Bersitegang dengan Iran, Pentagon Berencana Kirim 120 Ribu Tentara
A
A
A
WASHINGTON - Pejabat Menteri Pertahanan Amerika Serikat (AS), Patrick Shanahan, berencana mengirimkan 120 ribu tentara ke Timur Tengah seandainya Iran menyerang pasukan Amerika atau mempercepat proses senjata nuklirnya. Rencana itu dipresentasikannya dalam sebuah pertemuan pembantu keamanan nasional utama Presiden Donald Trump Kamis lalu.
Revisi itu diperintahkan oleh penasihat keamanan nasional John Bolton. Mereka tidak menyerukan invasi darat ke Iran, yang akan membutuhkan lebih banyak pasukan, begitu laporan media AS New York Times.
Di antara mereka yang hadir dalam pertemuan itu adalah Pejabat Menteri Pertahanan AS Patrick Shanahan; Penasihat Keamanan Nasional AS John Bolton; Ketua Kepala Staf Gabungan Jenderal Dunford; Direktur CIA Gina Haspel, dan Direktur Intelijen Nasional Dan Coats.
Pada pertemuan itu, Shanahan memberikan tinjauan umum tentang rencana Pentagon, kemudian berpaling kepada Dunford untuk merinci berbagai opsi pasukan. Opsi paling utama menyerukan pengerahan 120 ribu pasukan, yang akan membutuhkan waktu berminggu-minggu atau berbulan-bulan untuk diselesaikan.
Jumlah pasukan yang diterjunkan mengejutkan banyak orang. Jumlah 120 ribu pasukan mendekati jumlah pasukan AS saat menginvasi Irak pada 2003 lalu.
Belum diketahui apakah Trump, yang telah berusaha untuk menarik AS dari konflik di Afghanistah dan Suriah, pada akhirnya akan mengirim begitu banyak pasukan ke Timur Tengah.
Juga tidak jelas apakah Trump telah diberitahu tentang jumlah pasukan atau rincian lainnya dalam rencana tersebut.
Trump sendiri saat ditanya tentang apakah dia mencari perubahan rezim di Iran mengatakan: "Kita akan melihat apa yang terjadi dengan Iran. Jika mereka melakukan sesuatu, itu akan menjadi kesalahan yang sangat buruk."
"Presiden sudah jelas, Amerika Serikat tidak mencari perang dengan Iran, dan dia terbuka untuk pembicaraan dengan para pemimpin Iran," kata juru bicara Dewan Keamanan Nasional Garrett Marquis dalam sebuah email.
"Namun, opsi default Iran selama 40 tahun adalah kekerasan, dan kami siap membela personel dan kepentingan AS di kawasan (itu)," imbuhnya seperti dikutip dari New York Times, Selasa (14/5/2019).
Ketegangan antara Teheran dan Washington telah memanas sejak pemerintahan Donald Trump menarik AS keluar dari perjanjian nuklir internasional 2015 dengan Iran dan mulai memulihkan sanksi untuk meruntuhkan ekonomi Republik Islam tersebut.
Pentagon mengatakan pihaknya mempercepat penyebaran USS Abraham Lincoln dan mengirim pesawat pengebom strategis B-52 ke Timur Tengah setelah intelijen AS mengisyaratkan kemungkinan persiapan oleh Teheran untuk melancarkan serangan terhadap pasukan atau kepentingan AS di Timur Tengah.
Revisi itu diperintahkan oleh penasihat keamanan nasional John Bolton. Mereka tidak menyerukan invasi darat ke Iran, yang akan membutuhkan lebih banyak pasukan, begitu laporan media AS New York Times.
Di antara mereka yang hadir dalam pertemuan itu adalah Pejabat Menteri Pertahanan AS Patrick Shanahan; Penasihat Keamanan Nasional AS John Bolton; Ketua Kepala Staf Gabungan Jenderal Dunford; Direktur CIA Gina Haspel, dan Direktur Intelijen Nasional Dan Coats.
Pada pertemuan itu, Shanahan memberikan tinjauan umum tentang rencana Pentagon, kemudian berpaling kepada Dunford untuk merinci berbagai opsi pasukan. Opsi paling utama menyerukan pengerahan 120 ribu pasukan, yang akan membutuhkan waktu berminggu-minggu atau berbulan-bulan untuk diselesaikan.
Jumlah pasukan yang diterjunkan mengejutkan banyak orang. Jumlah 120 ribu pasukan mendekati jumlah pasukan AS saat menginvasi Irak pada 2003 lalu.
Belum diketahui apakah Trump, yang telah berusaha untuk menarik AS dari konflik di Afghanistah dan Suriah, pada akhirnya akan mengirim begitu banyak pasukan ke Timur Tengah.
Juga tidak jelas apakah Trump telah diberitahu tentang jumlah pasukan atau rincian lainnya dalam rencana tersebut.
Trump sendiri saat ditanya tentang apakah dia mencari perubahan rezim di Iran mengatakan: "Kita akan melihat apa yang terjadi dengan Iran. Jika mereka melakukan sesuatu, itu akan menjadi kesalahan yang sangat buruk."
"Presiden sudah jelas, Amerika Serikat tidak mencari perang dengan Iran, dan dia terbuka untuk pembicaraan dengan para pemimpin Iran," kata juru bicara Dewan Keamanan Nasional Garrett Marquis dalam sebuah email.
"Namun, opsi default Iran selama 40 tahun adalah kekerasan, dan kami siap membela personel dan kepentingan AS di kawasan (itu)," imbuhnya seperti dikutip dari New York Times, Selasa (14/5/2019).
Ketegangan antara Teheran dan Washington telah memanas sejak pemerintahan Donald Trump menarik AS keluar dari perjanjian nuklir internasional 2015 dengan Iran dan mulai memulihkan sanksi untuk meruntuhkan ekonomi Republik Islam tersebut.
Pentagon mengatakan pihaknya mempercepat penyebaran USS Abraham Lincoln dan mengirim pesawat pengebom strategis B-52 ke Timur Tengah setelah intelijen AS mengisyaratkan kemungkinan persiapan oleh Teheran untuk melancarkan serangan terhadap pasukan atau kepentingan AS di Timur Tengah.
(ian)