Korut Mengklaim sebagai Negara Nuklir, Rusia Tidak Terima
A
A
A
NEW YORK - Rusia menyesalkan uji coba rudal balistik yang dilakukan oleh Korea Utara (Korut). Rusia pun tidak terima jika negara tertutup itu mengklaim sebagai negara nuklir.
Hal itu diungkapkan langsung oleh utusan Rusia untuk PBB, Vasily Nebenzya, saat pertemuan darurat Dewan Keamanan. Menurut Nebenzya, sikap demonstratif yang mengabaikan resolusi PBB dari Pyongyang sangat disesalkan dan layak mendapat hukuman.
"Rusia menemukan klaim Korea Utara untuk status kekuatan nuklir tidak dapat diterima dan telah mendukung semua resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menuntut Pyongyang menghentikan program rudal nuklirnya demi kepentingan denuklirisasi Semenanjung Korea," katanya.
Ia menambahkan bahwa dalam situasi saat ini membuat prospek normalisasi situasi di Semenanjung Korea masih kabur, seperti disitat dari TASS, Kamis (30/11/2017).
Korut kembali melakukan peluncuran rudal, yang pertama sejak 15 September. Menurut Kantor Berita Pusat Korut, KCNA, sebuah rudal Hwasong-15 menempuh jarak 950 kilometer dalam 53 menit, mencapai ketinggian 4.475 kilometer.
Menurut Kementerian Pertahanan Jepang, rudal tersebut jatuh ke laut di zona ekonomi eksklusif negara itu, 250 kilometer sebelah barat lepas pantai Prefektur Aomori, Jepang.
Sebelumnya, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump berjanji akan menjatuhkan sanksi tambahan kepada Korut pada hari itu juga.
Perwakilan tetap AS untuk PBB Nikki Haley meminta semua negara untuk memutuskan hubungan dengan Korut. Ia juga menuntut China memberikan tekanan pada Pyongyang dengan cara menghentikan pasokan minyak ke negara tersebut. Jika tidak, AS akan mengendalikan situasi ini.
Utusan Rusia PBB, pada gilirannya, mencatat bahwa sanksi hanya merupakan instrumen penyelesaian politik dan situasi diplomatik serta seharusnya tidak menjadi tujuan tersendiri. Ia menekankan bahwa pembatasan tidak boleh digunakan untuk memperburuk situasi kemanusiaan di Korut.
Hal itu diungkapkan langsung oleh utusan Rusia untuk PBB, Vasily Nebenzya, saat pertemuan darurat Dewan Keamanan. Menurut Nebenzya, sikap demonstratif yang mengabaikan resolusi PBB dari Pyongyang sangat disesalkan dan layak mendapat hukuman.
"Rusia menemukan klaim Korea Utara untuk status kekuatan nuklir tidak dapat diterima dan telah mendukung semua resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menuntut Pyongyang menghentikan program rudal nuklirnya demi kepentingan denuklirisasi Semenanjung Korea," katanya.
Ia menambahkan bahwa dalam situasi saat ini membuat prospek normalisasi situasi di Semenanjung Korea masih kabur, seperti disitat dari TASS, Kamis (30/11/2017).
Korut kembali melakukan peluncuran rudal, yang pertama sejak 15 September. Menurut Kantor Berita Pusat Korut, KCNA, sebuah rudal Hwasong-15 menempuh jarak 950 kilometer dalam 53 menit, mencapai ketinggian 4.475 kilometer.
Menurut Kementerian Pertahanan Jepang, rudal tersebut jatuh ke laut di zona ekonomi eksklusif negara itu, 250 kilometer sebelah barat lepas pantai Prefektur Aomori, Jepang.
Sebelumnya, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump berjanji akan menjatuhkan sanksi tambahan kepada Korut pada hari itu juga.
Perwakilan tetap AS untuk PBB Nikki Haley meminta semua negara untuk memutuskan hubungan dengan Korut. Ia juga menuntut China memberikan tekanan pada Pyongyang dengan cara menghentikan pasokan minyak ke negara tersebut. Jika tidak, AS akan mengendalikan situasi ini.
Utusan Rusia PBB, pada gilirannya, mencatat bahwa sanksi hanya merupakan instrumen penyelesaian politik dan situasi diplomatik serta seharusnya tidak menjadi tujuan tersendiri. Ia menekankan bahwa pembatasan tidak boleh digunakan untuk memperburuk situasi kemanusiaan di Korut.
(ian)