Indonesia Desak Percepatan Proses Repatriasi Pengungsi Rohingya
A
A
A
NEW YORK - Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi menyerukan percepatan proses repatriasi pengungsi Rohingya di Bangladesh. Hal itu disampaikan Retno dalam pertemuan Kelompok Kerja Tingkat Menteri mengenai Myanmar di sela-sela Sidang Majelis Umum PBB ke-73 di New York.
“Progress repatriasi oleh Pemerintah Myanmar di Rakhine State harus dapat segera kita lihat dan rasakan untuk meringankan beban pengungsi," kata Retno, seperti tertuang dalam siaran pers Kementerian Luar Negeri Indonesia yang diterima Sindonews pada Rabu (26/9).
Retno menyatakan kepercayaan dan kerja sama yang baik antara Bangladesh dan Myanmar merupakan aset yang sangat penting untuk proses repatriasi ini. “Kepercayaan ini krusial, karena memungkinkan kedua belah pihak dapat saling membuat situasi yang lebih baik agar proses repatriasi dapat segera berjalan," ucapnya.
Selain itu, Retno juga menegaskan agar perjanjian yang telah ditandatangani dan komite yang dibentuk harus ada tindak lanjut dan dapat diimplementasikan untuk memberikan progres nyata kepada proses repartiasi.
Myanmar telah menandatangani MoU dengan UNHCR dan UNDP pada tanggal 6 Juni 2018 dan telah membentuk berbagai komite untuk situasi di Rakhine State termasuk Central Committee for Implementation of Peace, Stability and Development of Rakhine State tahun 2016.
Dalam pertemuan ini, Retno turut menyampaikan pentingnya Masyarakat Internasional untuk terus memberikan perhatian dan pengawasan terhadap jalannya proses repartiasi di Rakhine State. Menurut Retno, masyarakat Internasional juga perlu untuk membantu secara komprehensif proses repartiasi ini.
Retno kemudian menekankan kembali tiga faktor penting untuk mengubah situasi di lapangan menjadi lebih baik, yakni pertama, menciptakan lingkungan yang kondusif, termasuk jaminan keamanan sehingga terdapat kepercayaan untuk kembali ke daerah asal. Lalu kedua, memajukan proses repatriasi dan jaminan mempertahankan situasi kondusif dan ketiga penciptaan pembangunan yang inklusif, khususnya dukungan pembangunan ekonomi.
Pertemuan ini sediri dihadiri oleh lebih dari 15 peserta, diantaranya pejabat setingkat Menteri dari Kanada, Australia, Bangladesh, Denmark, Gambia, Indonesia, Liechtenstein, Malaysia, Belanda, serta sejumlah pejabat tinggi dari Prancis, Italia, Norway, Swedia, Turki, Inggris, dan Amerika Serikat.
“Progress repatriasi oleh Pemerintah Myanmar di Rakhine State harus dapat segera kita lihat dan rasakan untuk meringankan beban pengungsi," kata Retno, seperti tertuang dalam siaran pers Kementerian Luar Negeri Indonesia yang diterima Sindonews pada Rabu (26/9).
Retno menyatakan kepercayaan dan kerja sama yang baik antara Bangladesh dan Myanmar merupakan aset yang sangat penting untuk proses repatriasi ini. “Kepercayaan ini krusial, karena memungkinkan kedua belah pihak dapat saling membuat situasi yang lebih baik agar proses repatriasi dapat segera berjalan," ucapnya.
Selain itu, Retno juga menegaskan agar perjanjian yang telah ditandatangani dan komite yang dibentuk harus ada tindak lanjut dan dapat diimplementasikan untuk memberikan progres nyata kepada proses repartiasi.
Myanmar telah menandatangani MoU dengan UNHCR dan UNDP pada tanggal 6 Juni 2018 dan telah membentuk berbagai komite untuk situasi di Rakhine State termasuk Central Committee for Implementation of Peace, Stability and Development of Rakhine State tahun 2016.
Dalam pertemuan ini, Retno turut menyampaikan pentingnya Masyarakat Internasional untuk terus memberikan perhatian dan pengawasan terhadap jalannya proses repartiasi di Rakhine State. Menurut Retno, masyarakat Internasional juga perlu untuk membantu secara komprehensif proses repartiasi ini.
Retno kemudian menekankan kembali tiga faktor penting untuk mengubah situasi di lapangan menjadi lebih baik, yakni pertama, menciptakan lingkungan yang kondusif, termasuk jaminan keamanan sehingga terdapat kepercayaan untuk kembali ke daerah asal. Lalu kedua, memajukan proses repatriasi dan jaminan mempertahankan situasi kondusif dan ketiga penciptaan pembangunan yang inklusif, khususnya dukungan pembangunan ekonomi.
Pertemuan ini sediri dihadiri oleh lebih dari 15 peserta, diantaranya pejabat setingkat Menteri dari Kanada, Australia, Bangladesh, Denmark, Gambia, Indonesia, Liechtenstein, Malaysia, Belanda, serta sejumlah pejabat tinggi dari Prancis, Italia, Norway, Swedia, Turki, Inggris, dan Amerika Serikat.
(esn)