Survei Terbaru, 1 dari 4 Orang Jepang Masih Perawan

Rabu, 10 April 2019 - 07:47 WIB
Survei Terbaru, 1 dari...
Survei Terbaru, 1 dari 4 Orang Jepang Masih Perawan
A A A
TOKYO - Meskipun modernitas dan teknologi telah menyentuh segala aspek kehidupan warga Jepang, dalam urusan seksualitas, Jepang memang masih konservatif. Minimal survei terbaru menunjukkan pengalaman seksualitas orang Jepang yang sudah dewasa memang tidak seheboh negara maju lainnya, seperti Amerika Serikat (AS) dan Inggris.

Pakar kesehatan publik di Universitas Tokyo mengungkapkan, orang Jepang yang tidak memiliki pengalaman seksual ternyata mengalami peningkatan di Negeri Matahari Terbit. Persentase perempuan yang berusia 18–39 tahun yang masih perawan mengalami peningkatan menjadi 24,6% pada 2015 dibandingkan 21,7% pada 1992.

Sementara pria yang masih perjaka pada usia yang sama mencapai 25,8% pada 2015 atau meningkat 20% dibandingkan 1992. Bagi orang yang berusia antara 30–34 tahun pada 1987, 6,2% perempuan dan 8,8% pria dilaporkan belum pernah berhubungan badan. Pada 2015, jumlah itu meningkat hingga 11,9% perempuan masih perawan dan 12,7% pria tidak pernah bermain seks. Untuk pria yang berusia 35–39 tahun pada 1992, hanya 4% perempuan masih perawan dan 5,5% pria dilaporkan masih perjaka.

Sementara pada 2015, 8,9% perempuan masih perawan dan 9,5% pria masih perjaka. “Tidak memiliki pengalaman seksual menjadi perhatian nasional di Jepang. Penelitian sebelumnya tidak menguji tren tersebut di kelompok yang berbeda usia dan latar belakang sosial ekonomi,” kata peneliti kesehatan publik Universitas Tokyo, Peter Ueda, dilansir CNN.

Sebagai perbandingan, survei di Inggris, AS, dan Australia menyatakan orang yang tidak berpengalaman pada urusan seks hanya 1 hingga 5% pada orang dewasa yang berusia sekitar 30%. Penelitian yang dipublikasikan di jurnal BMC Public Health menyebutkan, jumlah orang dewasa yang tidak berpengalaman secara seksual didasarkan pada data yang merepresentasikan secara nasional.

Pengalaman seksual didefinisikan sebagai hubungan seks antara pria dan wanita. Penelitian itu menggunakan data dari tujuh survei keperawanan yang dilaksanakan selama dekade. Penelitian itu fokus pada 17.7859 orang dewasa yang berusia 18–39 tahun.

"Laporan berita tentang tingkat keperawanan di kalangan remaja dewasa Jepang memang sangat sensasional dan bukan hanya bagi individu yang tidak pernah menikah," ujar Ueda. "Tidak aktif beraktivitas seks atau keperawanan seharusnya tidak boleh menjadi perhatian bagi semua orang," paparnya.

Laporan itu juga menyebutkan persentase pria yang masih perjaka dari kalangan berpendapatan rendah lebih tinggi dibandingkan perempuan yang masih perawan. “Diskusi mengarah pada dampak dan penyebab isu keperawanan menjadi sangat kompleks. Bagi lelaki, keperjakaan dikarenakan isu sosial dan ekonomi. Sederhananya, itu masalah uang,” ujar Cyrus Ghaznavi, pemimpin penelitian.

Isu menurunnya tingkat kelahiran bayi menjadi hal penting di Jepang karena itu menyebabkan peningkatan populasi manula. Jepang dianggap sebagai bangsa “supertua” di mana lebih dari 20% populasinya berusia di atas 65 tahun. Hanya 946.060 bayi yang lahir pada 2017. Itu merupakan catatan terendah sejak 1899.

Penurunan kelahiran bayi berdampak pada peningkatan kebutuhan untuk perawatan kesehatan dan dana pensiunan. “Peningkatan kehidupan tanpa seks menjadi penyebab utama penurunan jumlah populasi di Jepang,” kata Kukhee Choo, profesor kajian media di Universitas Sophia di Tokyo, yang tidak terlibat dalam penelitian.

Beberapa tahun terakhir ini, pemerintahan lokal di Jepang meningkatkan upaya agar pasangan suami istri melakukan hubungan badan dikarenakan penurunan tingkat kesuburan. “Terdapat agenda nasional yang berpikir bahwa isu tersebut sangat penting,” ujarnya.

Apalagi, industri film porno Jepang yang bernilai miliaran dolar, tetapi menurut Choo, diskusi tentang hal porno dan seksualitas masih tabu. “Seks merupakan yang kotor dan korup di Jepang,” ujarnya. Dia mengungkapkan, banyak mahasiswanya tidak terbiasa menggunakan kata “penis” atau “vagina” untuk mengekspresikan ketertarikan mengenai seks.

Perilaku konservatif tentang seks juga tidak menjadi norma di Jepang. Buktinya, Jepang masih dipermalukan dengan kebiasaan seks bebas dan budak seks pada sejarah Perang Dunia II. Nilai-nilai kebebasan dalam kehidupan seks dari Barat juga tidak berlaku secara masif di Jepang. Namun, nilai kebebasan memang diadopsi pada sebagian warga Jepang.

Ekonomi, Pornografi, dan Seks Alternatif?


Keperawanan dan keperjakaan di Jepang juga berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi di negara tersebut. Jepang mengalami “keajaiban ekonomi” sejak akhir 1940-an hingga 1980-an di mana Jepang menjadi negara ekonomi terhebat kedua setelah AS. Jumlah pekerja kerah putih pun meningkat drastis.

Orang Jepang yang identik dengan pekerja keras dan mereka terbiasa bekerja dalam jam kerja yang panjang. Apalagi, banyak perusahaan Jepang memberikan fasilitas kepada para pekerjanya berupa gaji yang tinggi dan fasilitas yang menyenangkan. Akibatnya, banyak pria terjebak dengan ide maskulinitas menjadi pekerja keras.

Selama periode tersebut, banyak perusahaan di kota besar memicu urbanisasi. Romantisme baru pun muncul, yakni pernikahan antarteman kerja. “Banyak perusahaan menggelar acara liburan bersama untuk saling menjodohkan antarkaryawannya,” tutur Shigeru Kashima, pakar Jepang dari Universitas Meiji.

Pada akhir 1990-an ekonomi Jepang menurun. Stagnasi ekonomi terjadi hingga dikenal dengan “dekade yang hilang”. Kashima mengungkapkan, periode tersebut menjadi kegagalan ekonomi di mana terjadi stagnasi finansial yang memicu ketidakpercayaan lelaki dalam menjalin hubungan romantisme dengan perempuan.

“Selama dua dekade terakhir, banyak pria Jepang sangat sulit menjalin hubungan dengan wanita karena takut ditolak,” ujar Kashima. “Akibatnya, banyak pria menyibukkan diri dengan hobi mereka dibandingkan sibuk dengan urusan perempuan,” tuturnya.

Sementara itu, Choo mengungkapkan, banyak orang Jepang yang masih perawan dan perjaka menganggap hubungan didefinisikan selalu berbeda antarorang. “Banyak juga orang yang menjalin hubungan cinta, tetapi tidak berhubungan badan. Namun, banyak orang tidak terjebak dalam hubungan cinta karena tidak ingin berhubungan badan. Hal itu terjadi pada banyak anak muda di Jepang,” papar Choo.

Ueda mengungkapkan, banyak perempuan Jepang yang masih perawan memiliki niat untuk menikah pada suatu hari lain. Mereka menganggap perawan bukan sebuah pilihan. Dia mengungkapkan, peningkatan keperawanan juga bisa disebabkan adanya seks virtual dan konsumsi pornografi yang meningkat.

“Kamu bisa mengatakan adanya seks alternatif dan pengalaman romantis karena orang sulit menemukan pasangan,” kata Ueda. “Kamu juga bisa menyimpulkan munculnya pelayanan tersebut karena orang memilih mengekspresikan seksualitas mereka dengan cara tersebut,” paparnya.
(don)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0710 seconds (0.1#10.140)