Korban Suhu Panas Diprediksi Naik 2.000%
A
A
A
NEW YORK - Korban tewas akibat gelombang panas dapat meningkat hingga 2.000% di penjuru dunia pada 2080. Studi terbaru itu dirilis kemarin saat sebagian besar belahan bumi utara mengalami suhu tinggi yang tidak biasa.
Para peneliti telah lama memperingatkan perubahan iklim akan menciptakan lebih banyak cuaca ekstrem di penjuru dunia mulai dari gelombang panas hingga badai.
Para peneliti dalam studi terbaru memprediksi akan terjadi peningkatan korban tewas akibat gelombang panas, baik secara frekuensi atau kekuatannya. “Gelombang panas di masa depan akan lebih sering, lebih intensif, dan akan berlangsung lebih lama,” ujar Yuming Guo, asosiasi profesor di Universitas Monash Australia dikutip kantor berita Reuters.
“Jika kita tidak menemukan cara untuk mitigasi perubahan iklim (mengurangi hari-hari gelombang panas) dan membantu orang beradaptasi dengan gelombang panas, akan ada peningkatan besar jumlah kematian terkait gelombang panas di masa depan,” kata Guo.
Gelombang panas menyapu wilayah bumi bagian utara yang diberitakan dalam beberapa pekan terakhir. Puluhan korban tewas berjatuhan mulai dari Jepang hingga Kanada. Studi yang dirilis di jurnal online PLOS Medicine itu mengamati 20 negara di empat benua dan menemukan peningkatan korban tewas lebih banyak di dekat garis Katulistiwa.
Kolombia yang mengalami suhu panas terburuk dapat mengalami peningkatan 2.000% kematian prematur akibat suhu panas selama periode 2031 hingga 2080 dibandingkan dengan periode 1971 hingga 2010. Filipina dan Brasil mengalami peningkatan terbesar jumlah kematian prematur.
Negara-negara yang terletak lebih jauh dari garis Katulistiwa, seperti Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa (UE) mengalami peningkatan korban tewas yang lebih sedikit. “Meski demikian, dalam skenario terbaik di mana emisi gas rumah kaca dapat dibatasi dan pertumbuhan populasi rendah, kematian akan meningkat,” ungkap hasil studi itu.
Selama gelombang panas yang didefinisikan sebagai sedikitnya dua hari berturut-turut suhu panas tidak normal, tubuh tidak bisa menurunkan panas sehingga orang lanjut usia berisiko mengalami kondisi medis seperti stroke panas. Berdasarkan data historis, para peneliti menggunakan model iklim untuk memperkirakan suhu masa depan.
Menurut mereka, kesimpulan studi itu menegaskan perlunya langkah-langkah saat ini menghindari krisis kesehatan publik di masa depan. Berbagai langkah mitigasi yang bisa mengurangi dampak cuaca panas antara lain membuka tempat-tempat bagi warga untuk mendinginkan tubuh serta mengecat atap rumah dengan warna putih untuk memantulkan sinar matahari dan membuat rumah tetap dingin.
Adapun dalam studi terpisah, wilayah China bagian utara menjadi salah satu zona gelombang panas paling mematikan pada akhir abad ini. Menurut para peneliti, China Utara termasuk Beijing mengalami suhu panas yang membahayakan 400 juta warga di wilayah itu.
Apalagi sebagian besar penduduk di sana adalah para petani yang tanaman mereka sangat mudah terpengaruh suhu ekstrem. Studi menyatakan, suhu panas dan kelembaban tinggi bisa menciptakan kondisi yang dapat membunuh seseorang yang sehat dalam enam jam di luar ruangan.
“Lokasi ini menjadi tempat paling panas untuk gelombang panas mematikan di masa depan,” kata Profesor Elfatih Eltahir dari Massa chusetts Institute of Technology (MIT) yang memimpin studi baru itu. “China saat ini kontributor terbesar emisi gas rumah kaca dengan potensi serius dampaknya pada populasi mereka sendiri.
Berlanjutnya emisi global sekarang mungkin membatasi kelayakan sebagian besar wilayah di negara paling banyak penduduknya di bumi,” tutur dia. Proyeksi itu berdasarkan riset yang menunjukkan manusia tidak bisa bertahan hidup melampaui batas suhu dan kelembaban tertentu.
Batas itu ditentukan dengan mengukur suhu bohlam basah (wet-bulb temperature/WBT), yakni membungkus kain basah ke sekitar bohlam (sensor) termometer sehingga penguapan air dapat mendinginkan bohlam. Pada suhu WBT 35 derajat celsius, seseorang yang sehat tidak bisa bertahan hidup di luar ruangan selama lebih dari enam jam menurut riset tersebut. (Syarifudin)
Para peneliti telah lama memperingatkan perubahan iklim akan menciptakan lebih banyak cuaca ekstrem di penjuru dunia mulai dari gelombang panas hingga badai.
Para peneliti dalam studi terbaru memprediksi akan terjadi peningkatan korban tewas akibat gelombang panas, baik secara frekuensi atau kekuatannya. “Gelombang panas di masa depan akan lebih sering, lebih intensif, dan akan berlangsung lebih lama,” ujar Yuming Guo, asosiasi profesor di Universitas Monash Australia dikutip kantor berita Reuters.
“Jika kita tidak menemukan cara untuk mitigasi perubahan iklim (mengurangi hari-hari gelombang panas) dan membantu orang beradaptasi dengan gelombang panas, akan ada peningkatan besar jumlah kematian terkait gelombang panas di masa depan,” kata Guo.
Gelombang panas menyapu wilayah bumi bagian utara yang diberitakan dalam beberapa pekan terakhir. Puluhan korban tewas berjatuhan mulai dari Jepang hingga Kanada. Studi yang dirilis di jurnal online PLOS Medicine itu mengamati 20 negara di empat benua dan menemukan peningkatan korban tewas lebih banyak di dekat garis Katulistiwa.
Kolombia yang mengalami suhu panas terburuk dapat mengalami peningkatan 2.000% kematian prematur akibat suhu panas selama periode 2031 hingga 2080 dibandingkan dengan periode 1971 hingga 2010. Filipina dan Brasil mengalami peningkatan terbesar jumlah kematian prematur.
Negara-negara yang terletak lebih jauh dari garis Katulistiwa, seperti Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa (UE) mengalami peningkatan korban tewas yang lebih sedikit. “Meski demikian, dalam skenario terbaik di mana emisi gas rumah kaca dapat dibatasi dan pertumbuhan populasi rendah, kematian akan meningkat,” ungkap hasil studi itu.
Selama gelombang panas yang didefinisikan sebagai sedikitnya dua hari berturut-turut suhu panas tidak normal, tubuh tidak bisa menurunkan panas sehingga orang lanjut usia berisiko mengalami kondisi medis seperti stroke panas. Berdasarkan data historis, para peneliti menggunakan model iklim untuk memperkirakan suhu masa depan.
Menurut mereka, kesimpulan studi itu menegaskan perlunya langkah-langkah saat ini menghindari krisis kesehatan publik di masa depan. Berbagai langkah mitigasi yang bisa mengurangi dampak cuaca panas antara lain membuka tempat-tempat bagi warga untuk mendinginkan tubuh serta mengecat atap rumah dengan warna putih untuk memantulkan sinar matahari dan membuat rumah tetap dingin.
Adapun dalam studi terpisah, wilayah China bagian utara menjadi salah satu zona gelombang panas paling mematikan pada akhir abad ini. Menurut para peneliti, China Utara termasuk Beijing mengalami suhu panas yang membahayakan 400 juta warga di wilayah itu.
Apalagi sebagian besar penduduk di sana adalah para petani yang tanaman mereka sangat mudah terpengaruh suhu ekstrem. Studi menyatakan, suhu panas dan kelembaban tinggi bisa menciptakan kondisi yang dapat membunuh seseorang yang sehat dalam enam jam di luar ruangan.
“Lokasi ini menjadi tempat paling panas untuk gelombang panas mematikan di masa depan,” kata Profesor Elfatih Eltahir dari Massa chusetts Institute of Technology (MIT) yang memimpin studi baru itu. “China saat ini kontributor terbesar emisi gas rumah kaca dengan potensi serius dampaknya pada populasi mereka sendiri.
Berlanjutnya emisi global sekarang mungkin membatasi kelayakan sebagian besar wilayah di negara paling banyak penduduknya di bumi,” tutur dia. Proyeksi itu berdasarkan riset yang menunjukkan manusia tidak bisa bertahan hidup melampaui batas suhu dan kelembaban tertentu.
Batas itu ditentukan dengan mengukur suhu bohlam basah (wet-bulb temperature/WBT), yakni membungkus kain basah ke sekitar bohlam (sensor) termometer sehingga penguapan air dapat mendinginkan bohlam. Pada suhu WBT 35 derajat celsius, seseorang yang sehat tidak bisa bertahan hidup di luar ruangan selama lebih dari enam jam menurut riset tersebut. (Syarifudin)
(nfl)