Masuk Daftar Hitam AS, Huawei Siapkan Sistem Operasional Sendiri

Senin, 27 Mei 2019 - 07:09 WIB
Masuk Daftar Hitam AS, Huawei Siapkan Sistem Operasional Sendiri
Masuk Daftar Hitam AS, Huawei Siapkan Sistem Operasional Sendiri
A A A
BEIJING - Perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China berdampak pada sejumlah sektor industri, termasuk teknologi informasi. Huawei, produsen perangkat telekomunikasi asal China, pun terkena imbasnya. Pekan lalu AS memutuskan agar Google tidak memberikan akses kepada Huawei untuk menggunakan sistem operasional (operating system/OS) Android.

Dengan demikian Huawei terancam tidak bisa lagi melakukan ekspansi bersama produk Google yang selama ini menjadi andalan penetrasi pasar di sejumlah negara. Hal ini diperkirakan mengancam bisnis Huawei yang pada tiga bulan pertama tahun ini berhasil menjual 59,1 juta unit di seluruh dunia.

Merespons keputusan tersebut, Huawei yang terkenal dengan produk 5G-nya itu tak tinggal diam. Perusahaan yang didirikan Ren Zhengfei itu menyatakan tidak gentar menghadapi gebrakan Negeri Paman Sam. Huawei mengaku telah memiliki sistem operasi sendiri sejak 2012 yang siap diluncurkan apabila kebijakan larangan penggunaan Android diberlakukan secara permanen. Hanya saja operasional platform yang bernama HongMeng itu memang masih misterius.

Nama itu pernah diungkapkan Consumer Business Group Huawei Richard Yu. “Kita telah menyiapkan sistem operasi kita sendiri. Jika itu seharusnya dibuka, kita tidak akan lama lagi menggunakan OS (seperti Android). Kita akan menyiapkan semuanya untuk diperkuat,” kata Yu kepada harian Jerman Die Welt dalam wawancara yang dipublikasikan pada Maret lalu.

Menurut Yu, OS milik Huawei itu merupakan rencana B. “Tapi kita akan memilih bekerja sama dengan ekosistem yang sudah disediakan Google dan Microsoft,” paparnya. Dalam sebuah unggahan di WeChat, Yu mengungkapkan OS Huawei tersebut bisa tersedia pada awal musim semi ini. Dia juga menjamin OS tersebut cocok seperti aplikasi Android dan bisa digunakan di ponsel, tablet, komputer, televisi, mobil, dan peralatan digital lainnya.

Washington pekan lalu memberlakukan pelarangan transfer teknologi AS kepada perusahaan China seperti Huawei. Google telah menyepakati pembatasan tersebut dan melarang Huawei untuk mengakses komponen utama Android dan layanan mereka. Huawei bersama 70 perusahaan lainnya masuk dalam daftar hitam Departemen Perdagangan AS karena dianggap mengganggu keamanan nasional.

Google mengatakan akan melanjutkan kerja sama dengan Huawei selama 90 hari mendatang. Google maupun Huawei menjamin para pengguna ponsel mereka tetap bisa menggunakan layanan Android. Akan tetapi pengembangan OS pengganti Android seperti dilakukan Huawei bukan tanpa risiko. Hal itu berkaca pada kegagalan Microsoft dan Samsung yang pernah membuat platform sendiri, tetapi tidak bisa diminati pengguna ponsel.

Menurut sejumlah analis, tantangan paling berat adalah aspek teknis. Selain itu mereka harus membangun kepercayaan diri di antara pembuat aplikasi untuk menulis dan menjual peranti lunak dengan platform itu dan meyakinkan penggunanya untuk mengadopsinya. “Memproduksi OS itu sulit untuk dilakukan dengan baik dan sulit mencapai kesuksesan,” kata Ryan Whalen, Deputi Direktur Pusat Teknologi dan Hukum Universitas Hong Kong.

Dengan tidak adanya akses terhadap Android dan layanan populer Google lainnya, Huawei akan menemui kesulitan untuk menggaet pelanggan untuk membeli ponsel mereka. Hal itu dibuktikan oleh Microsoft yang menarik diri platform Windows Phone pada awal tahun ini. Kemudian Samsung juga menarik Tizen yang sangat kalah jika dibandingkan dengan Android dan iOs untuk Apple.

Akan tetapi pandangan optimistis muncul dari Wong Kam Fai, profesor dari Universitas China di Hong Kong. Menurutnya, Huawei merupakan perusahaan besar yang harusnya memiliki teknologi utama sendiri. Dia meyakini Huawei memiliki sumber daya, hanya saja mereka belum siap memproduksinya. “Lebih baik jika platform itu dirilis pada dua atau tiga tahun mendatang. Itu bisa lebih sukses,” katanya.

Seperti dilansir Asia Times, Wong mengungkapkan HongMeng akan menggantikan Android dalam waktu enam bulan ke depan. Syaratnya hal itu harus mendapatkan dukungan pasar domestik China yang sangat besar. “Pada pasar bebas, perusahaan bisa mengubah dan mengganti produk baru. Tapi dalam sistem ekonomi yang dikontrol seperti China, pemerintah bisa memerintahkan perusahaan ponsel untuk menggunakan OS lokal,” ujar Wong.

Pendiri Huawei dan CEO Ren Zhengfei mengungkapkan, jaminan lisensi selama 90 hari cukup bagi mereka untuk mempersiapkan diri jika tidak diizinkan untuk membeli peranti lunak dan peranti keras dari AS. Waktu itu juga cukup untuk mempersiapkan HongMeng.

Pengembangan HongMeng dipimpin oleh Chen Haibo, seorang profesor dari School of Software di Universitas Jiao Tong Shanghai sejak 2012. Sistem itu dibangun dengan sistem Linux dan telah dioperasikan dengan Huawei EROFS, sebuah sistem dokumen dan pengompilasi Fangzhou, sebuah penerjemah kode. “HongMeng akan beroperasi seperti Android sehingga bisa dijalankan dengan mudah,” kata Wong.

Di China, ponsel Huawei menggunakan Android, tetapi tidak dilengkapi aplikasi Google seperti Chrome, Maps, YouTube, Gmail, ataupun Facebook dan WhatsApp karena alasan keamanan nasional. Pengguna lokal menggantinya dengan Baidu sebagai browser, WeChat, dan sebagainya.

Banyak pengguna Huawei di luar negeri khawatir mereka tidak bisa menggunakan aplikasi Google per 19 Agustus mendatang. Mereka cemas tidak bisa menggunakan aplikasi karena faktor bahasa dan kendala geografis.

Pengamat teknologi informasi Heru Setiadi menilai kebijakan Presiden Donald Trump memberlakukan larangan terhadap produk Huawei dalam memperoleh akses terhadap perangkat lunak dari Google tidak berpengaruh besar terhadap kinerja Huawei di Indonesia. Pasalnya pasar Huawei di Indonesia cukup kuat sehingga dalam jangka pendek hingga menengah tidak terdampak kebijakan Pemerintah AS.

“Kalau kita lihat Huawei pasarnya cukup kuat. Seluruh telekomunikasi di Indonesia memakai Huawei. Apalagi kontrak dengan operator berjangka panjang 10-15 tahun,” ujar Heru saat dihubungi di Jakarta kemarin. Menurut dia, larangan yang diberlakukan Pemerintah AS tersebut justru akan menyulitkan bisnis Google. Pasalnya pasar Google justru ada di Huawei.

Tak hanya itu, bisnis Huawei juga telah memberikan banyak keuntungan besar bagi AS. Apalagi sekarang akan muncul jaringan 5G yang akan banyak digunakan untuk masyarakat dan industri. “Jadi saya kira ini secara business to business akan saling memberikan solusi. Pasalnya pasar ekonomi digital itu bukan sekadar menang kalah, tapi memang saling membutuhkan satu sama lain,” kata dia.

Sementara itu mengenai dampak terhadap produk smartphone Huawei di Indonesia, pengamat teknologi Lucky Sebastian mengatakan, isu tersebut sedikit banyak akan menimbulkan kekhawatiran kepada konsumen. ”Ya pasti sebagian akan panik sama dengan di beberapa negara lain seperti Singapura dan Malaysia. Bahkan dikabarkan di Singapura, toko-toko sampai tidak mau terima trade in (tukar tambah),” ujar Lucky.

Menurutnya, kepanikan ini wajar karena tidak ada kepastian, apalagi perangkat Huawei sangat beragam dari yang murah hingga mahal dan sedang mulai diminati di Indonesia. “Kejadian ini akan bikin panik. Karena tidak semua orang mengerti batasan ini sampai di mana,” ujar pendiri komunitas gadget Gadtorade itu.

Hal senada diungkap pengamat teknologi Herry Setiadi Wibowo. Menurutnya, konsumen yang saat ini sudah menggunakan ponsel Huawei bergaransi resmi seharusnya tidak perlu khawatir. ”Risiko terburuk yang mungkin terjadi, harga jual ponsel Huawei bekas yang dimiliki akan terjun bebas. Jauh lebih rendah daripada harga pasaran ponsel Huawei bekas selama ini,” bebernya.

Di bagian lain, Huawei Indonesia menyatakan, Huawei telah mengeluarkan pernyataan resmi secara global terkait isu perdagangan dengan AS. Huawei menegaskan menentang keputusan yang dikeluarkan Biro Industri dan Keamanan (BIS) Kementerian Perdagangan Amerika Serikat (US Department of Commerce).Huawei menilai, keputusan tersebut tidak menguntungkan bagi semua pihak dan berpotensi menimbulkan dampak ekonomi terhadap perusahaan-perusahaan AS yang berbisnis dengan Huawei.

Di samping itu perlakuan terhadap Huawei juga akan memengaruhi puluhan ribu lapangan kerja di AS serta merusak tatanan kolaborasi dan prinsip saling percaya yang ada di dalam sistem rantai pasok global. “Karena itu Huawei akan mengambil langkah yang diperlukan guna mengatasi hal ini. Juga melakukan upaya proaktif untuk memitigasi dampak dari kejadian ini,” demikian bunyi pernyataan resmi Huawei.
(don)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7136 seconds (0.1#10.140)