PLO: AS Tak Bisa Abaikan Krisis Kemanusiaan di Gaza
Rabu, 14 Maret 2018 - 23:05 WIB

PLO: AS Tak Bisa Abaikan Krisis Kemanusiaan di Gaza
A
A
A
YERUSALEM - Seorang pejabat PLO mengolok-olok utusan khusus Amerika Serikat (AS) untuk Timur Tengah, Jason Greenblatt, meminta diadakan sesi dialog untuk membahas krisis kemanusiaan yang sedang terjadi di Gaza.
Sesi yang diadakan di Gedung Putih pada tanggal 13 Maret bertujuan untuk menemukan "solusi nyata" bagi situasi yang memburuk di Gaza dengan berfokus pada pengembangan ekonomi, pemecahan kemiskinan, pengurangan pengangguran dan memperbaiki standar hidup yang mengerikan yang diderita oleh penduduknya.
Tayseer Khaled, yang merupakan anggota Komite Eksekutif PLO dan Kepala Urusan Luar Negeri Palestina, menuduh Israel dan AS menunggu situasi di Gaza meledak untuk menggunakannya guna meningkatkan perdagangan dan melaksanakan manuver politik. Berbicara atas nama DFLP (Front Demokratik untuk Pembebasan Palestina), sebuah faksi dari PLO, Khaled menambahkan bahwa kelompok tersebut menolak eksploitasi masalah yang dilakukan oleh pemerintah Amerika di Gaza untuk tujuannya sendiri.
Khaled juga mengatakan bahwa DFLP menganggap AS bertanggung jawab atas situasi bencana kemanusiaan di Gaza. Ia menunjuk dukungan AS terhadap blokade Israel selama 11 tahun di Jalur Gaza dan serangkaian perang yang menghancurkan sebagai bukti kontribusinya seperti dikutip dari Middle East Monitor, Rabu (14/3/2018).
Perang yang dilancarkan Israel terhadap Gaza pada 2008, 2012 dan 2014, telah membawa konsekuensi kehancuran bagi penduduk Palestina, menewaskan lebih dari 2.000 di tahun 2014 saja dan menghancurkan sebagian besar infrastruktur dan pertanian di Jalur Gaza.
Lebih jauh lagi, Khaled memperingatkan bahaya untuk berpaling dari masalah kemanusiaan yang terus berlanjut di Gaza, yang telah diperparah lagi dengan tindakan penghukuman Otoritas Palestina terhadap Jalur Gaza dan pajak yang lebih tinggi yang dipaksakan oleh Hamas yang berkuasa. Daftar masalah yang dihadapi Gaza sangat luas, termasuk keresahan pangan, kekurangan listrik dan air serta kemerosotan layanan kesehatan.
Jalur Gaza telah di berada bawah blokade udara, darat Israel dan Mesir sejak 2007, setelah pengambilalihan Jalur Gaza oleh Hamas setelah pemilihan legislatif Palestina 2006. Meskipun Israel secara resmi melepaskan diri dari Gaza ketika memindahkan pemukiman ilegal di tahun 2005, banyak yang menyamakan upaya penggusuran Jalur Gaza tersebut ke sebuah "kendali pendudukan jarak jauh." Penutupan penyeberangan perbatasan dan kontrol ketat terhadap visa keluar telah membuat warga Gaza dipenjara dalam apa yang dikenal sebagai "penjara terbuka terbesar di dunia".
Ketegangan antara pejabat AS dan Palestina telah tinggi dalam beberapa bulan terakhir setelah pengakuan sepihak Presiden Trump atas Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel dan niatnya untuk memindahkan Kedutaan Besar AS ke kota itu pada awal Mei 2018. Khaled menambahkan bahwa DFLP melihat deklarasi Presiden Trump tersebut sebagai bukti lebih lanjut tentang dukungan AS yang tak tergoyahkan terhadap Israel, terlepas dari bencana buatan manusia yang terus berlanjut di Gaza.
Sesi yang diadakan di Gedung Putih pada tanggal 13 Maret bertujuan untuk menemukan "solusi nyata" bagi situasi yang memburuk di Gaza dengan berfokus pada pengembangan ekonomi, pemecahan kemiskinan, pengurangan pengangguran dan memperbaiki standar hidup yang mengerikan yang diderita oleh penduduknya.
Tayseer Khaled, yang merupakan anggota Komite Eksekutif PLO dan Kepala Urusan Luar Negeri Palestina, menuduh Israel dan AS menunggu situasi di Gaza meledak untuk menggunakannya guna meningkatkan perdagangan dan melaksanakan manuver politik. Berbicara atas nama DFLP (Front Demokratik untuk Pembebasan Palestina), sebuah faksi dari PLO, Khaled menambahkan bahwa kelompok tersebut menolak eksploitasi masalah yang dilakukan oleh pemerintah Amerika di Gaza untuk tujuannya sendiri.
Khaled juga mengatakan bahwa DFLP menganggap AS bertanggung jawab atas situasi bencana kemanusiaan di Gaza. Ia menunjuk dukungan AS terhadap blokade Israel selama 11 tahun di Jalur Gaza dan serangkaian perang yang menghancurkan sebagai bukti kontribusinya seperti dikutip dari Middle East Monitor, Rabu (14/3/2018).
Perang yang dilancarkan Israel terhadap Gaza pada 2008, 2012 dan 2014, telah membawa konsekuensi kehancuran bagi penduduk Palestina, menewaskan lebih dari 2.000 di tahun 2014 saja dan menghancurkan sebagian besar infrastruktur dan pertanian di Jalur Gaza.
Lebih jauh lagi, Khaled memperingatkan bahaya untuk berpaling dari masalah kemanusiaan yang terus berlanjut di Gaza, yang telah diperparah lagi dengan tindakan penghukuman Otoritas Palestina terhadap Jalur Gaza dan pajak yang lebih tinggi yang dipaksakan oleh Hamas yang berkuasa. Daftar masalah yang dihadapi Gaza sangat luas, termasuk keresahan pangan, kekurangan listrik dan air serta kemerosotan layanan kesehatan.
Jalur Gaza telah di berada bawah blokade udara, darat Israel dan Mesir sejak 2007, setelah pengambilalihan Jalur Gaza oleh Hamas setelah pemilihan legislatif Palestina 2006. Meskipun Israel secara resmi melepaskan diri dari Gaza ketika memindahkan pemukiman ilegal di tahun 2005, banyak yang menyamakan upaya penggusuran Jalur Gaza tersebut ke sebuah "kendali pendudukan jarak jauh." Penutupan penyeberangan perbatasan dan kontrol ketat terhadap visa keluar telah membuat warga Gaza dipenjara dalam apa yang dikenal sebagai "penjara terbuka terbesar di dunia".
Ketegangan antara pejabat AS dan Palestina telah tinggi dalam beberapa bulan terakhir setelah pengakuan sepihak Presiden Trump atas Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel dan niatnya untuk memindahkan Kedutaan Besar AS ke kota itu pada awal Mei 2018. Khaled menambahkan bahwa DFLP melihat deklarasi Presiden Trump tersebut sebagai bukti lebih lanjut tentang dukungan AS yang tak tergoyahkan terhadap Israel, terlepas dari bencana buatan manusia yang terus berlanjut di Gaza.
(ian)