Muzoon Almellehan Duta Termuda dari Unicef

Senin, 24 Desember 2018 - 12:05 WIB
Muzoon Almellehan Duta...
Muzoon Almellehan Duta Termuda dari Unicef
A A A
DALAM usia 18 tahun, Muzoon sudah terpilih sebagai duta badan PBB untuk anak-anak UNICEF. Tekadnya untuk memperjuangkan hak pendidikan bagi pengungsi anak perempuan seperti dirinya membuat Muzoon dijuluki sebagai “ Malala Yousafzai dari Suriah “Perang Suriah telah mengubah hidup gadis kelahiran April 1999 tersebut.

Sebelum pecah perang, Muzoon hidup tenang di Kota Daraa bersama ayahnya yang seorang guru, ibu, serta tiga adiknya; dua laki-laki dan satu perempuan. Setelah Perang Sipil Suriah berlangsung selama tiga tahun, keluarganya lantas memutuskan untuk mengungsi ke Yordania pada 2014.

Muzoon ingat betul, pada saat itu dia hanya diizinkan membawa satu tas, dan tanpa ragu dia memasukkan buku-buku sekolahnya ke tas tersebut. “Salah satu yang saya khawatirkan saat itu adalah saya tidak bisa melanjutkan sekolah di kamp pengungsi,” ujarnya, dikutip Friday Magazine.

Beruntung, dia ditempat kan di kamp pengungsi Zaíatari. Di sana dia bisa melanjutkan sekolahnya. “Momen itu mengubah hidup saya. Itu memberi saya harapan dan membuat saya lebih kuat. Itu membuat saya menjadi siapa saya sekarang,” ucapnya, dikutip situs web UNHCR.

Meski bisa melanjutkan sekolah, di kamp ini Muzoon menyaksikan satu fakta yang membuatnya terkejut sekaligus sedih. Teman-temannya ternyata banyak yang putus sekolah, lantas menikah dini, termasuk satu teman baiknya.

Dalam waktu kurang dari satu tahun sekolah, Muzoon melihat jumlah murid perempuan di kelasnya menyusut dari 40 siswa menjadi 20 siswa karena hampir separuhnya berhenti sekolah karena menikah.

Padahal, menikah dini bukanlah budaya para perempuan di Suriah sebelum pecah perang. Tak hanya satu kamp, di kamp Azraq pun dia menemukan kasus serupa. Pada saat itu dia mencoba menasihati dua temannya agar tidak berhenti sekolah demi menikah. “Tapi mereka tidak mendengarkan. Mereka tidak menyadari efek negatif dari pernikahan dini,” tuturnya.

Dia mengatakan, bagi banyak orang tua, mendidik anak perempuan bukanlah prioritas. Mereka percaya pernikahan adalah satusatunya cara untuk melindungi para gadis dan mengamankan masa depan mereka.

Ini tercermin dalam tingkat perkawinan anak-anak di antara para pengungsi Suriah di Yordania. Menurut laporan UNICEF, pada 2012 angka ini meningkat dari 18% menjadi 25%. Lalu naik lagi menjadi 32% pada kuartal pertama 2014. Hal inilah yang akhirnya membuat Muzoon serius mengabdikan diri sebagai aktivis pendidikan. Aksinya semakin mendapat tempat saat dia pindah mengungsi ke Inggris pada 2015.

Bicara di forum dunia
Tahun lalu Muzoon bersama tim UNICEF hadir dalam pertemuan G20 di Hamburg, Jerman. Di sini dia bertemu dengan beberapa pemimpin dunia, termasuk Kanselir Jerman Angela Merkel. “Ini adalah kesempatan besar bagi saya untuk berbicara kepada mereka tentang mendukung pengungsi dan hak semua anak untuk mendapatkan pendidikan,” katanya.

Langkah Muzoon memang tidak terbendung setelah dia ditunjuk menjadi goodwill ambassador UNICEF termuda pada Juni tahun lalu.

Dia menorehkan sejarah karena menjadi orang pertama dengan status pengungsi resmi yang menjadi goodwill ambassador . Sebagai duta UNICEF, namanya pun bersanding dengan Amitabh Bachchan, Jackie Chan, Sir Roger Moore, Novak Djokovic, dan David Beckham.

Pada April lalu dia kembali meneriakkan perjuangannya dalam pertemuan pejabat pemerintah, masyarakat sipil, dan organisasi internasional di Jenewa, Swiss. “Saya sangat khawatir tentang pendidikan. Ini adalah senjata terhebat yang dapat membantu kami memperjuangkan hak kami dan mencapai impian kami,” tuturnya.

Pertemuan Let Them Learn: Access to Education for Refugee Children di Palais des Nations ini diadakan di sela-sela pembicaraan formal untuk membahas peningkatan akses pengungsi pada pendidikan.

Muzoon juga menyerukan agar pemerintah di seluruh dunia menempatkan pendidikan menjadi prioritas utama. “Sebagai seorang pengungsi, saya melihat apa yang terjadi ketika anak-anak dipaksa untuk menikah dini atau pekerjaan kasar. Mereka kehilangan pendidikan dan mereka kehilangan kemungkinan untuk masa depan,” katanya.

Menurut penelitian UNHCR bertajuk “Left Behind: Refugee Education in Crisis”, di seluruh dunia hanya 61% dari anak-anak pengungsi yang menghadiri sekolah dasar dibandingkan dengan tingkat global sebesar 91%. Lalu 23% anak-anak pengungsi bersekolah di sekolah menengah dibandingkan dengan tingkat global 84%. Hanya 1% dari remaja pengungsi yang masuk universitas dibandingkan dengan 36% pemuda secara global. Kini, Muzoon bagian dari 1% tersebut.

Dia kini berkuliah di Inggris. “Ini adalah pencapaian besar bagi saya pribadi, dan satu yang saya harap akan menginspirasi orang muda lain dalam situasi saya untuk terus berjuang demi pendidikan mereka dan tidak pernah menyerah,” sebutnya, dikutip inews.co.uk.

Dia pun senang jika pada akhirnya banyak orang mendengarkan saran yang diberikannya. Sikap polos dan lembut yang dimilikinya berhasil meyakinkan para orang tua jika pernikahan dini bukanlah solusi yang tepat, melainkan pendidikan. Meski kini tinggal di Inggris, cita-citanya adalah kembali ke Suriah untuk membangun kembali negeri tercintanya.

“Ini akan membutuhkan dokter, insinyur, pengacara, dan jurnalis untuk mewujudkan hal ini. Bukan orang-orang yang kehilangan harapan,” katanya kepada The Guardian. (Susi Susanti)
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1508 seconds (0.1#10.140)