Ilhan Omar, Imigran Somalia yang Sukses Duduki Kursi Kongres
A
A
A
LHAN Omar mencatat sejarah sebagai imigran Somalia pertama yang berhasil menjadi anggota Kongres Amerika Serikat (AS). Dia juga menjadi salah satu muslim perempuan yang duduk di sana.
Kemenangan Omar yang mewakili Distrik Kongres ke-5 Minnesota diumumkan saat pemilu awal November lalu. Ini adalah distrik yang terdiri dari Minneapolis dan beberapa wilayah pinggiran atau suburban lainnya. Saat kampanye, Omar berjanji memberikan kesetaraan kepada seluruh warga di wilayah tersebut, biaya pengobatan yang terjangkau, kuliah gratis, dan upah minimum USD15 (Rp220.000).
Meski Omar baru akan duduk di Kongres pada Januari tahun depan. Terpilihnya Omar membuat warga AS keturunan Afrika dan warga muslim di sana terdongkrak harapannya untuk mendapatkan kebijakan yang berpihak pada warga minoritas.
“Di Minnesota, kami tidak hanya menerima imigran, tapi juga mengirim mereka ke Washington,” ungkapnya menggebu-gebu kepada para pendukungnya saat pesta kemenangan, dikutip Minneapolis Star-Tribune. Kisah Omar yang baru saja berulang tahun ke- 37 pada 4 Oktober lalu ini memang menyentuh hati dan menghentak dunia.
Siapa menyangka, bekas pengungsi bisa menjadi anggota Kongres AS yang biasanya didominasi warga kulit putih. Omar melarikan diri dari perang saudara di Somalia bersama keluarganya pada 1991. Keluarganya melarikan diri ke Kenya dan tinggal di kamp Dadaab selama empat tahun. Saat itu kamp masih terisolasi dengan sanitasi terbatas.
Di sana juga banyak yang meninggal karena malaria. Omar mengumpulkan kayu bakar dan air untuk keluarga. Dia juga mengaku iri menyaksikan anakanak berusia sama dengannya pergi ke sekolah dengan seragam. Saat masih tinggal di Somalia, ibu tiga anak ini menceritakan, milisi bersiap menyerang rumah keluarganya di Mogadishu pada tengah malam.
Saat me nyelamatkan diri, dia ingat sekali saat itu jalanan dipenuhi puing-puing dan mayat. Lepas dari Kenya, Omar dan keluarga akhirnya pergi ke AS pada awal 2000 berkat sponsor suaka. Saat itu usianya 12 tahun. Mereka tinggal di Virginia dan akhirnya pindah ke Minneapolis.
Menurut The New Yorker, satu-satunya bahasa Inggris yang dia tahu saat itu adalah ‘halo’ dan ‘diam’. Omar pun mulai menata lagi kehidupannya. Dia belajar di North Dakota State University dan bekerja sebagai pembantu kebijakan Dewan Kota Minneapolis.
Dia bergabung dengan Partai Demokrat dari Minnesota dan memulai karier politiknya melakukan penjangkauan kesehatan umum untuk program ekstensi Universitas Minnesota. Pada 2016, pada usia 33 tahun, Omar menjadi perempuan Somalia pertama yang memenangi kursi legislatif di Minnesota House. Dia berhasil menggeser petahana Phyllis Kahn yang telah menjabat selama 44 tahun.
Dia juga mengalahkan ilmuwan komputer, aktivis, dan politikus Mohamud Noor, yang juga seorang pengungsi Somalia. Omar termotivasi untuk membantu mereka yang sedang berjuang. “Kakek saya mengajari saya, ketika Anda melihat ketidakadilan, Anda lawan. Anda tidak menyerah pada kesedihan,” ungkapnya.
Disambut di Bekas Kamp
Menurut Guardian , Kamp Dadaab yang pernah menjadi tempat tinggal Omar langsung menggelar doa dan perayaan bersama setelah mendengar kemenangan tersebut. Penduduk kamp pun ingat bahwa Omar pernah tinggal di sana hampir 30 tahun yang lalu.
Hingga kini Kamp Dadaab memang tetap terbuka dan telah berkembang menjadi kompleks yang luas dengan lebih dari 250.000 penduduk. Omar pernah mengunjungi Dadaab pada 2011 untuk memberikan bantuan kemanusiaan. Kemenangan Omar mengingatkan banyak orang pada Barack Obama.
Menurut The New Yorker, strategi politik Omar mirip Obama, yakni bekerja dengan orang muda. Manajer kampanye Omar, direktur komunikasi dan direktur lapangan, semuanya berusia 20-an tahun. Bahkan, anak sulungnya, Isra Hirsi, yang berusia 15 tahun menjadi pengorganisasi dalam kampanye ibunya.
Kemenangan Omar yang mewakili Distrik Kongres ke-5 Minnesota diumumkan saat pemilu awal November lalu. Ini adalah distrik yang terdiri dari Minneapolis dan beberapa wilayah pinggiran atau suburban lainnya. Saat kampanye, Omar berjanji memberikan kesetaraan kepada seluruh warga di wilayah tersebut, biaya pengobatan yang terjangkau, kuliah gratis, dan upah minimum USD15 (Rp220.000).
Meski Omar baru akan duduk di Kongres pada Januari tahun depan. Terpilihnya Omar membuat warga AS keturunan Afrika dan warga muslim di sana terdongkrak harapannya untuk mendapatkan kebijakan yang berpihak pada warga minoritas.
“Di Minnesota, kami tidak hanya menerima imigran, tapi juga mengirim mereka ke Washington,” ungkapnya menggebu-gebu kepada para pendukungnya saat pesta kemenangan, dikutip Minneapolis Star-Tribune. Kisah Omar yang baru saja berulang tahun ke- 37 pada 4 Oktober lalu ini memang menyentuh hati dan menghentak dunia.
Siapa menyangka, bekas pengungsi bisa menjadi anggota Kongres AS yang biasanya didominasi warga kulit putih. Omar melarikan diri dari perang saudara di Somalia bersama keluarganya pada 1991. Keluarganya melarikan diri ke Kenya dan tinggal di kamp Dadaab selama empat tahun. Saat itu kamp masih terisolasi dengan sanitasi terbatas.
Di sana juga banyak yang meninggal karena malaria. Omar mengumpulkan kayu bakar dan air untuk keluarga. Dia juga mengaku iri menyaksikan anakanak berusia sama dengannya pergi ke sekolah dengan seragam. Saat masih tinggal di Somalia, ibu tiga anak ini menceritakan, milisi bersiap menyerang rumah keluarganya di Mogadishu pada tengah malam.
Saat me nyelamatkan diri, dia ingat sekali saat itu jalanan dipenuhi puing-puing dan mayat. Lepas dari Kenya, Omar dan keluarga akhirnya pergi ke AS pada awal 2000 berkat sponsor suaka. Saat itu usianya 12 tahun. Mereka tinggal di Virginia dan akhirnya pindah ke Minneapolis.
Menurut The New Yorker, satu-satunya bahasa Inggris yang dia tahu saat itu adalah ‘halo’ dan ‘diam’. Omar pun mulai menata lagi kehidupannya. Dia belajar di North Dakota State University dan bekerja sebagai pembantu kebijakan Dewan Kota Minneapolis.
Dia bergabung dengan Partai Demokrat dari Minnesota dan memulai karier politiknya melakukan penjangkauan kesehatan umum untuk program ekstensi Universitas Minnesota. Pada 2016, pada usia 33 tahun, Omar menjadi perempuan Somalia pertama yang memenangi kursi legislatif di Minnesota House. Dia berhasil menggeser petahana Phyllis Kahn yang telah menjabat selama 44 tahun.
Dia juga mengalahkan ilmuwan komputer, aktivis, dan politikus Mohamud Noor, yang juga seorang pengungsi Somalia. Omar termotivasi untuk membantu mereka yang sedang berjuang. “Kakek saya mengajari saya, ketika Anda melihat ketidakadilan, Anda lawan. Anda tidak menyerah pada kesedihan,” ungkapnya.
Disambut di Bekas Kamp
Menurut Guardian , Kamp Dadaab yang pernah menjadi tempat tinggal Omar langsung menggelar doa dan perayaan bersama setelah mendengar kemenangan tersebut. Penduduk kamp pun ingat bahwa Omar pernah tinggal di sana hampir 30 tahun yang lalu.
Hingga kini Kamp Dadaab memang tetap terbuka dan telah berkembang menjadi kompleks yang luas dengan lebih dari 250.000 penduduk. Omar pernah mengunjungi Dadaab pada 2011 untuk memberikan bantuan kemanusiaan. Kemenangan Omar mengingatkan banyak orang pada Barack Obama.
Menurut The New Yorker, strategi politik Omar mirip Obama, yakni bekerja dengan orang muda. Manajer kampanye Omar, direktur komunikasi dan direktur lapangan, semuanya berusia 20-an tahun. Bahkan, anak sulungnya, Isra Hirsi, yang berusia 15 tahun menjadi pengorganisasi dalam kampanye ibunya.
(don)