliki atas nama istri Ben Ali—dan USD40 juta dari Swiss. Terlepas dari ini, ada kasus pemulihan aset yang tertunda di Swiss USD28,5 juta dan Kanada USD2,6 juta.
6. Slobodan Milosevic
Foto/REUTERS
Presiden Serbia/Yugoslavia dari 1989 hingga 2000
Jumlah Pengumpulan Kekayaan: USD1 miliar
Presiden Slobodan Milosevic menghabiskan dua periode sebagai Presiden Serbia antara 1990 hingga 1997 sebelum menjadi Presiden Republik Federal Yugoslavia. Namun, dia terkenal karena perannya dalam perang Yugoslavia, di mana ia memimpin kekacauan dan pembunuhan massal yang terjadi di Kosovo, Kroasia, dan Bosnia pada tahun 1990-an.
Pengadilan Pidana Internasional untuk bekas Yugoslavia (ICTY) kemudian mendakwanya atas kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Itu menjadi pengadilan kejahatan perang internasional pertama yang diadakan sejak Pengadilan Militer Internasional 1945 yang diadakan di Nuremberg dan Tokyo.
Setelah pemilihan presiden 2000 yang disengketakan, Milosevic mengundurkan diri dari kepresidenannya. Dia kemudian ditangkap oleh pihak berwenang dan didakwa melakukan korupsi, penyalahgunaan kekuasaan dan penggelapan. Ketika penyelidikan tersendat karena kurangnya bukti, dia diekstradisi ke Den Haag untuk menghadapi tuduhan ICTY. Membela dirinya sendiri, Milosevic menolak untuk mengakui legitimasi pengadilan, karena belum diamanatkan oleh Majelis Umum PBB.
Menurut Washington Post, bukti awal yang ditemukan oleh investigasi bersama oleh Yugoslavia, Departemen Keuangan AS dan kepala penuntut kejahatan perang PBB, menyatakan bahwa Milosevic, keluarganya dan jaringan hingga 200 pengusaha dan politisi yang setia, telah melakukan penggelapan beberapa miliar dolar dana publik untuk kepentingan pribadi. Bank sentral Yugoslavia berspekulasi bahwa sebanyak USD4 miliar telah diambil, di mana jumlah tersebut termasuk dana yang diperkirakan telah digunakan untuk menjaga Serbia tetap bertahan menjalani satu dekade sanksi ekonomi PBB. Meskipun demikian, orang dalam—termasuk kerabat dekat Milosevic—diyakini telah mencuci ratusan juta dolar melalui puluhan perusahaan Siprus, dengan jejak menunjuk ke Swiss, Yunani, Prancis, Jerman, Italia, Libanon, Israel, Rusia, China, Inggris, Liechtenstein dan Afrika Selatan.
Dalam kasus tunggal terbesar yang diselidiki, para pejabat Yugoslavia berusaha melacak hasil dari penjualan perusahaan telepon seluler milik negara PTT Serbia ke konsorsium perusahaan telepon Italia dan Yunani. Perusahaan dijual dengan harga sekitar USD1 miliar, di mana USD200 juta tidak pernah disetor ke rekening negara, dan USD350 juta lainnya diduga masuk ke perusahaan yang dikendalikan oleh teman-teman Milosevic.
Milosevic meninggal karena serangan jantung pada Maret 2006, sebelum persidangan dapat disimpulkan.
Pengembalian aset: Terlepas dari jumlah yang diduga dicuri, tidak ada kasus pemulihan aset yang tercatat.
7. Jean-Claude Duvalier
Foto/REUTERS
Presiden Haiti dari 1971 hingga 1986
Jumlah Pengumpulan Kekayaan: USD300 juta hingga USD800 juta
Presiden Jean-Claude "Baby Doc" Duvalier mewarisi kepresidenan Haiti ketika berusia 19 tahun setelah kematian ayahnya François "Papa Doc" Duvalier, pada bulan April 1971.
Dia melaksanakan sejumlah reformasi yang diminta oleh sekutu kunci Haiti; Amerika Serikat. Kendati demikian, dia mempertahankan alat teror ayahnya—termasuk Tontons Macoutes yang terkenal dan menambahkan sejumlah teknik baru untuk menilap ratusan juta dolar dari kas negara yang sudah miskin.
Pada tahun "Baby Doc" mengambil alih kekuasaan, Departemen Perdagangan AS melaporkan bahwa 64 persen dari pendapatan pemerintah telah disalahgunakan, dengan jutaan dolar dialihkan untuk pengeluaran "ekstra", termasuk setoran yang dibuat untuk rekening bank "Baby Doc" di Swiss. Selama 15 tahun pemerintahannya, Duvalier dan kroni-kroninya diduga mengumpulkan antara USD300 juta hingga USD800 juta. Pada 1980, IMF memberi Haiti bantuan USD22 juta. Bantuan itu diduga ditilap, dengan USD16 juta mengalir ke keluarga Duvalier dan sisanya ke Tonton Macoutes.
Dua tahun kemudian, ketika Meksiko memasok minyak ke negara itu sebesar USD11 juta, para perantara rezim berusaha untuk memotong sanksi internasional dan menjualnya ke rezim apartheid Afrika Selatan. Dalam skema uang lain, darah dibeli dari donor Haiti dengan harga USD5 per liter dan dijual ke Amerika dengan harga USD35 per liter. Duvalier juga menghasilkan jutaan dari keterlibatan dalam perdagangan narkotika, serta dalam penjualan bagian tubuh. Pasar mayat berkembang di mana pada satu titik terjadi "kekurangan pasokan" yang menyebabkan rezim menyerbu panti jenazah untuk mendapatkan mayat.
Pada tahun 1985, setelah referendum yang didukung oleh 99,9 persen populasi, Duvalier diangkat menjadi presiden seumur hidup. Meskipun demikian, dia digulingkan oleh pemberontakan rakyat pada tahun berikutnya dan melarikan diri ke Prancis, di mana ia tinggal di pengasingan yang dipaksakan sendiri selama 25 tahun ke depan. Dia tiba-tiba kembali ke Haiti pada tahun 2011, dan segera ditangkap dan didakwa melakukan korupsi dan penggelapan. Dia merasa tidak bersalah, dan kasusnya tidak pernah terdengar lagi hingga akhirnya Duvalier meninggal karena serangan jantung di vilanya di perbukitan yang menghadap ke Port-au-Prince pada Oktober 2014 atau di usianya yang ke-63 tahun.
Pengembalian aset: Terlepas dari kasus yang diajukan banding di Swiss sebesar USD6,5 juta, satu-satunya kasus terkait pemulihan aset yang dicatat adalah proses panjang yang melibatkan aset Duvalier yang diadakan atas nama Yayasan Brouilly. Berbasis di Liechtenstein, Brouilly Foundation dimiliki oleh perusahaan yang berbasis di Panama, yang pada gilirannya dimiliki oleh anggota keluarga Duvalier.
(mas)