Marc Benioff, Raja Software yang Kini Menjadi Penguasa Media
A
A
A
MARC Benioff, pendiri dan CEO Salesforce.com, tiba-tiba membuat berita besar ketika dia dan istrinya, Lynne Benioff, memutuskan untuk membeli majalah Time senilai USD190 juta pada pertengahan September silam. Bagaimana si Raja Software tiba-tiba memutuskan menjadi pemilik media?
Di San Francisco dan Silicon Valley, Benioff dikenal sebagai salah satu perintis. Dia mendirikan perusahaan software Salesforce yang kini menjadi salah satu yang terbesar di dunia. Beberapa pengamat maklum dengan langkahnya.
Sebab, Benioff memang dikenal sebagai figur yang inspiratif. Dia sangat kaya, tetapi juga banyak membantu sesama. Yang paling terkenal adalah kegiatan filantropi yang diikuti banyak korporasi besar di Amerika Serikat. Modelnya 1-1-1, yaitu 1% dari modal perusahaan akan disumbangkan kepada yayasan miliknya, salesforcefoundation.org, 1% disisihkan dari waktu kerja untuk kegiatan nirlaba, dan 1% keuntungan untuk membantu 1.000 organisasi nirlaba. Bagaimana awal mulanya?
Inspirasi dari India
Benioff bergabung di Oracle pada usia 21 tahun. Karena punya otak encer, kariernya cepat melesat. Pada usia 25 tahun, dia menjadi VP termuda dan sangat sukses. “Gaji jutaan dolar per tahun hingga apartemen mewah saya dapatkan,” ungkapnya.
Namun, dalam hati kecilnya ada yang kurang. Menjalani kehidupan sebagai karyawan perusahaan sukses ternyata tidak memuaskan hatinya. “Mulanya memang saya mendefinisikan sukses dalam bentuk uang atau kekuasaan. Tetapi, pada usia 30-an, saya menyadari bahwa pencapaian semu ini tidak menyediakan saya kebahagiaan sebenarnya,” ucapnya.
Dia merasa ada yang kurang serta berupaya mencari posisinya di dunia dan membuat perubahan. Hal itu dituliskannya di buku Behind the Cloud pada 2009. Karena itu, dia mengambil cuti panjang selama enam bulan. Tujuan pertamanya adalah ke Hawaii.
Dia lantas menyewa sebuah vila di sebuah pulau untuk merefleksi diri. Selama tiga bulan di Hawaii, Benioff dan temannya yang juga sedang menghadapi krisis dalam karier memutuskan untuk pergi ke India. Mereka bertemu sejumlah guru spiritual. Tetapi, yang benar-benar mengubah pandangan hidupnya adalah Ammachi.
“Dialah yang mengenalkan saya akan ide, kemungkinan untuk memberi kembali ke dunia sambil mengejar ambisi karier. Saya menyadari bahwa sebelumnya saya tidak punya pilihan antara menjalankan bisnis dan berbuat baik. Saya ingin menyamakan dua nilai-nilai ini dan sukses di keduanya,” ungkap Benioff.
Fokus ke Tujuan
Setelah cuti, dia kembali ke Oracle dan melapor kepada bos sekaligus mentornya, Larry Ellison. Keputusannya untuk keluar dipahami Ellison. Inilah awal dia mendirikan Salesforce.com pada 1996. Itu tidak mudah. Untungnya, dia sudah memiliki koneksi yang membantunya mengamankan modal awal.
Saat itu industri software as a service bahkan belum terwujud. Pasar saat itu sedang berubah dari software as a service ke cloud . Momennya pas. “Saya menentukan tujuan dan sangat jelas terhadap apa yang ingin saya raih. Dari situ, langkah saya mulai menapak pasti. Ketika saya sedang drop, saat itulah saya merasa harus meneguhkan kembali niat dan tujuan,” tuturnya.
Setelah menjabat sebagai CEO, Salesforce langsung melesat secara finansial maupun filatropi. Bagi dia, mindset sangat vital untuk sukses. “Ada orang yang percaya keberuntungan atau karma. Mereka eksis. Tapi, yang lebih penting lagi adalah mindset . Sangat mudah dibutakan oleh kehidupan keseharian sehingga gagal melihat kesempatan dan peran penting yang seharusnya dapat dimainkan individu,” ujarnya.
Pada 2018, Benioff sukses membawa Salesforce menjadi salah satu perusahaan software terbesar di dunia. Tetapi, tahun ini pada usia 54 tahun, dia merasa masih ada yang kurang. Tibatiba Benioff bersama istrinya, Lynne, mengejutkan media ketika membeli majalah Time senilai USD190 juta.
Benioff berpendapat, dia percaya dengan multistakeholder . “Terutama pada momen ketika semua orang dan semuanya serbaterkoneksi,” ungkapnya. “Kita tidak punya pilihan untuk menjaga dan mempromosikan kendaraan media,” tambahnya.
Di San Francisco dan Silicon Valley, Benioff dikenal sebagai salah satu perintis. Dia mendirikan perusahaan software Salesforce yang kini menjadi salah satu yang terbesar di dunia. Beberapa pengamat maklum dengan langkahnya.
Sebab, Benioff memang dikenal sebagai figur yang inspiratif. Dia sangat kaya, tetapi juga banyak membantu sesama. Yang paling terkenal adalah kegiatan filantropi yang diikuti banyak korporasi besar di Amerika Serikat. Modelnya 1-1-1, yaitu 1% dari modal perusahaan akan disumbangkan kepada yayasan miliknya, salesforcefoundation.org, 1% disisihkan dari waktu kerja untuk kegiatan nirlaba, dan 1% keuntungan untuk membantu 1.000 organisasi nirlaba. Bagaimana awal mulanya?
Inspirasi dari India
Benioff bergabung di Oracle pada usia 21 tahun. Karena punya otak encer, kariernya cepat melesat. Pada usia 25 tahun, dia menjadi VP termuda dan sangat sukses. “Gaji jutaan dolar per tahun hingga apartemen mewah saya dapatkan,” ungkapnya.
Namun, dalam hati kecilnya ada yang kurang. Menjalani kehidupan sebagai karyawan perusahaan sukses ternyata tidak memuaskan hatinya. “Mulanya memang saya mendefinisikan sukses dalam bentuk uang atau kekuasaan. Tetapi, pada usia 30-an, saya menyadari bahwa pencapaian semu ini tidak menyediakan saya kebahagiaan sebenarnya,” ucapnya.
Dia merasa ada yang kurang serta berupaya mencari posisinya di dunia dan membuat perubahan. Hal itu dituliskannya di buku Behind the Cloud pada 2009. Karena itu, dia mengambil cuti panjang selama enam bulan. Tujuan pertamanya adalah ke Hawaii.
Dia lantas menyewa sebuah vila di sebuah pulau untuk merefleksi diri. Selama tiga bulan di Hawaii, Benioff dan temannya yang juga sedang menghadapi krisis dalam karier memutuskan untuk pergi ke India. Mereka bertemu sejumlah guru spiritual. Tetapi, yang benar-benar mengubah pandangan hidupnya adalah Ammachi.
“Dialah yang mengenalkan saya akan ide, kemungkinan untuk memberi kembali ke dunia sambil mengejar ambisi karier. Saya menyadari bahwa sebelumnya saya tidak punya pilihan antara menjalankan bisnis dan berbuat baik. Saya ingin menyamakan dua nilai-nilai ini dan sukses di keduanya,” ungkap Benioff.
Fokus ke Tujuan
Setelah cuti, dia kembali ke Oracle dan melapor kepada bos sekaligus mentornya, Larry Ellison. Keputusannya untuk keluar dipahami Ellison. Inilah awal dia mendirikan Salesforce.com pada 1996. Itu tidak mudah. Untungnya, dia sudah memiliki koneksi yang membantunya mengamankan modal awal.
Saat itu industri software as a service bahkan belum terwujud. Pasar saat itu sedang berubah dari software as a service ke cloud . Momennya pas. “Saya menentukan tujuan dan sangat jelas terhadap apa yang ingin saya raih. Dari situ, langkah saya mulai menapak pasti. Ketika saya sedang drop, saat itulah saya merasa harus meneguhkan kembali niat dan tujuan,” tuturnya.
Setelah menjabat sebagai CEO, Salesforce langsung melesat secara finansial maupun filatropi. Bagi dia, mindset sangat vital untuk sukses. “Ada orang yang percaya keberuntungan atau karma. Mereka eksis. Tapi, yang lebih penting lagi adalah mindset . Sangat mudah dibutakan oleh kehidupan keseharian sehingga gagal melihat kesempatan dan peran penting yang seharusnya dapat dimainkan individu,” ujarnya.
Pada 2018, Benioff sukses membawa Salesforce menjadi salah satu perusahaan software terbesar di dunia. Tetapi, tahun ini pada usia 54 tahun, dia merasa masih ada yang kurang. Tibatiba Benioff bersama istrinya, Lynne, mengejutkan media ketika membeli majalah Time senilai USD190 juta.
Benioff berpendapat, dia percaya dengan multistakeholder . “Terutama pada momen ketika semua orang dan semuanya serbaterkoneksi,” ungkapnya. “Kita tidak punya pilihan untuk menjaga dan mempromosikan kendaraan media,” tambahnya.
(don)