The New York Times Kembali Optimistis setelah Terpuruk

Minggu, 10 Februari 2019 - 06:00 WIB
The New York Times Kembali Optimistis setelah Terpuruk
The New York Times Kembali Optimistis setelah Terpuruk
A A A
NEW YORK - Siapa bilang surat kabar mengalami senjakala? Sebaliknya prospek bisnisnya masih menjanjikan. Hal itu seperti ditunjukkan The New York Times atau NYT yang sukses bangkit dari keterpurukan dan berhasil meraup pendapatan USD709 juta (Rp9,8 triliun) pada tahun lalu.

Surat kabar yang berbasis di Kota New York, Amerika Serikat (AS), itu kini meraup keuntungan bersih USD55,2 juta (Rp770 miliar) setelah mengalami kerugian selama bertahun-tahun. NYT sedikitnya memiliki 1.600 wartawan dan semuanya digaji relatif tinggi. NYT pun semakin yakin dengan prospek bisnis ke depan. Pada 2020, dia menargetkan dapat meraup pendapatan USD800 juta lewat e-paper.

Sukses NYT tentu menginspirasi perusahaan di industri yang sama untuk tetap optimistis. Sebelumnya, industri surat dunia, termasuk di Amerika Serikat (AS) mengalami kelesuan. Sirkulasi harian media cetak di AS tenggelam dari hampir 60 juta pada 1994 menjadi 35 juta, kombinasi cetak dan digital, pada 2018.

Pendapatan dari periklanan juga jatuh dari USD65 miliar pada 2000 menjadi kurang dari USD19 miliar pada 2016. Hal ini berdampak terhadap jumlah wartawan yang jatuh 40% (1994-2014). “Kami bangga dengan pencapaian ini dan berharap dapat terus menarik banyak pelanggan hingga mencapai 10 juta pada 2025,” ujar Chief Executive Offier (CEO) NYT Mark Thompson seperti dikutip nytimes.com.

Lebih dari 3,3 juta orang berlangganan produk digital NYT, termasuk berita, atau naik sekitar 27%. Namun untuk bisa kembali bangkit perlu keberanian untuk melakukan inovasi. Sebagaimana dilakukan NYT, surat kabar terbesar kedua di Amerika Serikat (AS) berdasarkan jumlah sirkulasi itu melakukan transisi dari cetak menuju digital.

Dua tahun yang lalu, jumlah pelanggan e-paper NYT sudah mencapai 1,6 juta orang, terbanyak di dunia. Berdasarkan laporan WAN-IFRA dalam World Press Trends 2017, posisi NYT hanya didekati Wall Street Journal dengan 1 juta pelanggan.

Jumlah pelanggan berbayar NYT, baik digital ataupun cetak, kini mencapai titik tertinggi, yakni 4,3 juta. Pendapatan dari pelanggan di media online naik 18% menjadi USD400 juta, sedangkan periklanan digital naik 8,6% menjadi USD259 juta. Hanya, dalam tiga bulan terakhir, pendapatan dari pelanggan digital hanya naik sebesar 9%.

Total pendapatan NYT selama Q4 ialah sebesar USD503 juta, naik hampir 4% dari setahun sebelumnya. Sementara itu keuntungan operasi menurun sebesar 17,5% menjadi USD75 juta. NYT juga menyatakan akan meningkatkan dividen. Investor yang memiliki saham NYT akan menerima 5 sen per lembar saham setiap kuartal.

“Pertumbuhan USD105 juta itu terbilang lebih lambat dari sebelumnya. Faktor penyebabnya ialah dari divisi marketing yang menggalakkan diskon untuk akses online. Meski tidak mendongkrak pendapatan, upaya tersebut berhasil menarik pelanggan baru. Kami berharap mereka menjadi pelanggan penuh,” kata Thompson.

Thompson mengatakan, peningkatan pendapatan itu akan digunakan untuk meningkatkan kualitas layanan, operasi, dan produk. “Daya tarik kami kepada pelanggan dan pengiklan bergantung kepada kualitas jurnalisme kami. Karena itu, kami akan meningkatkan investasi, bukan memangkasnya,” tandas Thompson.

Wakil Eksekutif Presiden dan Chief Operating Officer (COO) NYT, Meredith Kopit Levien berencana mencoba menaikkan harga versi digital pada tahun ini. Kenaikan pertama sejak lebih dari tujuh tahun terakhir. “Kami yakin para pelanggan juga akan mengerti jurnalisme berkualitas tinggi memerlukan dana,” katanya.

Sebanyak 16% pelanggan NYT berasal dari luar AS. Levien mengaku optimistis NYT akan menjadi salah satu pemain dominan dalam bisnis berita global. Dengan uang kas sekitar USD826 juta, NYT juga berniat mengambil alih kembali Gedung New York Times sebelum akhir tahun ini setelah dilelang kepada WP Carey & Company.

Pada tahun lalu, NYT juga merekrut 120 wartawan baru. Langkah itu diambil saat bisnis surat kabar di AS sedang berada di ujung tanduk. Beberapa bulan lalu, Gannett Co., Inc, publisher surat kabar terbesar di AS berdasarkan sirkulasi, memecat wartawan di seluruh AS dan menolak pengambilalihan oleh perusahaan lain.

NYT memilih mengincar menggenjot media digital untuk bisa terus berkembang karena memang prospektif. Secara keseluruhab, pendapatan dari periklanan di media digital pada Kuartal ke-4 (Q4) 2018 merangkak naik sekitar 22,8%, sedangkan pendapatan di media cetak tergelincir 10,2%.

Pendapatan di media digital mencapai USD103,4 juta (Rp1,4 triliun) atau 53,9% dari total pendapatan. Bandingkan dengan USD84,2 juta pada Q4 2017. Namun, perusahaan berita digital juga tidak semuanya berjalan mulus. Pada bulan lalu, BuzzFeed memangkas sekitar 15% karyawannya atau sekitar 220 orang; Verizon Media Group mengumumkan pemecatan karyawan di divisi media sebesar 7% atau sekitar 800 orang; dan 10% pemangkasan sedang berlangsung di Vice Media.

Para ahli mengatakan surat kabar telah sekarat dalam dua dekade terakhir. Di Inggris, Perdana Menteri (PM) Theresa May memperingatkan jatuhnya surat kabar akan mengancam demokrasi. Jumlah surat kabar di Inggris, baik di tingkat daerah ataupun nasional, kini 200 lebih sedikit daripada 2005. Kondisi itu juga terjadi di AS.

“Meski pelanggan digital meningkat di The Washington Post dan NYT sejak 2016, hal itu tidak mampu menopang ambruknya industri media cetak. Surat kabar lokal di seluruh AS juga tidak sesukses mereka. BuzzFeed dan Vice gagal meraih target dan nilai Mashable turun menajdi USD50 juta,” kata pengamat Douglas McLennan.

Masih Dibutuhkan

Menteri Informatika (Menkominfo) Rudiantara menegaskan optimismenya dengan masa depan bisnis surat kabar di Tanah Air. Karena itu dia meminta insan pers tidak takut menghadapi perkembangan digital saat ini. Sebaliknya dia mengajak agar kondisi tersebut dimanfaatkan dengan meningkatkan kapabilitas dan kapasitasnya, termasuk meningkatkan kompetensi secara digital.

Dia pun menegaskan, selama insan pers menjalankan etika dan profesionalisme, digitalisasi tidak akan berpengaruh. “Saya yakin selama insan pers senantiasa menjaga etika dan profesional, melakukan cover both side, industri pers kita akan tetap jaya,” ujar Rudiantara seusai membuka Pameran Karya Pers dan Teknologi Informasi dalam rangka Hari Pers Nasional (HPN) tahun 2019 di Exhibition Hall Grand City Surabaya, Kamis (7/2/2019).

Dosen ilmu komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Iwan Awaludin Yusuf, pakar teknologi informasi UII Ismail Fahmi, Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi (Fikom) Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung Dr Kunto A Wibowo melihat kemampuan surat kabar seperti New York Times menjadi bukti masyarakat tetap membutuhkan produk jurnalistik berkualitas.

Iwan Awaludin Yusuf mengakui, perkembangan teknologi informasi menghadirkan tantangan berat bagi media. Menurut dia, tantangan tersebut harus dihadapi dengan tetap menjaga kepercayaan publik. Kuncinya adalah komitmen untuk tetap menerapkan prinsip-prinsip dan etik jurnalistik seperti akurasi, disiplin, verifikasi, netralitas, keberimbangan dan hal teknis lain yang tidak akan banyak berubah secara mendasar.

“Intinya kekuatan media adalah kepatuhan pada prinsip-prinsipjurnalistik sehingga tetap dipercaya masyarakat sebagai rujukan informasi yang kredibel,” terangnya. Senada, Ismail Fahmi menilai surat kabar hingga sekarang masih eksis dibutuhkan sebagai referensi, termasuk dijadikan dokumen atau arsip.

Namun, seiring perkembangan jaman, surat kabar juga harus melakukan inovasi, di antaranya dengan mengembangkan atau mengombinasikan versi cetak dan versi online sehingga keberadaannya tetap dapat bersaingan dengan media-media online.

“Jika ini tidak dikembangkan, keberadaan media cetak itu tinggal menunggu waktu ditinggalkan pembacanya. Apalagi untuk kaum milenial, lebih senang membaca informasi lewat media sosial, seperti IG maupun twitter dibandingkan dengan membaca media cetak,” paparnya.

Menurut dia, kombinasi versi cetak dan online bisa membuat media konvensional hingga sekarang masih tetap survive. “Namun jika ini tidak dilakukan tentunya media konvensional segera akan ditinggalkan. Indikasinya saat ini sudah jarang ditemui orang membaca surat kabar saat menunggu antrian atau di dalam angkut, tetapi mereka lebih memilih mencari informasi lewat gadget karena lebih praktis dan informasinya lebih banyak,” tandasnya.

Kunto A Wibowo mengatakan, harus dibedakan antara produk jurnalistik dengan produk percetakan. Koran adalah dua produk dijadikan satu, produk percetakan dengan produk jurnalisme.Yang diramalkan akan mati akibat munculnya media digital itu adalah, produk percetakannya.

Sedangkan produk jurnalistik, hanya ganti platform. Produk jurnalistik bisa beradaptasi dengan platform lain."Sebenarnya itu yang terjadi. Jadi, menurut saya, untuk produk jurnalisme, orang mengejar kualitas informasi yang disajikan. New York Times telah membuktikan itu," kata Kunto.

Kunto mengemukakan, awalnya orang-orang skeptis atau pesimis bahwa pengguna informasi atau internet akan mau berlangganan di website. Karena toh semua orang gratis mengakses informasi di internet. Kenapa harus berlangganan. Tapi akhirnya orang mencari kualitas informasi.

Untuk mendapatkan informasi berkualitas itu akhirnya orang rela untuk membayar. Itu yang akhirnya membuat New York Times profit hari ini. Di sisi lain ada beberapa media seperti Hutington Post, justru gulung tikar. Padahal, Hutington Post yang beralih platform dari cetak ke digital atau online gratis alias tak berbayar. Hutington Post tidak menggunakan paywall.

"Untuk pendapatan, mereka (Hutingtong Post) hanya mengandalkan iklan-iklan digital dari internet. Yang jadi persoalan, iklan dari internet itu, harus diakui, dimonopoli Google dan Facebook," ujar dia.
(don)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4767 seconds (0.1#10.140)