Oposisi Galang Momentum Perubahan, Presiden Maduro Terancam

Kamis, 24 Januari 2019 - 07:46 WIB
Oposisi Galang Momentum...
Oposisi Galang Momentum Perubahan, Presiden Maduro Terancam
A A A
CARACAS - Demonstran Venezuela akan turun ke jalan saat oposisi berupaya menggalang momentum dan kekuatan perubahan dalam pemerintahan. Saat ini Venezuela yang dipimpin Presiden Nicolas Maduro mengalami krisis ekonomi dan demokrasi.

Unjuk rasa di Caracas pada awal pekan ini membuka harapan bahwa pemimpin baru kongres, Juan Guaido, dapat menyatukan oposisi dan menggulingkan Maduro yang bulan ini memulai periode kedua pemerintahannya.

Guaido menyatakan, dia ingin menggantikan Maduro sebagai presiden sementara dengan dukungan militer untuk menggelar pemilu yang bebas. Kongres yang kini dikontrol oposisi dianggap oleh dunia internasional sebagai benteng terakhir demokrasi.

Unjuk rasa menarik ratusan ribu orang itu dapat memperkuat dukungan pada Guaido dan beberapa pendukung memintanya memproklamasikan diri sebagai presiden yang sah. Oposisi Venezuela sejak lama tak memiliki pemimpin setelah mentor Guaido, Leopoldo Lopez ditahan pada 2014 saat unjuk rasa jalanan.

Guaido, 35, mendesak militer melawan Maduro dan menjanjikan amnesti di masa depan bagi siapa saja membantu mengembalikan demokrasi di negara itu. Saat berpidato di depan anggota militer pada Senin (21/1), Guaido menjelaskan, “Kami tidak meminta anda meluncurkan kudeta, kami tidak meminta anda menembak. Kami meminta anda tidak menembak kami.”

Guaido saat wawancara dengan Reuters ada Selasa (22/1) menyatakan, jika dia menjadi presiden, dia akan memberi perlindungan hukum kepada para tentara dan pejabat yang membelot. Meski demikian, dia menekankan keadilan tetap akan diterapkan pada mereka yang melakukan berbagai tindakan buruk.

“Kegelisahan itu alami. Kita telah menghabiskan 20 tahun mengalami berbagai serangan. Mereka telah membunuh para pemimpin politik, mereka telah memenjarakan sejumlah orang, saya telah diculik beberapa jam, mereka membunuh teman-teman saya,” ujar Guaido.

Dia menegaskan, “Saya tidak bertujuan menyembuhkan luka-luka 20 tahun dan saya tidak bertujuan menyembunyikannya. Saya mengakui mereka yang ada di sana.”

Partai Sosialis yang berkuasa saat ini juga menggelar pawai tandingan kemarin dan para pejabat telah mengancam Guaido akan dipenjara. Mahkamah Agung (MA) yang mendukung pemerintah mencabut berbagai wewenang kongres pada 2017 dan menetapkan pada Selasa (22/1) bahwa MA tidak mengakui Guaido sebagai ketua kongres serta meminta kantor kejaksaan menentukan apakah dia melakukan kejahatan.

Maduro dilantik pada 10 Januari setelah pemilu 2018. Pemerintahan Maduro diwarnai krisis ekonomi kian memburuk dan proyeksi inflasi mencapai 10 juta persen tahun ini. Pemerintahan Maduro telah memenjarakan puluhan aktivis dan pemimpin oposisi yang berupaya menggulingkannya melalui unjuk rasa pada 2014 dan 2017. Demonstrasi 2017 mengakibatkan 125 orang tewas saat bentrok melawan aparat kepolisian.

Wakil Presiden Amerika Serikat (AS) Mike Pence merilis pesan dukungan pada oposisi Venezuela dengan menyebut Maduro sebagai diktator tanpa legitimasi untuk berkuasa. Sebagai respons, Wakil Presiden Venezuela Delcy Rodriguez menegaskan, “Yankee pulang ke rumah.” Rodriguez mengecam berbagai rencana sayap kanan ekstrem di Venezuela yang membahayakan stabilitas dan perdamaian.

Sementara itu, Pemerintah Venezuela menawarkan penerbangan untuk mengangkut para migran yang tinggal di Ekuador agar pulang ke negara asalnya. Tawaran itu muncul setelah pembunuhan seorang wanita Ekuador oleh pria asal Venezuela memicu pengetatan kontrol dan sejumlah aksi kekerasan.

Pembunuhan itu terjadi di Kota Ibarra pada Sabtu (19/1) malam dan memicu berbagai serangan pada imigran asal Venezuela sehingga menciptakan ketegangan di Ekuador. Selain Ekuador, negara-negara di Amerika Selatan lainnya telah menerima ribuan migran dari total 3 juta warga Venezuela yang mengungsi sejak 2015.

“Banyak warga Venezuela di Ibarra ingin kembali pulang,” ujar Pedro Sassone, diplomat di Kedutaan Besar (Kedubes) Venezuela di Ekuador. Sassone menjelaskan, ada lima penerbangan komersial direncanakan pekan ini untuk membawa pulang para migran. “Warga Venezuela di Ibarra dipecat dari pekerjaan mereka, itu xenophobia, itu diskriminasi,” ujarnya.
(don)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8318 seconds (0.1#10.140)