Korea Selatan dan China Kewalahan Atasi Polusi Udara
A
A
A
SEOUL - Presiden Korea Selatan (Korsel) Moon Jae-in mengusulkan sistem peringatan dini polusi udara dengan China. Moon mengakui sungguh memalukan pemerintahannya tidak mampu membersihkan polusi udara yang menyelimuti Seoul dan beberapa wilayah Korsel selama beberapa pekan.
Korsel sering menuduh China mengakibatkan sebagian besar polusi udara tapi Beijing menyatakan China tidak sepenuhnya bersalah dan Korsel harus bertanggung jawab untuk kualitas udaranya sendiri.
“Rakyat telah sangat menderita pekan lalu akibat banyaknya debu selama beberapa hari. Saya merasa sungguh malu karena kami tidak mampu membersihkan masalah itu,” papar Moon saat rapat kabinet kemarin, dilansir Reuters.
Korsel telah mengalami penurunan kualitas udara. Tahun lalu, pemerintah menutup lima pembangkit listrik tenaga batubara yang telah berumur tua mulai Maret hingga Juni untuk mengurangi polusi udara.
Moon juga menyerukan langkah lebih lanjut termasuk mengurangi jumlah mobil diesel di jalanan dan memodernisasi pemanas rumah. Moon menjelaskan, polusi udara sebagai bencana yang harus diatasi melalui upaya kreatif dan kerja masa antar pemerintah.
“Kami tahu bahwa di sana ada kesepakatan besar mengenai kekhawatiran publik karena debu halus itu datang dari China dan karena China juga menderita akibat debu halus, maka perlu diperkuat kerja sama untuk secara drastis mengurangi debu halus,” papar Moon.
Pejabat senior China mengakui polusi itu merupakan masalah regional tapi Korsel harus bertindak lebih banyak untuk menyelesaikan masalahnya sendiri di kota-kota besar seperti Seoul.
“Meski kualitas udara di wilayah-wilayah penting di Chian telah membaik lebih dari 40% sejak 2013, konsentrasi partikel kecil PM2,5 di Seoul masih tetap atau sedikit meningkat,” ungkap Liu Bingjiang dari departemen polusi atmosfer Kementerian Ekologi dan Lingkungan China.
“Pengalaman banyak negara menunjukkan bahwa dalam proses mengatasi polusi udara di kawasan, pembatasan emisi lokal di kota-kota besar itu lebih penting,” papar Liu.
Liu menjelaskan, “Jika kita menyalahkan dampak transmisi (debu) dan tidak menghadapi masalah kita sendiri, kita akan memahami masalah itu dan mengabaikan peluang terbaik untuk mengatasi polusi udara.”
Dia menyatakan, China bekerja sama dengan negara-negara tetangga seperti Korsel dan Jepang serta melaukan lebih banyak studi untuk memahami interaksi polusi antar berbagai kota. Studi gabungan dilakukan badan antariksa Amerika Serikat, NASA dan Institut Riset Lingkungan Nasional Korsel pada 2016 menemukan bahwa sekitar 52% polutan di Korsel berasal dari dalam negeri, sementara 48% datang dari negara-negara lain, termasuk 34% dari China.
Para pejabat China dan Korsel telah bertemu di Seoul, kemarin, sebagai bagian dari perundingan membahas masalah polusi. Pejabat dari Kementerian Lingkungan Korsel menjelaskan, hasil studi gabungan oleh Korsel, Jepang, dan China akan dirilis para November.
Pejabat Kementerian Lingkungan China menyatakan pemerintah akan menerapkan hukuman pada para pejabat daerah yang gagal memenuhi target kualitas udara pada musim dingin ini. Pemerintah tidak akan menerima alasan cuaca atau tekanan ekonomi sebagai penyebab gagalnya pemenuhan target kualitas udara.
China telah memasuki tahun kelima dalam perang melawan polusi untuk mengurangi dampak lingkungan dari empat dekade pertumbuhan ekonomi yang pesat. Tahun lalu, China telah mengurangi konsentrasi partikel berbahaya yang disebut PM2,5 hingga rata-rata 9,3% di 338 kota.
Meski demikian, di wilayah kontrol bagian utara yakni Beijing-Tianjin-Hebei, konsentrasi partikel itu meningkat rata-rata 73 mikrogram per meter kubik dalam tiga bulan terakhir, lebih dari dua kali lipat dari batas resmi 35 mikrogram.
Kondisi ini memicu kekhawatiran bahwa pemerintah lokal menutup mata pada penyebab polusi udara. Provinsi Henan yang menjadi tempat bagi kota-kota dengan kinerja terburuk pada kuartal terakhir 2018 menyalahkan kondisi cuaca yang tak menguntungkan atas memburuknya polusi udara.
“Tidak ada jalan bagi para pejabat lokal menghindari hukuman dengan menggunakan kondisi cuaca sebagai alasan. Sama juga, situasi ekonomi tidak dapat digunakan sebagai alasan,” papar Liu Bingjiang, kepala departemen lingkungan atmosfer.
Liu menambahkan, “Bagi mereka yang gagal memenuhi target, kami akan meminta mereka bertanggung jawab secara publik dan pemerintah lokal perlu menjelaskan langkah-langkah hukuman secara rinci.”
Korsel sering menuduh China mengakibatkan sebagian besar polusi udara tapi Beijing menyatakan China tidak sepenuhnya bersalah dan Korsel harus bertanggung jawab untuk kualitas udaranya sendiri.
“Rakyat telah sangat menderita pekan lalu akibat banyaknya debu selama beberapa hari. Saya merasa sungguh malu karena kami tidak mampu membersihkan masalah itu,” papar Moon saat rapat kabinet kemarin, dilansir Reuters.
Korsel telah mengalami penurunan kualitas udara. Tahun lalu, pemerintah menutup lima pembangkit listrik tenaga batubara yang telah berumur tua mulai Maret hingga Juni untuk mengurangi polusi udara.
Moon juga menyerukan langkah lebih lanjut termasuk mengurangi jumlah mobil diesel di jalanan dan memodernisasi pemanas rumah. Moon menjelaskan, polusi udara sebagai bencana yang harus diatasi melalui upaya kreatif dan kerja masa antar pemerintah.
“Kami tahu bahwa di sana ada kesepakatan besar mengenai kekhawatiran publik karena debu halus itu datang dari China dan karena China juga menderita akibat debu halus, maka perlu diperkuat kerja sama untuk secara drastis mengurangi debu halus,” papar Moon.
Pejabat senior China mengakui polusi itu merupakan masalah regional tapi Korsel harus bertindak lebih banyak untuk menyelesaikan masalahnya sendiri di kota-kota besar seperti Seoul.
“Meski kualitas udara di wilayah-wilayah penting di Chian telah membaik lebih dari 40% sejak 2013, konsentrasi partikel kecil PM2,5 di Seoul masih tetap atau sedikit meningkat,” ungkap Liu Bingjiang dari departemen polusi atmosfer Kementerian Ekologi dan Lingkungan China.
“Pengalaman banyak negara menunjukkan bahwa dalam proses mengatasi polusi udara di kawasan, pembatasan emisi lokal di kota-kota besar itu lebih penting,” papar Liu.
Liu menjelaskan, “Jika kita menyalahkan dampak transmisi (debu) dan tidak menghadapi masalah kita sendiri, kita akan memahami masalah itu dan mengabaikan peluang terbaik untuk mengatasi polusi udara.”
Dia menyatakan, China bekerja sama dengan negara-negara tetangga seperti Korsel dan Jepang serta melaukan lebih banyak studi untuk memahami interaksi polusi antar berbagai kota. Studi gabungan dilakukan badan antariksa Amerika Serikat, NASA dan Institut Riset Lingkungan Nasional Korsel pada 2016 menemukan bahwa sekitar 52% polutan di Korsel berasal dari dalam negeri, sementara 48% datang dari negara-negara lain, termasuk 34% dari China.
Para pejabat China dan Korsel telah bertemu di Seoul, kemarin, sebagai bagian dari perundingan membahas masalah polusi. Pejabat dari Kementerian Lingkungan Korsel menjelaskan, hasil studi gabungan oleh Korsel, Jepang, dan China akan dirilis para November.
Pejabat Kementerian Lingkungan China menyatakan pemerintah akan menerapkan hukuman pada para pejabat daerah yang gagal memenuhi target kualitas udara pada musim dingin ini. Pemerintah tidak akan menerima alasan cuaca atau tekanan ekonomi sebagai penyebab gagalnya pemenuhan target kualitas udara.
China telah memasuki tahun kelima dalam perang melawan polusi untuk mengurangi dampak lingkungan dari empat dekade pertumbuhan ekonomi yang pesat. Tahun lalu, China telah mengurangi konsentrasi partikel berbahaya yang disebut PM2,5 hingga rata-rata 9,3% di 338 kota.
Meski demikian, di wilayah kontrol bagian utara yakni Beijing-Tianjin-Hebei, konsentrasi partikel itu meningkat rata-rata 73 mikrogram per meter kubik dalam tiga bulan terakhir, lebih dari dua kali lipat dari batas resmi 35 mikrogram.
Kondisi ini memicu kekhawatiran bahwa pemerintah lokal menutup mata pada penyebab polusi udara. Provinsi Henan yang menjadi tempat bagi kota-kota dengan kinerja terburuk pada kuartal terakhir 2018 menyalahkan kondisi cuaca yang tak menguntungkan atas memburuknya polusi udara.
“Tidak ada jalan bagi para pejabat lokal menghindari hukuman dengan menggunakan kondisi cuaca sebagai alasan. Sama juga, situasi ekonomi tidak dapat digunakan sebagai alasan,” papar Liu Bingjiang, kepala departemen lingkungan atmosfer.
Liu menambahkan, “Bagi mereka yang gagal memenuhi target, kami akan meminta mereka bertanggung jawab secara publik dan pemerintah lokal perlu menjelaskan langkah-langkah hukuman secara rinci.”
(don)