Al-Ahmar, Masjid Palestina di Israel yang Diubah Jadi Kelab Malam
A
A
A
SAFED - Sebuah masjid Palestina yang dibangun abad ke-13 di distrik Safed telah diubah menjadi kelab malam. Distrik Safed telah menjadi wilayah Israel.
Masjid bernama Al-Ahmar itu telah digunakan untuk berbagai fungsi sejak 1948. Awalnya, masjid itu digunakan sebagai sekolah Yahudi, kemudian menjadi pusat kampanye pemilihan umum, selanjutnya digunakan sebagai toko pakaian dan sekarang menjadi bar dan aula acara.
Khair Tabari, Sekretaris Safed dan Tiberias Islamic Endowment, telah berusaha menyelamatkan masjid itu selama bertahun-tahun.
Dia telah meminta agar masjid dikembalikan ke pihak Endowment dan saat ini sedang menunggu putusan dari pengadilan Nazareth.
Tak hanya alih fungsi, nama masjid kuno itu juga diubah dari masjid Al-Ahmar menjadi Khan al-Ahmar. Mengutip laporan al-Quds al-Arabi, Rabu (17/4/2019), bangunan itu kini dikelola perusahaan yang berafiliasi dengan pemerintah kota Safed, Israel.
"Saya merasa pusing ketika saya melihat vandalisme di dalam masjid, seperti yang dapat dilihat sisa-sisa ayat Alquran dihapus dari mimbar dan digantikan oleh Sepuluh Perintah dalam bahasa Ibrani," kata Tabari.
Menurut sejarawan Dr Mustafa Abbasi, masjid Al-Ahmar dibangun pada 1276 dan memiliki nilai sejarah serta arsitektur tinggi.
"Masjid Al-Ahmar mendapatkan nama dari batu merahnya. Hari ini, masjid ini digunakan dalam berbagai cara tetapi bukan sebagai ruang salat bagi umat Islam," kata Tabari yang merupakan penduduk asli Safed.
Masjid bersejarah lainnya di Safed memiliki kisah serupa adalah Greek Mosque atau Masjid Yunani. Masjid itu dibangun pada 1319 dan diubah menjadi galeri seni, di mana dilarang digunakan untuk salat.
Ribuan warga Palestina—termasuk keluarga Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas—dicabut hak tinggalnya ketika mereka melarikan diri dari Safed pada tahun 1948, sebelum pasukan paramiliter Yahudi mengambil kendali Safed. Saat ini, tidak ada populasi Arab yang signifikan di wilayah itu.
"Saya mengunjungi Safed sebelumnya, sekali," kata Presiden Abbas kepada media Israel. "Saya ingin melihat Safed. Adalah hak saya untuk melihatnya, tetapi tidak untuk tinggal di sana."
Masjid bernama Al-Ahmar itu telah digunakan untuk berbagai fungsi sejak 1948. Awalnya, masjid itu digunakan sebagai sekolah Yahudi, kemudian menjadi pusat kampanye pemilihan umum, selanjutnya digunakan sebagai toko pakaian dan sekarang menjadi bar dan aula acara.
Khair Tabari, Sekretaris Safed dan Tiberias Islamic Endowment, telah berusaha menyelamatkan masjid itu selama bertahun-tahun.
Dia telah meminta agar masjid dikembalikan ke pihak Endowment dan saat ini sedang menunggu putusan dari pengadilan Nazareth.
Tak hanya alih fungsi, nama masjid kuno itu juga diubah dari masjid Al-Ahmar menjadi Khan al-Ahmar. Mengutip laporan al-Quds al-Arabi, Rabu (17/4/2019), bangunan itu kini dikelola perusahaan yang berafiliasi dengan pemerintah kota Safed, Israel.
"Saya merasa pusing ketika saya melihat vandalisme di dalam masjid, seperti yang dapat dilihat sisa-sisa ayat Alquran dihapus dari mimbar dan digantikan oleh Sepuluh Perintah dalam bahasa Ibrani," kata Tabari.
Menurut sejarawan Dr Mustafa Abbasi, masjid Al-Ahmar dibangun pada 1276 dan memiliki nilai sejarah serta arsitektur tinggi.
"Masjid Al-Ahmar mendapatkan nama dari batu merahnya. Hari ini, masjid ini digunakan dalam berbagai cara tetapi bukan sebagai ruang salat bagi umat Islam," kata Tabari yang merupakan penduduk asli Safed.
Masjid bersejarah lainnya di Safed memiliki kisah serupa adalah Greek Mosque atau Masjid Yunani. Masjid itu dibangun pada 1319 dan diubah menjadi galeri seni, di mana dilarang digunakan untuk salat.
Ribuan warga Palestina—termasuk keluarga Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas—dicabut hak tinggalnya ketika mereka melarikan diri dari Safed pada tahun 1948, sebelum pasukan paramiliter Yahudi mengambil kendali Safed. Saat ini, tidak ada populasi Arab yang signifikan di wilayah itu.
"Saya mengunjungi Safed sebelumnya, sekali," kata Presiden Abbas kepada media Israel. "Saya ingin melihat Safed. Adalah hak saya untuk melihatnya, tetapi tidak untuk tinggal di sana."
(mas)