Gletser di Everest Mencair, Ratusan Mayat Pendaki Bermunculan
A
A
A
KATHMANDU - Ratusan mayat pendaki yang selama ini terkubur di Gunung Everest bermunculan. Penyebabnya adalah mencairnya gletser dan salju di gunung tertinggi di dunia itu akibat pemanasan global.
Menurut operator ekspedisi Gunung Everest jumlah mayat pendaki yang ditemukan menunjukkan peningkatan. Untuk diketahui, lebih dari 200 pendaki gunung telah tewas di puncak gunung sejak 1922, ketika kematian pendaki pertama di Everest dicatat. Mayoritas mayat tersebut masih terkubur di bawah gletser atau salju.
"Karena dampak perubahan iklim dan pemanasan global, salju dan gletser mencair dengan cepat dan mayat-mayat semakin terekspos dan ditemukan oleh para pendaki," kata Ang Tshering Sherpa, mantan presiden Asosiasi Pendaki Gunung Nepal, seperti dikutip dari CNN, Minggu (24/3/2019).
"Sejak 2008 perusahaan saya sendiri telah membawa turun tujuh mayat beberapa pendaki gunung, beberapa berasal dari ekspedisi Inggris pada 1970-an," terangnya.
Studi menunjukkan bahwa gletser di wilayah Everest mencair dan menipis.
"Ini adalah masalah yang sangat serius karena semakin umum dan mempengaruhi operasi kami," ujar Sobit Kunwar, seorang pejabat Asosiasi Pemandu Gunung Nasional Nepal, kepada CNN.
"Kami benar-benar khawatir tentang ini karena semakin buruk," tambahnya.
"Kami berusaha menyebarkan informasi tentang hal itu sehingga bisa ada cara yang terkoordinasi untuk menghadapinya," tukasnya.
Sementara bendahara asosiasi, Tenzeeng Sherpa, mengatakan bahwa perubahan iklim memengaruhi Nepal dengan cepat. Dikatakan oleh Sherpa bahwa sebagian gletser mencair satu meter setiap tahun.
"Sebagian besar mayat yang kita bawa ke kota, tetapi yang tidak bisa kita bawa kita hormati dengan berdoa untuk mereka dan menutupi mereka dengan batu atau salju," ungkapnya.
Dia menyesali kurangnya tindakan pemerintah dalam menangani mayat yang ditemui di gunung.
"Kami belum melihat pemerintah mengambil tanggung jawab apa pun," ucapnya.
Memulihkan dan memindahkan mayat dari kamp-kamp yang lebih tinggi bisa berbahaya dan mahal.
Ang Tshering Sherpa, salah satu murid pertama yang belajar di sekolah pendakian gunung yang dibangun oleh pendaki Selandia Baru Edmund Hillary dan perintis pariwisata Everest, mengatakan bahwa salah satu upaya menemukan kembali mayat-mayat itu yang paling berbahaya adalah pada ketinggian 8.700 meter, dekat puncak.
"Tubuh itu memiliki berat 150 kg dan itu harus diambil dari tempat yang sulit pada ketinggian itu. Itu adalah tugas yang sangat berat," katanya.
Ia menambahkan bahwa butuh waktu lama untuk mendapatkan dana dari pemerintah untuk memindahkan mayat.
"Tapi kita, operator, merasa itu adalah tugas kita dan jadi setiap kali kita menemukannya, kita membawa turun mayatnya," tukasnya.
Menurut operator ekspedisi Gunung Everest jumlah mayat pendaki yang ditemukan menunjukkan peningkatan. Untuk diketahui, lebih dari 200 pendaki gunung telah tewas di puncak gunung sejak 1922, ketika kematian pendaki pertama di Everest dicatat. Mayoritas mayat tersebut masih terkubur di bawah gletser atau salju.
"Karena dampak perubahan iklim dan pemanasan global, salju dan gletser mencair dengan cepat dan mayat-mayat semakin terekspos dan ditemukan oleh para pendaki," kata Ang Tshering Sherpa, mantan presiden Asosiasi Pendaki Gunung Nepal, seperti dikutip dari CNN, Minggu (24/3/2019).
"Sejak 2008 perusahaan saya sendiri telah membawa turun tujuh mayat beberapa pendaki gunung, beberapa berasal dari ekspedisi Inggris pada 1970-an," terangnya.
Studi menunjukkan bahwa gletser di wilayah Everest mencair dan menipis.
"Ini adalah masalah yang sangat serius karena semakin umum dan mempengaruhi operasi kami," ujar Sobit Kunwar, seorang pejabat Asosiasi Pemandu Gunung Nasional Nepal, kepada CNN.
"Kami benar-benar khawatir tentang ini karena semakin buruk," tambahnya.
"Kami berusaha menyebarkan informasi tentang hal itu sehingga bisa ada cara yang terkoordinasi untuk menghadapinya," tukasnya.
Sementara bendahara asosiasi, Tenzeeng Sherpa, mengatakan bahwa perubahan iklim memengaruhi Nepal dengan cepat. Dikatakan oleh Sherpa bahwa sebagian gletser mencair satu meter setiap tahun.
"Sebagian besar mayat yang kita bawa ke kota, tetapi yang tidak bisa kita bawa kita hormati dengan berdoa untuk mereka dan menutupi mereka dengan batu atau salju," ungkapnya.
Dia menyesali kurangnya tindakan pemerintah dalam menangani mayat yang ditemui di gunung.
"Kami belum melihat pemerintah mengambil tanggung jawab apa pun," ucapnya.
Memulihkan dan memindahkan mayat dari kamp-kamp yang lebih tinggi bisa berbahaya dan mahal.
Ang Tshering Sherpa, salah satu murid pertama yang belajar di sekolah pendakian gunung yang dibangun oleh pendaki Selandia Baru Edmund Hillary dan perintis pariwisata Everest, mengatakan bahwa salah satu upaya menemukan kembali mayat-mayat itu yang paling berbahaya adalah pada ketinggian 8.700 meter, dekat puncak.
"Tubuh itu memiliki berat 150 kg dan itu harus diambil dari tempat yang sulit pada ketinggian itu. Itu adalah tugas yang sangat berat," katanya.
Ia menambahkan bahwa butuh waktu lama untuk mendapatkan dana dari pemerintah untuk memindahkan mayat.
"Tapi kita, operator, merasa itu adalah tugas kita dan jadi setiap kali kita menemukannya, kita membawa turun mayatnya," tukasnya.
(ian)