Amnesty Sebut Rajam sampai Mati bagi LGBT di Brunei Mengerikan

Kamis, 28 Maret 2019 - 11:05 WIB
Amnesty Sebut Rajam...
Amnesty Sebut Rajam sampai Mati bagi LGBT di Brunei Mengerikan
A A A
BANDAR SERI BEGAWAN - Kelompok HAM Amnesty International mengecam keras rencana Brunei Darussalam untuk mengimplementasikan hukuman rajam sampai mati bagi pelaku seks lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT). Kelompok HAM yang berbasis di London itu menyebutnya sebagai hukuman yang mengerikan.

Amnesty, dalam sebuah pernyataan, mengatakan bahwa hukuman baru yang juga berlaku untuk anak-anak itu, tercantum di bagian-bagian baru di bawah Undang-Undang Hukum Pidana pada Syariat Islam Brunei. Hukuman baru itu mulai berlaku pada 3 April 2019. Perubahan hukum diumumkan dalam pemberitahuan rahasia di situs web Jaksa Agung Brunei.

"Melegalkan hukuman yang kejam dan tidak manusiawi itu mengerikan," kata Rachel Chhoa-Howard, peneliti Brunei di Amnesty International. "Beberapa potensi pelanggaran seharusnya tidak dianggap kejahatan sama sekali, termasuk hubungan seksual konsensual antara orang dewasa dengan jenis kelamin yang sama."

"Brunei harus segera menghentikan rencananya untuk menerapkan hukuman kejam ini dan merevisi hukum pidana sesuai dengan kewajiban hak asasi manusianya," lanjut Chhoa-Howard, yang dikutip SINDOnews.com dari situs Amnesty, Kamis (28/3/2019).

"Komunitas internasional harus segera mengutuk tindakan Brunei untuk menerapkan hukuman kejam ini ke dalam praktik."

Sultan Brunei Hassanal Bolkiah melembagakan Hukum Pidana dalam Syariah Islam pada tahun 2014 untuk meningkatkan pengaruh Islam dalam monarki kecil yang kaya minyak itu. Tahap awal implementasi hukum itu adalah denda atau penjara untuk berbagai pelanggaran seperti kehamilan di luar nikah hingga tidak salat Jumat.

Amnesty menyebut Undang-Undang Pidana itu sebagai "undang-undang yang sangat cacat" dengan serangkaian ketentuan yang melanggar hak asasi manusia.

Belum ada oposisi vokal terhadap hukum di Brunei, di mana Sultan Hassanal Bolkiah memerintah sebagai kepala negara dengan otoritas eksekutif penuh. Kritik publik terhadap kebijakannya sangat jarang di Brunei.

Sultan, yang telah memerintah sejak 1967, sejak awal mengatakan Hukum Pidana dalam Syariat Islam harus dianggap sebagai bentuk "petunjuk khusus" dari Tuhan dan akan menjadi bagian dari sejarah besar Brunei.

Di bawah undang-undang sekuler, Brunei telah menetapkan hukuman cambuk sebagai hukuman atas berbagai kejahatan termasuk pelanggaran imigrasi, di mana narapidana dapat dicambuk dengan rotan.
(mas)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1674 seconds (0.1#10.140)