Pria Amerika Tewas Dibunuh Suku India yang Terancam Punah

Kamis, 22 November 2018 - 00:56 WIB
Pria Amerika Tewas Dibunuh...
Pria Amerika Tewas Dibunuh Suku India yang Terancam Punah
A A A
NEW DELHI - Seorang pria asal Amerika Serikat (AS) telah dibunuh oleh suku yang terancam punah di Pulau Andaman dan Nikobar di India. Nelayan yang membawa pria itu ke pulau Sentinel Utara mengatakan, suku terasing itu membunuhnya dengan panah dan meninggalkan mayatnya di pantai.

Pria nahas itu diidentifikasi sebagai John Allen Chau, 27 tahun berasal dari Alabama.

Kontak dengan suku-suku Andaman yang terancam punah yang hidup terisolasi dari dunia adalah ilegal karena risiko bagi mereka dari penyakit luar. Diperkirakan penduduk pulau Sentinel itu, yang benar-benar terputus dari peradaban, jumlahnya hanya antara 50 dan 150.

Pihak kepolisian mengatakan tujuh nelayan telah ditangkap karena secara ilegal mengangkut warga AS ke itu.

Media lokal telah melaporkan bahwa Chau mungkin ingin bertemu suku untuk meneyebarkan agama Kristen kepada mereka.

"Polisi mengatakan Chau sebelumnya telah mengunjungi pulau Sentinel Utara sekitar empat atau lima kali dengan bantuan nelayan setempat," kata wartawan Subir Bhaumik, yang telah meliput kepulauan itu selama bertahun-tahun, dikutip dari BBC Kamis (22/11/2018).

"Jumlah orang yang tergabung dalam suku Sentinelese sangat rendah, mereka bahkan tidak mengerti bagaimana cara menggunakan uang. Itu sebenarnya ilegal untuk memiliki semacam kontak dengan mereka," imbuhnya.

Pada 2017, pemerintah India juga mengatakan mengambil foto atau membuat video suku Andaman asli akan dihukum dengan hukuman penjara hingga tiga tahun.

Kantor berita AFP mengutip sumber yang mengatakan bahwa Chau telah mencoba dan gagal mencapai pulau itu pada 14 November. Tetapi kemudian dia mencoba lagi dua hari kemudian.

"Dia diserang oleh panah tetapi dia terus berjalan. Para nelayan melihat suku-suku itu mengikat tali di lehernya dan menyeret tubuhnya. Mereka ketakutan dan melarikan diri," bunyi laporan itu.

Tubuh Chau ditemukan pada 20 November. Menurut Hindustan Times, mayatnya belum diambil.

"Ini kasus yang sulit bagi polisi," kata Bhaumik. "Kamu bahkan tidak bisa menangkap Sentinel," imbuhnya.

Orang-orang Sentinel adalah salah satu kelompok pertama yang berhasil bermigrasi keluar dari Afrika dan para ilmuwan percaya bahwa mereka datang ke pulau-pulau Andaman 60.000 tahun yang lalu.

Organisasi global seperti Survival International yang berbasis di London telah berkampanye untuk melindungi suku-suku asli yang tinggal di Andaman.

Suku ini tinggal di pulau mereka sendiri, kira-kira seukuran Manhattan, tetapi sebagian besar dari apa yang diketahui tentang mereka berasal dari melihat mereka dari kejauhan.

Direktur internasional kelompok itu, Stephen Corry, menyebut insiden itu sebagai "tragedi" yang "tidak boleh dibiarkan terjadi".

"The Sentinelese telah menunjukkan berulang kali bahwa mereka ingin dibiarkan sendiri, dan keinginan mereka harus dihormati," ujarnya.

"Pendudukan kolonial Inggris di Kepulauan Andaman memusnahkan suku-suku yang tinggal di sana, memusnahkan ribuan suku bangsa, dan hanya sebagian kecil dari penduduk asli yang sekarang bertahan. Jadi ketakutan Sentinel terhadap orang luar sangat bisa dimengerti," terangnya.

Dua suku Andaman asli yang terancam punah - Jarawa dan Sentinelese - adalah pengumpul hewan buruan, dan kontak dengan dunia luar akan menempatkan mereka pada risiko terkena penyakit.

The Sentinelese sangat rentan: isolasi lengkap mereka berarti mereka cenderung tidak memiliki kekebalan terhadap bahkan penyakit umum seperti flu dan campak.

"Bukan tidak mungkin bahwa Sentinelese baru saja terinfeksi oleh patogen mematikan yang mereka tidak memiliki kekebalan, dengan potensi untuk menghapus seluruh suku," kata Corry.

Kelompok-kelompok juga menyuarakan keprihatinan tentang Jarawa - sebuah suku yang memiliki kontak dengan dunia luar, termasuk jalan yang memotong wilayah mereka yang digunakan oleh beberapa wisatawan untuk perjalanan "safari".
(ian)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0760 seconds (0.1#10.140)