Kurdi Tolak Zona Aman di Suriah
A
A
A
MOSKOW - Kurdi Suriah menolak proposal Amerika Serikat (AS) untuk zona keamanan yang dikontrol Turki di wilayah Suriah.
Pemimpin politik senior Kurdi, Aldar Khalil menyatakan Kurdi akan menerima pengerahan pasukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sepanjang garis pemisah antara pejuang Kurdi dan pasukan Turki untuk mencegah ancaman serangan dari Turki.
“Pilihan lain tidak dapat diterima karena mereka memasuki kedaulatan Suriah dan kedaulatan wilayah otonom kami,” papar Khalil.
Khalil menambahkan, Presiden AS Donald Trump ingin menerapkan zona aman melalui kerja sama dengan Turki. “Tapi setiap peran untuk Turki akan mengganggu keseimbangan dan kawasan tidak akan aman,” ungkap Khalil.
“Secara bertentangan, Turki bagian dari konlik dan semua pihak yang terlibat tak dapat menjamin keamanan,” ujar dia.
Militer Turki telah meluncurkan dua operasi militer skala besar di Suriah yakni Tameng Eufrat pada 2016 melawan milisi Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) dan pejuang Kurdi Suriah, serta operasi Ranting Zaitun pada 2018 yang menargetkan Kurdi.
Sebelumnya, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menyatakan dia telah membahas zona aman saat berunding dengan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump melalui telepon. Erdogan menjelaskan, zona aman akan dibuat di wilayah Suriah, sepanjang perbatasan dengan Turki. Menurut Erdogan, pembicaraan dengan Trump berjalan positif.
Trump mengumumkan pada bulan lalu bahwa dia akan menarik pasukan AS dari wilayah timurlaut Suriah. Dia juga menyebut tentang membentuk zona aman.
“Isu zona aman, termasuk zona aman sepanjang perbatasan Turki yang akan dibangun oleh kami, satu isu yang saya angkat sejak era Obama, ditegaskan lagi oleh dia sepanjang 20 mil,” kata Erdogan pada para anggota parlemen dari Partai AK yang dipimpinnya.
Dia menjelaskan, zona itu dapat diperpanjang lebih dari 20 mil tapi dia tidak menjelaskan seberapa jauh. Turki berjanji mengambil alih dalam perang melawan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) setelah penarikan pasukan AS dari Suriah. Meski demikian, perselisihan antara Washington dan Ankara terkait milisi Kurdi YPG telah memicu ketegangan antara dua mitra NATO itu.
YPG menjadi aliansi utama AS dalam melawan ISIS tapi Turki menganggap kelompok itu sebagai organisasi teroris dan kepanjangan dari Partai Pekerja Kurdistan (PKK) yang melancarkan pemberontakan di Turki selama puluhan tahun.
Pembicaraan melalui telepon antara kedua presiden itu berlangsung setelah Trump mengancam Turki dengan kehancuran ekonomi jika pasukan Turki menyerang milisi YPG. Erdogan menyatakan dia sedih dengan tweet Trump tapi pembicaraan melalui telepon setelah itu berlangsung positif.
Ancaman Trump untuk menghancurkan ekonomi Turki juga memicu kekhawatiran para investor, membuat lira turun hingga 1,6% pada Senin (14/1). Erdogan menyatakan dia dan Trump telah sepakat memperbaiki hubungan ekonomi selama pembicaraan melalui telepon.
“Turki akan terus melakukan apa yang harus dilakukan untuk menyelesaikan isu ini terkait semangat aliansi, sepanjang hak dan hukum kami dihormati. Kami mencapai pemahaman historis dengan Trump malam lalu,” ujar Erdogan.
Pada krisis diplomatik tahun lalu, Trump menerapkan sanksi pada dua menteri kabinet Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dan menaikkan tarif untuk ekspor logam Turki. Tindakan Trump ketika itu membuat lira Turki melemah ke rekor terendah pada Agustus.
Trump menegaskan, AS memulai penarikan militer dari Suriah yang dia umumkan pada Desember tapi Washington akan terus menyerang para milisi ISIS di sana. “Akan menyerang lagi dari pangkalan terdekat yang ada jika itu berubah. Akan menghancurkan Turki secara ekonomi jika mereka menyerang Kurdi. Menciptakan 20 mil zona aman. Serta tidak ingin Kurdi memprovokasi Turki,” tulis Trump dalam tweet-nya.
Sementara, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dan Presiden Rusia Vladimir Putin akan bertemu di Moskow pekan depan untuk membahas Suriah terkait rencana penarikan pasukan Amerika Serikat (AS).
Rusia juga ingin mengusulkan konferensi tingkat tinggi (KTT) tiga pihak tentang Suriah di Rusia dengan Iran dan Turki. Rusia, Iran dan Turki menjadi tiga pemain utama dalam konflik di Suriah yang terus menjalin komunikasi terkait perang sipil di negara itu. (Syarifudin)
Pemimpin politik senior Kurdi, Aldar Khalil menyatakan Kurdi akan menerima pengerahan pasukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sepanjang garis pemisah antara pejuang Kurdi dan pasukan Turki untuk mencegah ancaman serangan dari Turki.
“Pilihan lain tidak dapat diterima karena mereka memasuki kedaulatan Suriah dan kedaulatan wilayah otonom kami,” papar Khalil.
Khalil menambahkan, Presiden AS Donald Trump ingin menerapkan zona aman melalui kerja sama dengan Turki. “Tapi setiap peran untuk Turki akan mengganggu keseimbangan dan kawasan tidak akan aman,” ungkap Khalil.
“Secara bertentangan, Turki bagian dari konlik dan semua pihak yang terlibat tak dapat menjamin keamanan,” ujar dia.
Militer Turki telah meluncurkan dua operasi militer skala besar di Suriah yakni Tameng Eufrat pada 2016 melawan milisi Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) dan pejuang Kurdi Suriah, serta operasi Ranting Zaitun pada 2018 yang menargetkan Kurdi.
Sebelumnya, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menyatakan dia telah membahas zona aman saat berunding dengan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump melalui telepon. Erdogan menjelaskan, zona aman akan dibuat di wilayah Suriah, sepanjang perbatasan dengan Turki. Menurut Erdogan, pembicaraan dengan Trump berjalan positif.
Trump mengumumkan pada bulan lalu bahwa dia akan menarik pasukan AS dari wilayah timurlaut Suriah. Dia juga menyebut tentang membentuk zona aman.
“Isu zona aman, termasuk zona aman sepanjang perbatasan Turki yang akan dibangun oleh kami, satu isu yang saya angkat sejak era Obama, ditegaskan lagi oleh dia sepanjang 20 mil,” kata Erdogan pada para anggota parlemen dari Partai AK yang dipimpinnya.
Dia menjelaskan, zona itu dapat diperpanjang lebih dari 20 mil tapi dia tidak menjelaskan seberapa jauh. Turki berjanji mengambil alih dalam perang melawan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) setelah penarikan pasukan AS dari Suriah. Meski demikian, perselisihan antara Washington dan Ankara terkait milisi Kurdi YPG telah memicu ketegangan antara dua mitra NATO itu.
YPG menjadi aliansi utama AS dalam melawan ISIS tapi Turki menganggap kelompok itu sebagai organisasi teroris dan kepanjangan dari Partai Pekerja Kurdistan (PKK) yang melancarkan pemberontakan di Turki selama puluhan tahun.
Pembicaraan melalui telepon antara kedua presiden itu berlangsung setelah Trump mengancam Turki dengan kehancuran ekonomi jika pasukan Turki menyerang milisi YPG. Erdogan menyatakan dia sedih dengan tweet Trump tapi pembicaraan melalui telepon setelah itu berlangsung positif.
Ancaman Trump untuk menghancurkan ekonomi Turki juga memicu kekhawatiran para investor, membuat lira turun hingga 1,6% pada Senin (14/1). Erdogan menyatakan dia dan Trump telah sepakat memperbaiki hubungan ekonomi selama pembicaraan melalui telepon.
“Turki akan terus melakukan apa yang harus dilakukan untuk menyelesaikan isu ini terkait semangat aliansi, sepanjang hak dan hukum kami dihormati. Kami mencapai pemahaman historis dengan Trump malam lalu,” ujar Erdogan.
Pada krisis diplomatik tahun lalu, Trump menerapkan sanksi pada dua menteri kabinet Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dan menaikkan tarif untuk ekspor logam Turki. Tindakan Trump ketika itu membuat lira Turki melemah ke rekor terendah pada Agustus.
Trump menegaskan, AS memulai penarikan militer dari Suriah yang dia umumkan pada Desember tapi Washington akan terus menyerang para milisi ISIS di sana. “Akan menyerang lagi dari pangkalan terdekat yang ada jika itu berubah. Akan menghancurkan Turki secara ekonomi jika mereka menyerang Kurdi. Menciptakan 20 mil zona aman. Serta tidak ingin Kurdi memprovokasi Turki,” tulis Trump dalam tweet-nya.
Sementara, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dan Presiden Rusia Vladimir Putin akan bertemu di Moskow pekan depan untuk membahas Suriah terkait rencana penarikan pasukan Amerika Serikat (AS).
Rusia juga ingin mengusulkan konferensi tingkat tinggi (KTT) tiga pihak tentang Suriah di Rusia dengan Iran dan Turki. Rusia, Iran dan Turki menjadi tiga pemain utama dalam konflik di Suriah yang terus menjalin komunikasi terkait perang sipil di negara itu. (Syarifudin)
(nfl)