HRW Sebut Pemerkosaan Bagian dari Kehidupan Normal di Korut
A
A
A
NEW YORK - Kelompok pembela hak asasi manusia (HAM), Human Rights Watch (HRW) merilis laporan baru tentang kekerasan seksual yang tidak diinginkan di Korea Utara (Korut). Menurut kelompok tersebut, pemerkosaan sudah menjadi bagian dari kehidupan normal.
Laporan yang dirilis hari Kamis (1/11/2018) menyatakan para pejabat Korea Utara melakukan kekerasan seksual terhadap perempuan dengan sedikit kepedulian akan konsekuensinya. Sedangkan pemerintah tidak menyelidiki atau menuntut pelaku dan tidak melakukan apa pun untuk mendukung para korban.
"Kontak seksual dan kekerasan yang tidak diinginkan sangat umum di Korea Utara itu telah diterima sebagai bagian dari kehidupan normal," kata kelompok HAM yang berbasis di New York tersebut dalam laporannya.
Menurut laporan setebal 86 halaman itu, perempuan yang diwawancarai mengatakan predator seksual termasuk pejabat tinggi partai, penjaga penjara, interogator, polisi rahasia, jaksa, dan tentara. Pelecehan semacam itu jarang dilaporkan, bukan hanya karena para korban takut aib sosial dalam masyarakat yang sangat konservatif, tetapi juga takut akan pembalasan.
"Kekerasan seksual di Korea Utara adalah rahasia umum, tidak dapat ditangani, dan ditoleransi secara luas," kata Direktur Eksekutif HRW, Kenneth Roth.
"Wanita Korea Utara mungkin akan mengatakan 'Me Too (Saya Juga)' jika mereka berpikir ada cara untuk mendapatkan keadilan, tetapi suara mereka dibungkam dalam kediktatoran Kim Jong-un," lanjut Roth mengacu pada nama pemimpin Korut.
Kelompok HAM itu mewawancarai 54 warga Korea Utara yang meninggalkan negaranya setelah 2011, ketika Kim Jong-un menjadi pemimpin, dan serta saat delapan mantan pejabat membelot.
Delapan mantan tahanan mengatakan bahwa mereka mengalami kombinasi kekerasan seksual, pelecehan verbal, dan perlakuan memalukan.
Para perempuan yang berprofesi sebagai pedagang mengatakan bahwa mereka mengalami kekerasan seksual oleh polisi atau pejabat lain ketika mereka melakukan perjalanan untuk pekerjaan mereka.
Yoon Mi Hwa, mantan pedagang berusia 30-an tahun yang melarikan diri dari Korea Utara pada tahun 2014 menceritakan apa yang dia lihat saat berada di pusat penahanan di negaranya. Dia ditahan di pusat penahanan saat mencoba melarikan diri ke China pada tahun 2009. Di pusat penahanan itulah, seorang wanita diperkosa penjaga tahanan setiap malam.
"Klik, klik, klik adalah suara paling mengerikan yang pernah saya dengar," kata Yoon kepada kelompok pembela HAM tersebut. "Itu adalah suara kunci sel dari ruang penjara kami. Setiap malam seorang penjaga penjara akan membuka sel. Saya berdiri diam, bertindak seolah-olah saya tidak memerhatikan," ujarnya.
Pada tahun 2014, sebuah Komisi Penyelidikan PBB tentang HAM di Korea Utara menuduh rezim negara itu melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan. Dikatakan bahwa pemerkosaan, aborsi paksa, dan bentuk-bentuk kekerasan seksual lainnya termasuk di antara "kekejaman yang tak terkatakan" terjadi di negara itu. Menurut komisi itu, menjadi hal umum untuk melihat wanita dipukuli dan dilecehkan secara seksual di depan umum.
Pada saat itu rezim Pyongyang membantah dan mengatakan bahwa Korea Utara adalah surga bagi perempuan.
Oh Jung Hee, mantan pedagang pasar berusia 40-an tahun yang meninggalkan negara itu pada tahun 2014, mengaku telah diserang secara seksual berkali-kali oleh penjaga pasar maupun pejabat polisi.
"Mereka menganggap kami mainan (seks)," katanya. "Kami (wanita) berada pada belas kasihan pria," ujarnya, yang dilansir Al Jazeera.
Park Young Hee, seorang petani, dipaksa kembali ke Korea Utara dari China pada musim semi 2010, setelah upaya pertamanya melarikan diri. Dia juga mengaku dilecehkan secara seksual saat diinterogasi oleh salah satu petugas. Pelecehan itu terjadi saat petugas bertanya tentang hubungan seksual yang dia lakukan dengan pria saat berada di China.
Laporan HRW menambahkan pelecehan seksual terhadap perempuan dimungkinkan oleh masyarakat yang sangat patriarki dan ketimpangan gender yang tertanam. Kemungkinan lain adalah penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, tidak adanya aturan hukum, serta kurangnya dukungan dan layanan hukum bagi para penyintas kekerasan seksual.
Laporan yang dirilis hari Kamis (1/11/2018) menyatakan para pejabat Korea Utara melakukan kekerasan seksual terhadap perempuan dengan sedikit kepedulian akan konsekuensinya. Sedangkan pemerintah tidak menyelidiki atau menuntut pelaku dan tidak melakukan apa pun untuk mendukung para korban.
"Kontak seksual dan kekerasan yang tidak diinginkan sangat umum di Korea Utara itu telah diterima sebagai bagian dari kehidupan normal," kata kelompok HAM yang berbasis di New York tersebut dalam laporannya.
Menurut laporan setebal 86 halaman itu, perempuan yang diwawancarai mengatakan predator seksual termasuk pejabat tinggi partai, penjaga penjara, interogator, polisi rahasia, jaksa, dan tentara. Pelecehan semacam itu jarang dilaporkan, bukan hanya karena para korban takut aib sosial dalam masyarakat yang sangat konservatif, tetapi juga takut akan pembalasan.
"Kekerasan seksual di Korea Utara adalah rahasia umum, tidak dapat ditangani, dan ditoleransi secara luas," kata Direktur Eksekutif HRW, Kenneth Roth.
"Wanita Korea Utara mungkin akan mengatakan 'Me Too (Saya Juga)' jika mereka berpikir ada cara untuk mendapatkan keadilan, tetapi suara mereka dibungkam dalam kediktatoran Kim Jong-un," lanjut Roth mengacu pada nama pemimpin Korut.
Kelompok HAM itu mewawancarai 54 warga Korea Utara yang meninggalkan negaranya setelah 2011, ketika Kim Jong-un menjadi pemimpin, dan serta saat delapan mantan pejabat membelot.
Delapan mantan tahanan mengatakan bahwa mereka mengalami kombinasi kekerasan seksual, pelecehan verbal, dan perlakuan memalukan.
Para perempuan yang berprofesi sebagai pedagang mengatakan bahwa mereka mengalami kekerasan seksual oleh polisi atau pejabat lain ketika mereka melakukan perjalanan untuk pekerjaan mereka.
Yoon Mi Hwa, mantan pedagang berusia 30-an tahun yang melarikan diri dari Korea Utara pada tahun 2014 menceritakan apa yang dia lihat saat berada di pusat penahanan di negaranya. Dia ditahan di pusat penahanan saat mencoba melarikan diri ke China pada tahun 2009. Di pusat penahanan itulah, seorang wanita diperkosa penjaga tahanan setiap malam.
"Klik, klik, klik adalah suara paling mengerikan yang pernah saya dengar," kata Yoon kepada kelompok pembela HAM tersebut. "Itu adalah suara kunci sel dari ruang penjara kami. Setiap malam seorang penjaga penjara akan membuka sel. Saya berdiri diam, bertindak seolah-olah saya tidak memerhatikan," ujarnya.
Pada tahun 2014, sebuah Komisi Penyelidikan PBB tentang HAM di Korea Utara menuduh rezim negara itu melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan. Dikatakan bahwa pemerkosaan, aborsi paksa, dan bentuk-bentuk kekerasan seksual lainnya termasuk di antara "kekejaman yang tak terkatakan" terjadi di negara itu. Menurut komisi itu, menjadi hal umum untuk melihat wanita dipukuli dan dilecehkan secara seksual di depan umum.
Pada saat itu rezim Pyongyang membantah dan mengatakan bahwa Korea Utara adalah surga bagi perempuan.
Oh Jung Hee, mantan pedagang pasar berusia 40-an tahun yang meninggalkan negara itu pada tahun 2014, mengaku telah diserang secara seksual berkali-kali oleh penjaga pasar maupun pejabat polisi.
"Mereka menganggap kami mainan (seks)," katanya. "Kami (wanita) berada pada belas kasihan pria," ujarnya, yang dilansir Al Jazeera.
Park Young Hee, seorang petani, dipaksa kembali ke Korea Utara dari China pada musim semi 2010, setelah upaya pertamanya melarikan diri. Dia juga mengaku dilecehkan secara seksual saat diinterogasi oleh salah satu petugas. Pelecehan itu terjadi saat petugas bertanya tentang hubungan seksual yang dia lakukan dengan pria saat berada di China.
Laporan HRW menambahkan pelecehan seksual terhadap perempuan dimungkinkan oleh masyarakat yang sangat patriarki dan ketimpangan gender yang tertanam. Kemungkinan lain adalah penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, tidak adanya aturan hukum, serta kurangnya dukungan dan layanan hukum bagi para penyintas kekerasan seksual.
(mas)