Kapal Bantuan Angkut 64 Migran Terjebak di Laut Mediterania
A
A
A
ROMA - Sebuah kapal bantuan kemanusiaan yang membawa 64 migran yang diselamatkan terjebak di Laut Mediterania. Hal ini dikarenakan Italia dan Malta menolak kapal tersebut berlabuh, membuat para migran tidur dalam kondisi sempit di dek ketika badai mendekat.
Penolakan mereka membuat tahapan bagi kebuntuan migran Mediterania hanya dapat diselesaikan jika beberapa anggota Uni Eropa setuju untuk menerima pencari suaka.
Carlotta Weibl, juru bicara organisasi kemanusiaan Jerman Sea-Eye, mengatakan kapal itu berada di dekat pulau Lampedusa di Italia, pada Kamis.
"Kami belum tahu di mana kami bisa berlabuh," kata Weibl.
"Malta mengatakan kami tidak bisa memasuki perairan mereka dan kami tidak mungkin mendapat izin dari Italia," imbuhnya seperti dikutip dari AP, Jumat (5/4/2019).
Kapal Sea-Eye, Alan Kurdi, menyelamatkan para migran Rabu lalu di dekat Libya setelah pemerintah Libya tidak dapat dijangkau. Mereka melakukannya karena sedang mencari kapal penyelundupan lain dengan 50 migran hilang sejak Senin dan 40 migran lainnya hilang di laut sejak pekan lalu.
"Kemungkinannya kecil bahwa mereka masih hidup," ujar Weibl.
Kelompok itu mengatkan bahwa 64 migran yang dijemput termasuk bayi yang baru lahir dan seorang anak. Tetapi Weibl mengatakan kapal itu terlalu kecil untuk begitu banyak orang dan orang-orang tidur di luar di geladak ketika hujan mulai turun.
Menteri Dalam Negeri Italia yang juga tokoh garis keras Italia, Matteo Salvini, mengatakan pada hari Rabu bahwa Italia tidak akan menerima migran dan karena itu kapal Jerman tersebut harus pergi ke Hamburg.
Weibl mengatakan bahwa saran itu konyol. Kota Hamburg di Jerman bahkan tidak terletak di Laut Mediterania tetapi di sungai yang mengarah ke Laut Utara.
"Itu adalah perjalanan tiga hingga empat minggu (ke Hamburg). Kami tidak memiliki makanan dan air, jadi itu benar-benar keluar dari pertanyaan," cetusnya.
Kebuntuan serupa dalam beberapa bulan terakhir melibatkan kapal penyelamat yang berharap untuk mencapai Italia dan Malta akhirnya diselesaikan ketika anggota UE lainnya setuju untuk menampung beberapa migran.
Namun, banyak dari para migran itu masih terjebak di pusat-pusat migran di Malta dan Italia.
Kapal Alan Kurdi dinamai setelah bocah Kurdi berusia 3 tahun tewas tenggelam di laut pada 2015 ketika ia dan keluarganya melarikan diri dari perang di Suriah. Jasad tubuhnya yang kecil dan tak bernyawa tersapu ke pantai memicu simpati atas nasib para migran.
Namun, suasana di Eropa telah berbalik terhadap mereka yang melakukan perjalanan berbahaya bahkan ketika jumlah migran yang menyeberang laut berbahaya ke Eropa telah menurun secara substansial sejak itu.
Weibl mengatakan bahwa Alan Kurdi saat ini adalah satu-satunya kapal kemanusiaan yang beroperasi di Mediterania karena banyak pemerintah telah menolak izin kapal bantuan untuk beroperasi.
Penolakan mereka membuat tahapan bagi kebuntuan migran Mediterania hanya dapat diselesaikan jika beberapa anggota Uni Eropa setuju untuk menerima pencari suaka.
Carlotta Weibl, juru bicara organisasi kemanusiaan Jerman Sea-Eye, mengatakan kapal itu berada di dekat pulau Lampedusa di Italia, pada Kamis.
"Kami belum tahu di mana kami bisa berlabuh," kata Weibl.
"Malta mengatakan kami tidak bisa memasuki perairan mereka dan kami tidak mungkin mendapat izin dari Italia," imbuhnya seperti dikutip dari AP, Jumat (5/4/2019).
Kapal Sea-Eye, Alan Kurdi, menyelamatkan para migran Rabu lalu di dekat Libya setelah pemerintah Libya tidak dapat dijangkau. Mereka melakukannya karena sedang mencari kapal penyelundupan lain dengan 50 migran hilang sejak Senin dan 40 migran lainnya hilang di laut sejak pekan lalu.
"Kemungkinannya kecil bahwa mereka masih hidup," ujar Weibl.
Kelompok itu mengatkan bahwa 64 migran yang dijemput termasuk bayi yang baru lahir dan seorang anak. Tetapi Weibl mengatakan kapal itu terlalu kecil untuk begitu banyak orang dan orang-orang tidur di luar di geladak ketika hujan mulai turun.
Menteri Dalam Negeri Italia yang juga tokoh garis keras Italia, Matteo Salvini, mengatakan pada hari Rabu bahwa Italia tidak akan menerima migran dan karena itu kapal Jerman tersebut harus pergi ke Hamburg.
Weibl mengatakan bahwa saran itu konyol. Kota Hamburg di Jerman bahkan tidak terletak di Laut Mediterania tetapi di sungai yang mengarah ke Laut Utara.
"Itu adalah perjalanan tiga hingga empat minggu (ke Hamburg). Kami tidak memiliki makanan dan air, jadi itu benar-benar keluar dari pertanyaan," cetusnya.
Kebuntuan serupa dalam beberapa bulan terakhir melibatkan kapal penyelamat yang berharap untuk mencapai Italia dan Malta akhirnya diselesaikan ketika anggota UE lainnya setuju untuk menampung beberapa migran.
Namun, banyak dari para migran itu masih terjebak di pusat-pusat migran di Malta dan Italia.
Kapal Alan Kurdi dinamai setelah bocah Kurdi berusia 3 tahun tewas tenggelam di laut pada 2015 ketika ia dan keluarganya melarikan diri dari perang di Suriah. Jasad tubuhnya yang kecil dan tak bernyawa tersapu ke pantai memicu simpati atas nasib para migran.
Namun, suasana di Eropa telah berbalik terhadap mereka yang melakukan perjalanan berbahaya bahkan ketika jumlah migran yang menyeberang laut berbahaya ke Eropa telah menurun secara substansial sejak itu.
Weibl mengatakan bahwa Alan Kurdi saat ini adalah satu-satunya kapal kemanusiaan yang beroperasi di Mediterania karena banyak pemerintah telah menolak izin kapal bantuan untuk beroperasi.
(ian)