Diusir Trump, Orang-orang Indonesia Takut Pulang ke Tanah Air
A
A
A
MANCHESTER - Para warga Indonesia korban kekerasan tahun 1998 yang melarikan diri ke Amerika Serikat (AS) menghadapi deportasi atau pengusiran oleh pemerintah Presiden Donald Trump. Mereka mengaku masih takut untuk pulang ke Tanah Air.
Meldy dan Eva Lumangkun membangun kehidupan baru di pinggiran Kota New Hampshire dan membesarkan empat anak setelah melarikan diri ke AS sejak hampir dua dekade silam. Status tinggal mereka di negeri Paman Sam adalah ilegal, namun sudah lama ditoleransi oleh otoritas imigrasi setempat.
Tapi saat mereka muncul di kantor Imigrasi dan Bea Cukai (ICE) di Manchester pada bulan Agustus untuk check-in regular, mereka diminta untuk membeli tiket satu arah kembali ke Indonesia dan keluar dari AS dalam waktu dua bulan.
”Kami takut pulang ke rumah. Kami takut akan keselamatan anak-anak kami,” kata Meldy Lumangkun usai pertemuan dengan pejabat ICE di Manchester. ”Di sini anak-anak kita bisa hidup dengan aman,” katanya lagi, seperti dikutip Reuters, Selasa (17/10/2017).
Keluarga Lumangkun termasuk di antara sekitar 2.000 warga Kristen Tionghoa Indonesia yang melarikan diri ke New Hampshire untuk menghindari kerusuhan tahun 1998.
Mereka juga termasuk di antara puluhan ribu imigran ilegal di Amerika Serikat yang sekarang menghadapi kemungkinan deportasi setelah administrasi Trump membuka kembali kasus orang-orang seperti keluarga Lumangkun. Puluhan ribu imigran ilegal itu sudah lama menikmati penangguhan hukuman di bawah pemerintahan masa lalu, termasuk pemerintahan Barack Obama.
Selama kampanye pencalonannya sebagai presiden, Donald Trump mengatakan bahwa dia akan membersihkan negaranya dari jutaan imigran ilegal. Sejak pindah ke Gedung Putih pada bulan Januari, penangkapan oleh otoritas imigrasi meningkat tiga kali lipat sejak awal tahun ini menjadi rata-rata 142 orang per hari.
Keluarga Lumangkun dan warga minoritas Indonesia lainnya yang tinggal di New Hampshire mengatakan bahwa mereka takut akan mengalami diskriminasi atau kekerasan agama jika mereka kembali ke Tanah Air. Mereka sudah berusaha meminta suaka, namun gagal.
Berdasarkan ketentuan kesepakatan yang dinegosiasikan dengan ICE pada tahun 2012 dengan bantuan Senator AS Jeanne Shaheen, kelompok minoritas tersebut diizinkan untuk tinggal di Amerika Serikat jika mereka menyerahkan paspor mereka dan selalu hadir untuk check-in reguler pada jadwal yang berbeda-beda yang ditentukan oleh ICE.
Dimulai pada bulan Agustus, para imigran ilegal termasuk keluarga Lumangkun, diminta untuk bersiap untuk kembali ke Tanah Air. Hal itu sebagai tindak lanjut dari perintah eksekutif yang ditandatangani oleh Presiden Trump pada tanggal 25 Januari. Perintah eksekutif itu berisi pembatalan banyak kebijakan imigrasi era Obama.
”Perintah eksekutif yang ditandatangani Presiden Trump pada Januari mengubah segalanya,” kata juru bicara ICE, Shawn Neudauer.
Sandra Pontoh, pendeta dari Madbury Maranatha Indonesian Fellowship di Madbury, New Hampshire, mengatakan bahwa banyak pasangan yang menghadapi deportasi sudah memiliki anak.
”Ini sangat menegangkan,” kata Jacklyn Lele, 37, yang mengaku melarikan diri ke AS pada tahun 2006 setelah saudara laki-lakinya terbunuh dalam kekerasan 1998.
”Anak saya tidak benar-benar ingin pergi ke sana (Indonesia), dia terus mengatakan 'Saya orang Amerika’," kata Lele saat anak laki-lakinya yang berusia tujuh tahun gelisah bermain dengan telepon genggam.
Orang-orang Indonesia yang menghadapi deportasi ini mendapat dukungan dari para warga AS, termasuk para senator. Mereka berdemo dan menggelar doa lintas-iman di gedung federal di Manchester.
Meldy dan Eva Lumangkun membangun kehidupan baru di pinggiran Kota New Hampshire dan membesarkan empat anak setelah melarikan diri ke AS sejak hampir dua dekade silam. Status tinggal mereka di negeri Paman Sam adalah ilegal, namun sudah lama ditoleransi oleh otoritas imigrasi setempat.
Tapi saat mereka muncul di kantor Imigrasi dan Bea Cukai (ICE) di Manchester pada bulan Agustus untuk check-in regular, mereka diminta untuk membeli tiket satu arah kembali ke Indonesia dan keluar dari AS dalam waktu dua bulan.
”Kami takut pulang ke rumah. Kami takut akan keselamatan anak-anak kami,” kata Meldy Lumangkun usai pertemuan dengan pejabat ICE di Manchester. ”Di sini anak-anak kita bisa hidup dengan aman,” katanya lagi, seperti dikutip Reuters, Selasa (17/10/2017).
Keluarga Lumangkun termasuk di antara sekitar 2.000 warga Kristen Tionghoa Indonesia yang melarikan diri ke New Hampshire untuk menghindari kerusuhan tahun 1998.
Mereka juga termasuk di antara puluhan ribu imigran ilegal di Amerika Serikat yang sekarang menghadapi kemungkinan deportasi setelah administrasi Trump membuka kembali kasus orang-orang seperti keluarga Lumangkun. Puluhan ribu imigran ilegal itu sudah lama menikmati penangguhan hukuman di bawah pemerintahan masa lalu, termasuk pemerintahan Barack Obama.
Selama kampanye pencalonannya sebagai presiden, Donald Trump mengatakan bahwa dia akan membersihkan negaranya dari jutaan imigran ilegal. Sejak pindah ke Gedung Putih pada bulan Januari, penangkapan oleh otoritas imigrasi meningkat tiga kali lipat sejak awal tahun ini menjadi rata-rata 142 orang per hari.
Keluarga Lumangkun dan warga minoritas Indonesia lainnya yang tinggal di New Hampshire mengatakan bahwa mereka takut akan mengalami diskriminasi atau kekerasan agama jika mereka kembali ke Tanah Air. Mereka sudah berusaha meminta suaka, namun gagal.
Berdasarkan ketentuan kesepakatan yang dinegosiasikan dengan ICE pada tahun 2012 dengan bantuan Senator AS Jeanne Shaheen, kelompok minoritas tersebut diizinkan untuk tinggal di Amerika Serikat jika mereka menyerahkan paspor mereka dan selalu hadir untuk check-in reguler pada jadwal yang berbeda-beda yang ditentukan oleh ICE.
Dimulai pada bulan Agustus, para imigran ilegal termasuk keluarga Lumangkun, diminta untuk bersiap untuk kembali ke Tanah Air. Hal itu sebagai tindak lanjut dari perintah eksekutif yang ditandatangani oleh Presiden Trump pada tanggal 25 Januari. Perintah eksekutif itu berisi pembatalan banyak kebijakan imigrasi era Obama.
”Perintah eksekutif yang ditandatangani Presiden Trump pada Januari mengubah segalanya,” kata juru bicara ICE, Shawn Neudauer.
Sandra Pontoh, pendeta dari Madbury Maranatha Indonesian Fellowship di Madbury, New Hampshire, mengatakan bahwa banyak pasangan yang menghadapi deportasi sudah memiliki anak.
”Ini sangat menegangkan,” kata Jacklyn Lele, 37, yang mengaku melarikan diri ke AS pada tahun 2006 setelah saudara laki-lakinya terbunuh dalam kekerasan 1998.
”Anak saya tidak benar-benar ingin pergi ke sana (Indonesia), dia terus mengatakan 'Saya orang Amerika’," kata Lele saat anak laki-lakinya yang berusia tujuh tahun gelisah bermain dengan telepon genggam.
Orang-orang Indonesia yang menghadapi deportasi ini mendapat dukungan dari para warga AS, termasuk para senator. Mereka berdemo dan menggelar doa lintas-iman di gedung federal di Manchester.
(mas)