Komunitas Muslim Protes Buka Puasa yang Digelar Trump
A
A
A
WASHINGTON - Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump secara mengejutkan menggelar buka puasa Ramadhan bersama bagi warga Muslim di Gedung Putih pada Rabu petang waktu Washington. Padahal, tahun lalu tradisi Iftar tersebut ditiadakan.
Acara bukan puasa oleh Trump diprotes komunitas Muslim karena kebijakan politik dan retorikanya selama ini dianggap anti-Islam.
Dewan Hubungan Amerika-Islam (CAIR), kelompok advokasi Muslim AS, menggelar Iftar tandingan di luar Gedung Putih sebagai protes terhadap Presiden Trump.
Protes itu didukung kelompok pembela hak-hak Muslim dan sipil lainnya. Acara bertajuk "Not Iftar Trump" diadakan di Lafayette Square di luar Gedung Putih pada saat yang sama ketika Trump menjadi tuan rumah Iftar.
Acara buka puasa Ramadhan di Gedung Putih biasanya dihadiri oleh para diplomat, anggota Kongres dan anggota komunitas Muslim lainnya.
Dalam sebuah pernyataan, CAIR mengatakan bahwa telah terjadi lonjakan serangan dalam hal kefanatikan sejak Donald Trump menjadi presiden AS.
Juru bicara Gedung Putih Sarah Huckabee Sanders mengatakan antara 30 hingga 40 orang telah diundang ke acara buka puasa yang digelar Presiden Trump. Namun, Sanders enggan merilis daftar tamu yang diundang.
Beberapa tokoh Muslim terkemuka di AS ramai-ramai mengkritik Trump yang pertama kali jadi tuan rumah Iftar."Kami tidak membutuhkan makan buka puasa," kata Imam Yahya Hendi, tokoh Muslim di Georgetown University, seperti dikutip CNN, Kamis (7/6/2018). "Sebaliknya, kami perlu mendapatkan rasa hormat yang sangat layak untuk kami. Jangan memberi kami makan dan menusuk kami."
Hendi menghadiri buka puasa di Gedung Putih pada tahun 2009, ketika Presiden Barack Obama berkuasa. Dia mengaku dia tidak diundang untuk tahun ini. Seperti kebanyakan tokoh Muslim terkemuka lain yang menghadiri Iftar Gedung Putih sebelumnya, Hendi menolak datang jika tetap diundang Trump.
"Saya tidak diundang ke Iftar Gedung Putih, tetapi saya tidak akan hadir jika saya diundang," kata Dalia Mogahed, direktur penelitian di Institute for Social Policy and Understanding.
"Menghadiri acara ini, terutama selama bulan suci, saatnya untuk introspeksi dan memupuk spiritual, tidak pantas dalam pandangan saya karena akan tampak menormalkan perilaku administrasi ini," katanya yang mengkritik kebijakan Administrasi Trump.
Ziad Ahmed, seorang aktivis mahasiswa, mengatakan acara Iftar yang digelar Trump memang sebagai langkah positif. Tapi, dia tetap mengkritik kebijakan presiden AS tersebut yang dianggap merugikan komunitas Muslim.
"Apakah dia sudah meminta maaf karena mengatakan 'Islam membenci kita?'," kata Ahmed mengacu pada retorika Trump selama ini. "Apakah dia mengubah kebijakannya? Apakah dia mencabut larangan (perjalanan)? Dia tidak mengubah retorikanya pada apa pun."
Tradisi Iftar di Gedung Putih dimulai pada 1990-an selama pemerintahan Bill Clinton sebagai bentuk "penjangkauan" terhadap dunia Muslim. Meskipun AS dilanda serangan teroris pada 11 September 2001, Presiden George W Bush tetap melanjutkan tradisi itu.
Selanjutnya, di era Presiden Barack Obama, tradisi Iftar dipertahankan. Obama kala itu menegaskan bahwa Barat tidak berperang dengan Islam sebagai agama.
Kemudian pada tahun 2017, tradisi itu dilanggar Trump. Pada Januari 2017, Trump menandatangani perintah eksekutif yang dijuluki sebagai "larangan Muslim", di mana migran dari tujuh negara yang didominasi warga Muslim dilarang masuk ke AS.
Acara bukan puasa oleh Trump diprotes komunitas Muslim karena kebijakan politik dan retorikanya selama ini dianggap anti-Islam.
Dewan Hubungan Amerika-Islam (CAIR), kelompok advokasi Muslim AS, menggelar Iftar tandingan di luar Gedung Putih sebagai protes terhadap Presiden Trump.
Protes itu didukung kelompok pembela hak-hak Muslim dan sipil lainnya. Acara bertajuk "Not Iftar Trump" diadakan di Lafayette Square di luar Gedung Putih pada saat yang sama ketika Trump menjadi tuan rumah Iftar.
Acara buka puasa Ramadhan di Gedung Putih biasanya dihadiri oleh para diplomat, anggota Kongres dan anggota komunitas Muslim lainnya.
Dalam sebuah pernyataan, CAIR mengatakan bahwa telah terjadi lonjakan serangan dalam hal kefanatikan sejak Donald Trump menjadi presiden AS.
Juru bicara Gedung Putih Sarah Huckabee Sanders mengatakan antara 30 hingga 40 orang telah diundang ke acara buka puasa yang digelar Presiden Trump. Namun, Sanders enggan merilis daftar tamu yang diundang.
Beberapa tokoh Muslim terkemuka di AS ramai-ramai mengkritik Trump yang pertama kali jadi tuan rumah Iftar."Kami tidak membutuhkan makan buka puasa," kata Imam Yahya Hendi, tokoh Muslim di Georgetown University, seperti dikutip CNN, Kamis (7/6/2018). "Sebaliknya, kami perlu mendapatkan rasa hormat yang sangat layak untuk kami. Jangan memberi kami makan dan menusuk kami."
Hendi menghadiri buka puasa di Gedung Putih pada tahun 2009, ketika Presiden Barack Obama berkuasa. Dia mengaku dia tidak diundang untuk tahun ini. Seperti kebanyakan tokoh Muslim terkemuka lain yang menghadiri Iftar Gedung Putih sebelumnya, Hendi menolak datang jika tetap diundang Trump.
"Saya tidak diundang ke Iftar Gedung Putih, tetapi saya tidak akan hadir jika saya diundang," kata Dalia Mogahed, direktur penelitian di Institute for Social Policy and Understanding.
"Menghadiri acara ini, terutama selama bulan suci, saatnya untuk introspeksi dan memupuk spiritual, tidak pantas dalam pandangan saya karena akan tampak menormalkan perilaku administrasi ini," katanya yang mengkritik kebijakan Administrasi Trump.
Ziad Ahmed, seorang aktivis mahasiswa, mengatakan acara Iftar yang digelar Trump memang sebagai langkah positif. Tapi, dia tetap mengkritik kebijakan presiden AS tersebut yang dianggap merugikan komunitas Muslim.
"Apakah dia sudah meminta maaf karena mengatakan 'Islam membenci kita?'," kata Ahmed mengacu pada retorika Trump selama ini. "Apakah dia mengubah kebijakannya? Apakah dia mencabut larangan (perjalanan)? Dia tidak mengubah retorikanya pada apa pun."
Tradisi Iftar di Gedung Putih dimulai pada 1990-an selama pemerintahan Bill Clinton sebagai bentuk "penjangkauan" terhadap dunia Muslim. Meskipun AS dilanda serangan teroris pada 11 September 2001, Presiden George W Bush tetap melanjutkan tradisi itu.
Selanjutnya, di era Presiden Barack Obama, tradisi Iftar dipertahankan. Obama kala itu menegaskan bahwa Barat tidak berperang dengan Islam sebagai agama.
Kemudian pada tahun 2017, tradisi itu dilanggar Trump. Pada Januari 2017, Trump menandatangani perintah eksekutif yang dijuluki sebagai "larangan Muslim", di mana migran dari tujuh negara yang didominasi warga Muslim dilarang masuk ke AS.
(mas)